Still

1110 Kata
Seperti halnya sesuatu yang tak bernilai, dunia ini terasa abstrak. Tak berarti. Aku menyusuri koridor rumah sakit, dan melihat orang-orang berlalu lalang. Ada yang berjalan cepat, sedang menelpon, duduk sendiri, dan bingung. Sejauh ini, aku tidak pernah menemukan orang dengan kanker kembali sehat. Mereka hanya bisa menunggu untuk menemui ajalnya. Setiap langkah terus dibayangi dengan pertanyaan, "Apakah hari ini waktunya?". Dan menurutku, sia-sia saja aku melakukan pengobatan ini. Aku meremas tiket antrean dokter, dan memutuskan keluar dari ini. Aku hanya butuh melakukan sesuatu yang berarti sebelum aku meninggalkan dunia ini. Aku hanya ingin orang-orang mengingatku dengan baik, mengenangku dengan indah. Bukan ada di sini, menambah penat kepalaku. Tempat pertama yang aku tuju adalah pasar swalayan. Di sini ramai, penuh sesak dengan orang-orang, aroma amis yang menyengat, tapi aku suka. Suara ribut dari penjual yang mempromosikan barang dagangannya. Aku hanya perlu terus berjalan, menikmati kebisingan ini, berputar dan berhenti di satu titik. Aku suka tempat ini. Tidak jauh dari toko kelontong, tempat terpencil dan damai. Bau dari lembaran kertas pada buku yang menyeruak ke rongga hidung, begitu aku memasukinya. Tidak ada yang berubah, selain kursi panjang bludru yang berganti warna menjadi coklat. Sempit, dan penuh. Seperti halnya mesin pencarian online, kau dapat menemukan apa saja di sini. Aku mengambil satu buku dengan sampul kuning yang telah usang. Sebuah buku berjudul remember me, yang mengisahkan tokoh utamanya masuk ke mesin waktu. Dia kembali pada masa lalu untuk bertemu dengan orang-orang di masa lalunya, dan bisa kembali menyelami kisah indah, sebelum perih itu datang di masa depan. "Mau dibawa pulang?" seorang wanita berkaca mata dengan rambut di kuncir kuda menghampiriku, membuat aku terlonja. Dia tersenyum, memperlihatkan kawat gigi berwarna. "Boleh," kataku. "Tiga hari?" tawar ku. Cukup untuk membaca buku setebal debu rumah tanpa penghuni. Dia mengulurkan tangannya, meminta buku ini untuk dia data secara manual, diatas kertas dengan bahan karton. "Lewat satu minggu, baru kena denda." Aku tersenyum. Kemudian membaca tulisannya. Biaya sewa 0 rupiah. Denda terlambat pengembalian, per satu minggu lima puluh ribu. "Akan aku kembalikan tepat waktu." "Lebih lama telat, lebih baik. Aku, dibayar pakai uang denda." Aku menyunggingkan ujung bibirku. Kemudian dia pergi dari hadapanku. Private zone terinspirasi dari tempat ini. Mimpiku, memiliki perpustakaan pribadi. Tapi, saat aku punya rumah, tidak ada tempat untuk membuat perpustakaan pribadi. Dan, jadilah read eat. Aku rindu tempat itu. Rak buku, kursi putih besi, buku-buku itu. Aku keluar dari tempat ini, membawa buku ini dan memasukan ke dalam tas. Kembali memasuki lorong ramai, dengan bau amis. Langkahku terhenti seketika, saat merasakan kepalaku berdenyut. Aku menarik napas sejenak, menenangkan diri, tapi rasa itu semakin kuat, kuat dan kuat. Lalu ambruk. *** Seolah sudah menjadi kebiasaan, aku terbangun dalam bangsal. Kali ini, lebih lemah. Tidak berdaya. Dokter Rian, memasuki bangsal ini. "Bu Ana, kenapa Anda mangkir dari kewajiban? seharusnya tadi pagi Anda dalam antrean saya, tapi kenapa Anda harus menunggu sampai pingsan dulu, baru mau ke sini?" dokter itu mencecarku. "Waktuku berapa lama lagi, Dok?" Dokter Rian menghela napas, lalu berkata. "Silakan ke ruangan saya. Saya bantu." Dokter Rian membawaku dengan kursi roda, memasuki ruang pemeriksaan yang tak ada siapa-siapa. Kemudian menyalakan benda dengan lampu besar menyala, dan memperlihatkan hasil rontgen. Membentangkan padaku, dan mulai menunjuk pada gambar yang ada di sana. "Ini hati Anda, Bu." Katanya. "Kankernya sudah menjalar di seluruh ini." Entah itu pulpen atau apa, dia menggunakan benda itu membentuk lingkaran pada sebuah gambar bulat seperti gambar otak. "Anda harus diobati, Bu. Kalau tidak-" "Aku akan meninggal? diobati pun aku akan meninggal, Dok." Dokter Rian terdiam, terpaku, sambil menatapku di kursinya. Kemudian mematikan benda dengan lampu menyala itu. Lampunya redup, lalu dia menyimpan foto rontgen. "Aku lebih ingin melakukan hal yang berguna sebelum aku pergi." Dokter itu menundukan kepalanya. Lalu kembali menatapku. Bibirku bergetar, dan menyecap rasa ludah yang berubah jadi asam. "Bagaimana dengan suami dan anak Ibu?" "Mereka tidak perlu tahu, Dok." Dokter Rian kembali terdiam, menarik napas, lalu memalingkan wajahnya. Aku membungkam bibirku, menahan tangis yang tak perlu aku keluarkan lagi. *** Abi menelpon ku berkali-kali. Tapi sengaja tidak aku jawab. Aku memang perlu istirahat sebentar di sini. Merasakan kesendirian, agar aku lebih terbiasa. Jika nanti, Abi memilih pergi bersama dengan dia yang menurutnya lebih baik dariku. Saat ini aku butuh udara segar. Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, sebelum magrib tiba. Langit yang berwarna oranye seolah mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Aku tersenyum saat menatap cincin putih di jari manisku. Cincin berlian yang Abi bilang menguras dalam koceknya. Aku tertawa jika ingat itu. Akan aku simpan sebagai kenangan yang paling indah. "Ana," Aku terlonjak, kemudian berdiri dan membalikan tubuhku. "Sera?" aku gelagapan, celingukan ke sana kemari. "Kau.. sakit? dirawat di sini?" Aku menelan ludah, tidak bisa lagi mengelak karena cairan infus itu tak bisa aku sembunyikan. "Ya, sakit biasa. Kelelahan." Ucapku getir. Lalu Sera ikut duduk di bangku. Di sampingku. "Sejak kapan? Abi dan Rey, ke mana?" Sera memanjangkan lehernya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Mereka pulang dulu, untuk mengambil baju ganti." "Jadi, kau sendirian?" aku mengangguk kecil. "Biar aku temani sampai mereka datang." "Oh, tidak perlu." Jawabku cepat. "Kalau kau mencemaskan keadaan Rey, aku bisa pergi sebelum mereka melihatku." Padahal bukan itu maksudku. Abi dan Rey bahkan tidak tahu aku ada di sini. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tersenyum melihatku. Senyuman yang baru aku lihat sejak pertama kali aku bertemu dengannya. "Terima kasih," ucapku. Lalu perlahan memegangi tangannya. "Aku punya hadiah untukmu." Aku berdiri, dan Sera pun ikut berdiri kemudian berjalan bersamaku. Dia menuntuntku, sampai kamarku di mana aku dirawat. Kemudian mengambil tasku yang berada di atas laci meja kayu. Dan mengeluarkan sebuah buku dengan lembarannya sudah berwarna kuning. Tapi sampulnya terlihat baru karena memang baru aku lalisi plastik agar tidak terkena debu. Sera terkejut, dan mengambil buku itu. "Kau tidak perlu menyewa atau membelinya. Aku berikan cuma-cuma untukmu." "An, tapi kan ini.. kau bilang.. ini sudah tidak dicetak lagi. Buku ini, sangat berharga untukmu." "Ya, justru karena ini berharga, aku hadiahkan untukmu. Ambillah." Aku membenamkan buku itu ke dalam genggaman Sera. "Dan, satu lagi. Tolong, jangan menyerah menunggu Rey. Aku yakin, suatu saat nanti dia mau bertemu denganmu. Aku akan berusaha." "Tidak, An." Dia menyergah. Dan aku bisa merasakan lembutnya tangan Sera saat menyentuh lenganku. "Bukannya aku tidak mau berjuang untuk anakku sendiri. Tapi, aku tidak ingin memaksakan kehendakku. Untuk apa aku berjuang kalau itu hanya akan melukai Rey. Aku yakin, Rey sudah sangat bahagia bersamamu dan Abi." "Aku ingin bertanya satu hal padamu." Kalau tidak nyambung. Dia mengerutkan keningnya. Tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat ini. Mungkin sel-sel kanker itu memang sudah mulai menggerogoti otakku, sehingga aku bisa berpikir jauh dari topik pembicaraan. "Apa?" katanya harap-harap cemas. "Apa kau masih mencintai Abyan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN