Can you feel it 2

1021 Kata
"Nih, bersihkan badanmu." Abi menangkap handuk yang ku lemparkan padanya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan aku, berusaha untuk menghindari tatapannya seperti anak ABG yang baru saja mendapat ciuman pertama. Aku pun membersihkan diri di kamar mandi belakang dan mengganti bajuku yang basah oleh piyama milik bibi Endah. Perlu aku informasikan, pelarian diriku ke sini, sama sekali tidak ada persiapan apa-apa. Jadi, yang ku bawa dari Jakarta hanya baju yang melekat di badan. Aku duduk di bangku halaman belakang rumah setelah memeriksa bahwa bibi Endah dan Rey sudah tidur. Ya, hanya makhluk kurang kerjaan yang masih terjaga di tengah malam seperti ini. "Bu Endah, tinggal di sini sendiri?" Aku terperanjat di tempat saat tiba-tiba Abi sudah mengambil posisi duduk di sebelahku. Dia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi baguslah, aku tidak perlu membicarakan apa yang terjadi barusan. Hey, dari tadi aku yang terus memikirkannya. "Semua anak bi Endah sudah menikah dan semua tidak menetap di Lembang. Anak pertamanya tinggal di Cimahi, anak keduanya tinggal di Garut, dan anak ketiganya ikut dengan Mang Zaenal di Tasik. Bi Endah adalah adik ayah yang sudah bercerai dengan suaminya -mang Zaenal- beberapa tahun lalu. Jadi, karena ayah hanya dua bersaudara maka, bi Endah yang mengelola perkebunan teh milik keluarga kami setelah ayah meninggal. Dibantu oleh beberapa pekerja yang lainnya juga." "Bu Endah, tidak kesepian?" Aku tertawa kecil. "Bisa jadi," jawabku tidak yakin. "Tapi anak-anaknya setiap satu minggu sekali selalu datang ke sini." "Ayah dan ibumu, sudah lama tiada?" "Sudah lima tahun yang lalu." Aku menyesap coklat panas yang masih hangat. Berusaha menikmati suara hujan yang berderai-derai. "Mami meninggal karena kecelakaan, dan ayah menyusul mam, tiga bulan setelah mami tiada. Dokter bilang, ayah terlalu banyak memikirkan kepergian mami yang mengakibatkan depresi, lalu pecahnya pembuluh darah di otak." Aku menggigit bibirku berusaha tidak sedikit pun mengeluarkan air mata. "Terlalu mencintai tidak baik juga ternyata." Aku tertawa kecil mengingat apa yang dilakukan ayah dulu. Ayah begitu sangat terpukul atas kepergian mami. Tidak ada satu hari pun tanpa dilewatkan dengan merenung, diam, melamun. Mungkin itu karena ayah terlalu mencintai mami. "Kenapa kau tidak tinggal di sini?" Aku mengalihkan pandanganku ke atas, menatap langit gelap, menahan sesuatu yang mendesak keluar dari mataku. Sudah aku teguhkan bahwa aku tidak boleh menangis. Kemudian mengambil napas banyak-banyak berharap aku bisa menahannya. "Terlalu banyak kenangan tentang ayah dan mami di sini. Jadi, aku putuskan untuk tinggal di Jakarta. Di sana aku bisa sedikit lebih hidup. Setidaknya ada Fay, Sha, Naya dan Nessa yang bisa aku andalkan." Tanganku menggenggam cangkir berisi coklat panas, merasakan suhunya yang hangat di telapak tanganku. "Jadi, kapan rencanamu untuk mengatakan soal Rey pada, Ben?" "Belum ada." Katanya singkat. "Bahkan aku tidak memikirkannya." Aku menaruh cangkir yang ku pegang ke atas meja yang ada di hadapanku. "Bi," aku menyentuh tangannya. Dia menoleh padaku. "Rey, akan tumbuh besar. Disaat Rey sudah mengerti dengan keadaan, dia pasti akan mempertanyakan tentang mereka. Terutama soal ibunya. Apa kau pernah berpikir bahwa suatu saat nanti, Rey akan menanyakan soal Sera?" "Aku tidak berpikir sampai ke sana. Rey masih terlalu kecil untuk mengerti." "Dia memang masih kecil, tapi dia akan tumbuh menjadi seorang remaja, kemudian dewasa. Mau tidak mau, kau harus memberitahunya tentang asal-usulnya. Seberapa pun menyakitkan sejarahnya, dia harus tahu. Apa kau pernah berpikir bagaimana Rey di sekolah? Disaat teman-temannya menceritakan tentang orang tua?" "Rey masih punya aku sebagai ayah yang bisa dia banggakan di depan teman-temannya." "Bagaimana dengan, ibu? Teman-teman Rey pasti tidak hanya menceritkan tentang ayah mereka, tapi pasti juga tentang ibu. Apa kau pernah membayangkan wajah kebingungan Rey di depan teman-temannya?" Abi tercenung memandangi lantai yang sedikit basah akibat cipratan dari air hujan. "Paling tidak, kau bisa mengatakan bahwa dia punya seorang ibu yang pergi lebih dulu ke surga. Agar dia tidak kebingungan jika ditanya soal ibu. Karena saat dulu aku mempertanyakan hal itu, jelas sekali Rey begitu sangat kebingungan." Abi masih bergeming memandangi lantai. Sementara pandanganku masih tidak aku alihkan dari wajah Abi. Aku tidak tahu apa yang saat ini dia rasakan tapi aku cukup memahami bagaimana sulitnya dia mengurus Rey seorang diri. "Apa aku bisa mencobanya? Menceritakan kepada Rey tanpa membuatnya terluka?" Entah apa yang aku pikirkan tanganku terulur begitu Abi mengalihkan pandangannya dari lantai kepadaku. Mungkin ini akibat dari lebatnya hujan malam ini. Bukankah hujan bisa mengubah keadaan? Aku bisa merasakan pipi Abi yang dingin dan telapak tanganku yang enggan beranjak dari sana. Apalagi, saat tangan Abi memegang tanganku yang berada di pipinya. Astaga, siapa pun bantu aku untuk mengontrol detak jantungku. "Kau pasti bisa. Kau ayah yang hebat untuk Rey." Aku melihat senyumnya terbit di tengah derasnya hujan yang mengguyur kota Lembang. Dan kami yang berada di tengah perkebunan teh yang terbentang indah, saling berpandangan satu sama lain berusaha mengabaikan dinginnya cuaca malam ini. Abi meremas tanganku, menurunkannya dari pipi seraya berkata, "Bagaimana jika aku bukan super hero nya, tapi justru aku adalah Joker?" Aku menyeringai. "Apa kau digilai Harley Quinn? Bahkan kau tidak mendapat apa-apa sampai akhir." Mata Abi menyipit diiringi senyuman yang terbit di wajahnya. Kemudian memalingkan wajah menatap kembali luasnya kebun teh. "Ada banyak hal yang tidak kau ketahui, An." Ujarnya. "Dan, aku juga tidak tahu, apakah semua itu akan terus terkubur, atau justru akan muncul ke permukaan." "Apakah itu sebuah kenyataan yang tidak mau semua orang ketahui?" Abi menatapku oleh kedua bola matanya yang berwarna coklat. Aku kembali menarik napas saat sorotan matanya menggelap. Seolah ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan rapat-rapat. Sesuatu yang berusaha dia simpan dalam-dalam. Dan dia takut hal itu akan terkuak kenyatannya. Walau aku mencoba menguak dan mengorek hal itu, aku yakin, aku tidak akan mendapat apa-apa. Secara bersamaan, aku mengerti, bahwa rahasia Ben saat ini, bukanlah satu-satunya rahasia yang aku ketahui. Bisa jadi, akan ada banyak hal lagi kenyataan yang akan tiba-tiba muncul. Dan itu, bukan hanya keluar dari Ben. Tapi juga Abi. Mereka berdua seolah seperti kotak rahasia yang belum sepenuhnya terbuka. Tugasku, hanya menunggu, kenyataan apa lagi yang akan aku ketahui. Aku mengerjap, saat tidak sengaja tanganku menyentuh tangan Abi. Mengambalikan lamunanku yang cukup jauh. "Sebelum pulang, bagaimana kalau kita ke Farm House? Katanya di sana tempatnya bagus." Ucapku memecah kecanggungan, sambil mengembuskan "Boleh, Rey pasti suka."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN