"Hallo, Ness."
Perasaanku mulai tidak tenang dan berkecamuk.
"Ya, An."
"Nes, di kantormu apa ada karyawan bernama Sophie?"
"Sophie? eemm ada juga Sopinah. Cleaning service di kantorku. Kalau Sophie sepertinya tidak ada."
"Bosnya Abi? Apa tidak ada yang namanya Sophie?"
Kudengar, Nessa tertawa di seberang sana. "Ya ampun An, atasan langsung pak Abi itu namanya pak Chiko. Dan beliau laki-laki. Tidak ada yang namanya Sophie."
Saat itu juga hidupku rasanya seperti di sambar petir. Hujan badai akan segera turun. Tapi, payungku terbawa angin, entah ke mana.
Aku sudah tidak peduli Nessa yang memanggil namaku di sebrang sana. Aku terduduk lemas tak berdaya. Sekarang rasa sakit itu, bukan hanya ada di kepalaku. Tapi juga di dalam hatiku. Anak panah Ketnis Everdeen sudah benar-benar menusuk tepat di jantungku.
Abi, pria yang ku kira akan menjadi penyejuk hatiku, justru malah menjadi api yang membakar diriku. Tubuhku bergetar karena menahan tangis. Aku menekan mulutku agar isakan itu tak terdengar anak-anakku. Mereka tidak boleh tahu keadaan ini.
***
Malamnya, Abi pulang dengan membawa roti kukus isi keju coklat. Dan minuman kopi favoritku. Tapi aku sama sekali tidak berselera dengan semua itu. Dia pergi mandi, dan aku segera memeriksa pakaian, tas dan ponselnya. Siapa tahu aku menemukan barang bukti lagi. Sekarang aku sudah tahu kode kunci ponsel Abi.
Aku memasuki aplikasi w******p dan mencari nama Sophie di dana. Dan yang aku temukan adalah sebuah hantaman keras, meninju ulu hatiku. Tanganku bergetar dan wajahku mulai memanas saat aku menekan sebuah gambar yang wanita itu kirimkan untuk Abi.
Air mata ini tak sanggup lagi aku bendung. Dia jatuh begitu saja, tanpa bisa aku tahan lagi. Wanita itu mengiriminya sebuah gambar kolam renang yang nyaris rampung dan mengatakan sesuatu di sana.
[Yaaayy, kolam renangnya hampir selesai. Pasti ini akan sesuai dengan apa yang kita rencanakan.]
Aku tidak bisa menahan rasa sakit itu. Napasku memburu menatap layar ponsel milik Abi. Terus menerus menatapnya hingga ada yang merampas nya dariku. Abi, berdiri di sana, mematung dan melihat ponselnya. Kepalanya menengadah ke atas langit-langit kamar. Menyisir rambutnya yang basah. BASAH! kenapa pulang-pulang dia membasahi rambutnya.
"An, aku bisa jelaskan. Kau pasti salah paham." Dia memegangi kedua pundakku. Tapi aku hanya bisa terdiam menatapnya nanar.
Pria ini, pria yang sangat aku percayai.
"An," dia mengguncang tubuhku. "Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan."
"Memangnya kau tahu apa yang ada dipikiranku?" suara tercekat. Tenggorokanku sakit sekali rasanya. Kalimat yang baru saja terlontar di bibirku begitu berat aku keluarkan.
"Ini, Sophie,"
"Aku tahu. Dan dia bukan karyawan baru di kantormu," aku memotong. Masih menatapnya dengan air mata yang menganak. "Entah siapa dia. Tapi dia seseorang yang memiliki rencana indah denganmu. Rencana yang kita rencanakan juga."
"Kau salah paham, An. Ini tidak-" Abi menggantungkan kalimatnya. Dan dia memijat keningya. Lalu duduk di atas ranjang. "Seberapa jauh kau mencurigaiku?"
"Sejauh kau membohongiku," aku bergerak, mendekat padanya. "Kenapa, Bi? apa yang tidak kau temukan dariku sehingga kau mencari dari orang lain. Dan kenapa kau juga membangun mimpi yang sama? kenapa?" aku memukul-mukul dadanya. Menarik kaus abu-abunya dengan keras.
Lalu bergerak menuju lemari, tempat di mana aku menyimpan sesuatu yang selama ini aku curigai. Mengambil nya dengan paksa, lalu melemparnya ke depan wajahnya. Kotak persegi itu membentur wajah Abi sehingga isinya berhamburan keluar. Abi memunguti semua yang terjatuh ke lantai, satu per satu.
