bab 5 janjian

1467 Kata
Bab 5 “Akhirnya selesai juga…” ujar Aira sembari meletakkan bolpoinnya. Dengan sigap, ia merapikan nota-nota belanjaan dan memasukkannya ke dalam file. “Aira, ditungguin tuh, sama kakak sepupu, lo, yang sok perhatian!” ucap Radit mesuk ke dalam ruangan yang berukuran tiga kali empat itu. “Sama siapa, dia? Sendiri?” tanya Aira. Matanya tak berkedip menunggu jawaban Radit yang sepertinya acuh saja dengan pertanyaan Aira. “Ngarep banget sih, lo, dia datang sendiri! Ya sama pacarnya lah!” jawab Radit tidak peduli dengan perasaan Aira yang galau. “Huff….” Aira menghela napas sesaat, “Tolongin gua dong Dit,… bilangin sama kak Atha, dia pulang duluan saja, kerjaan gua belum selesai,” ujarnya mengiba. “Belum selesai ngapain?” tiba-tiba Atha muncul dari balik pintu. Mata Aira membulat melihat Atha kini berdiri tepat di depannya. “Lo, ngomong saja sendiri,” ujar Radit berlalu meninggalkan ruangan tante Yuli. Atha berkacak pinggang di depan Aira dengan tatapan gemas. “Belum selesai ngapain kamu?” tanya Atha menyelidik. Matanya menatap meja yang sudah rapi. “Aira masih ngerjain tugas yang disuruh tante Yuli, kak Atha,” jawab Aira kembali membuka File nota-nota yang sudah ia rapikan tadi. Atha mengernyitkan dahi. Sepertinya ia ragu dengan alasan Aira. “Kamu kenapa sih, belakangan ini sepertinya malas jalan bareng kak Atha?” Tanya Atha duduk di kursi hitam yang biasa di duduki tante Yuli. “Enggak, kok! Itu perasaan kak Atha saja? Aira senang lah jalan bareng kak Atha, naik mobil gratis, kadang ditraktir makan sampai kenyang, pula!” Jawab Aira sembari menguak satu persatu nota yang sudah selesai ia periksa. “Kamu sudah punya pacar?” tanya Atha menatap Aira lekat. “Memangnya kenapa? Kok Kak Atha nanya gitu?” tanya Aira tergelitik dengan pertanyaan Atha yang tidak pernah ditanyakannya. “Ya… kalau kamu sudah punya pacar, wajar saja kalau kamu malas jalan bareng kak Atha. Pasti kamu lebih suka jalan bareng pacar kamu. Iya, kan?” sahut Atha sambil bersandar di kursi. “Aira belum punya pacar! Aira nggak malas jalan bareng kak Atha. Aira cuma nggak enak sama kak Zafira. Takut terganggu dengan kehadiran Aira di dalam mobil.” Jawab Aira yang pura-pura sibuk membolak balik nota-nota. “Kenapa terganggu? Kamu kan Adik kak Atha! Kak Atha sudah bilang sama dia, kalau kak Atha menganggap kamu seperti adik kandung kak Atha. Dan Zafira mengerti itu. Jadi kamu nggak perlu sungkan begitu.” Aira hanya diam, ia tidak ingin menanggapi ucapan Atha. “Masih lama?” Tanya Atha yang menegakkan tubuhnya. Matanya menyelidik nota-nota di tangan Aira. “Sudah selesai,” jawab Aira merapikan nota-nota kembali ke dalam file. “Benar, kak Zafira tidak terganggu dengan kehadiran Aira?” tanya Aira memastikan. “Benar! Lagi pula, dimobil juga ada mama,” jawab Atha sembari berdiri. “Ada tante Yuli juga?” “Iya, tadi habis cek-up. Mama dan Zafira nunggu di mobil.” “Ow,” Aira yang tidak enang hati, buru-buru merapikan meja. “Aira sudah selesai, yuk!” Aira berjalan lebih dulu, sedangkan Atha melebarkan langkahnya mengejar Aira. Keduanya kini berjalan sejajar menuju parkiran mobil. “Hasil cek-up tante Yuli, bagaimana kak Atha?” tanya Aira sebelum sampai ke mobil. “Besok baru keluar hasilnya,” “Semoga hasilnya baik semua, semoga tante Yuli nggak kenap-napa.” Doa Aira yang diaminkan oleh Atha. ** Aira berlari-lari kecil menuju kelas. Jam sudah menunjuk tepat pukul tujuh