Tiket parkir, bukti pembelian cincin berlian, dan yang terakhir bukti transaksi pembelian rumah seharga ratusan juta yang dia beli secara cash. Aku melihatnya mengumpulkan semua bukti tersebut, dengan napas yang tersengal menahan sesuatu yang bercokol di dalam d**a.
Aku merampas semua bukti itu yang ada di tangan Abi, yang dia tatap kaget sedari tadi.
"Kau punya pembelaan apa terhadap semua ini? hah?" suaraku mulai sengau karena air mata yang tersumbat. Menatap tajam padanya. "Kau punya uang sebanyak ini, dari mana? ratusan juta, Bi. Ini bukan harga yang murah." Bibirku mulai bergetar hebat. "Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa?!" Aku berteriak tertahan, karena tidak ingin membuat anak-anak terbangun.
Dia masih duduk terdiam di atas tempat tidur. Tidak bergerak sama sekali. Tubuhku mulai melemah. Ya Tuhan kenapa harus sekarang. Aku mohon kuatkan aku, jangan sekarang. Tapi tubuhku tidak bisa aku ajak bekerja sama. Semuanya terasa melumer lemah. Lututku apalagi. Sebelum aku ambruk di hadapannya, aku berjalan menuju box bayi, mengambil Ruby yang tertidur di dalam gendongan, lalu pergi dari kamar ini menuju kamar Rey.
Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku. Dan dia diam saja ketika semuanya sudah terkuak kebenarannya. Dia... sakit jiwa.
***
Hari ini, aku biarkan Rey diantar ke sekolah dengan Abi. Sebenarnya aku tidak ingin memberikannya sarapan, tapi karena Rey dan Ruby membutuhkannya, jadi aku lakukan juga. Tapi aku diam saja, sama sekali tidak memedulikannya. Sampai akhirnya dia pergi bersama Rey. Tidak ada pembahasan apapun lagi. Entah apa yang dia pikirkan, dia tidak berusaha menjelaskan apapun padaku.
Hari ini adalah jadwal ku kembali menemui dokter. Aku kembali izin pada Vivi untuk tidak datang lagi ke toko. Karena jadwalku menemui dokter pukul 9 pagi.
Kupikir aku akan sebentar berada di rumah sakit. Tapi rangkaian pemeriksaan membuat aku tertahan di rumah sakit hingga siang. Perawat memintaku untuk menunggu hasil dari semua pemeriksaan tersebut. Dan aku memutuskan untuk membeli sesuatu untuk di makan. Karena makanan kantin tidak menggiurkan, jadi aku pergi keluar. Siapa tahu di luar rumah sakit ada makanan yang menggugah selera.
Namun, baru saja aku berada di pintu keluar rumah sakit, langkahku terhenti. Sosok Abi dan Sophie yang berjalan di sebrang jalan rumah sakit ini menyita seluruh perhatianku. Aku mencengkeram tasku kuat-kuat. Lalu menelan ludah susah payah, demi menahan air mataku agar tak keluar, sekaligus menaham emosiku untuk tidak melakukan hal yang memalukan.
Saat mereka memasuki sebuah mobil hitam mewah itu, aku mengerti kenapa Abi bisa bersama wanita itu. Dan dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu. Mobil itu melaju damai dengan Abi sebagai supirnya. Aku tahu, apa yang wanita itu punya, dan yang tidak aku miliki. Aku pahami itu.
Selera makanku hilang. Ternyata di luar rumah sakit, justru menyumbat rasa lapar. Dan aku kembali masuk ke rumah sakit. Memutuskan menunggu hasil pemeriksaan.
***
Apa yang paling menyedihkan di dunia ini? kalau aku, merasa aku tidak berguna untuk siapapun. Setelah pria yang aku cintai, dan berjanji bahwa aku akan mengabdikan seluruh hidupku untuknya, pergi bersama wanita lain. Dan sekarang kenyataan pahit lain menyambar hidupku lagi. Hujan badai lagi. Dan aku sudah basah kuyup duluan.
Aku tidak percaya Tuhan memberikan cobaan ini padaku dalam satu waktu. Aku tahu, aku berdosa. Tapi, haruskah aku tidak perlu mengambil napas barang sejenak saja?
Aku keluar dari ruang pemeriksaan dengan lunglai. Selain belum makan, penjelasan dokter barusan membuat aku ingin cepat mati lebih cepat dari yang diperkirakan.