malam, namun ia berharap pak Bima belum masuk kelas. Di parkiran terlihat pak Bima baru saja turun dari mobil. Aira memperlebar langkahnya agar masuk kelas lebih dulu. Namun sepertinya usahanya gagal, karena pak bima memanggilnya. “Aira! Kesini!” pintanya. “Iya, pak Bima,” sahutnya mendekat. “Tolong bawakan ini ke kelas,” ujarnya menyerahkan sebuah kardus. “Ap aini pak? Berat.” Tanya Aira penasaran dengan isi kardus. “Peralatan makan. Kamu lupa kalau hari ini kita praktek menata meja?” “Ow, iya…” jawab Aira tersipu malu. “Jangan jangan kamu tidak bawa tugas yang saya suruh.” “Loh, bukannya tugas yang bapak berikan waktunya tiga hari? Ini masih satu hari, bapak.” Protes Aira. “Itu tugas hukuman. Malam ini tugas kamu bawa saus cabe dan barbeque. Lupa?” “Astaghfirullah… saya lupa, pak,” ujar Aira salah tingkah. “Kamu ini niat kuliah nggak, sih? Masa tugas begitu saja lupa?” “hiks, maaf. Pak, Sebentar saya beli ke warung dulu,” ujarnya menyerahkan kardus ditangannya pada pak Bima. “Hem?” pak Bima melotot pada Aira, “mau dapat nilai ‘D’?” ancam pak Bima. “Waduh, jangan donk, pak. Saya tidak mau jadi mahasiswa abadi. Iya, saya bawain ke kelas,” ujar Aira tersenyum kecut. Aira berjalan mendahului pak Bima. Setibanya di kelas, Aira meletakkan kardus bawaannya di atas meja dosen. “Cieee… yang datang barengan pak Bima,..” goda Naumi saat Aira mendekat dan duduk di sampingnya. “Nggak usah mulai lagi deh, Na.” Protes Aira menunjukkan sikap kesal. “Cieee… yang perhatian bawain barang pak Bima,” sambung Naumi berbisik ketelinga Aira. “Bukan perhatian, tapi terpaksa!” jawab Aira kesal. Sudah terbayang omelan yang akan dia terima dari pak Bima dan teman teman kelompoknya karena tidak membawa saus. Jam pertama pun di mulai. Pak Bima meminta para mahasiswa untuk bergabung dengan kelompok masing masing dalam satu meja. Dan mengumpulkan tugas di meja kelompoknya. Yang tidak bawa tugas, dipersilakan meninggalkan kelas. Aira merutuki dirinya yang lupa membawa tugas. Tapi, hari ini ia benar-benar tidak konsentrasi. Hubungan Atha dan Zafira benar-benar mengganggu pikirannya. Ditambah lagi tante Yuli yang tiba-tiba pingsan sesaat sebelum ia berangkat kuliah tadi. Untung saja Atha sigap dan segera melarikan tante Yuli ke Rumah sakit. Dari pada kena omel pak Bima dan teman-teman satu kelompoknya. Aira memilih segera meninggalkan kelas. “Aira!” Panggil pak Bima. “Iya, Pak?” sahutnya menoleh. “Temui saya di kantor dosen setelah jam pelajaran selesai.” Ujar pak Bima memberi instruksi. “Baik, pak,” angguk Aira tak bersemangat. “Ehem,… cieee….” Goda Naumi menaik turunkan alis matanya menatap Aira. Aira Cuma melengos, lalu melangkah pergi meninggalkan kelas. Ia berjalan menuju kantin. Aira mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mecoba menghubungi Atha. Tapi sayang, Atha tidak menjawab panggilan telphonnya. Lalu Aira mengirim pesan singkat, bertanya tentang keadaan Tante Yulia. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Atha membalas pesan singkat Aira. Aira gelisah, mengetahui keadaan tante Yulia yang kini di rawat intensif di ruang ICU. Kalau saja pak Bima tidak memintanya bertemu di kantor dosen, Aira sudah pasti pergi ke rumah sakit menjenguk tante Yulia. Waktu terasa sangat lambat, Aira tidak sabar menunggu jam pelajaran pak Bima selesai. Setelah menunggu lama, Akhirnya pak Bima keluar dari kelas. Aira yang menunggu di luar kelas, segera menghampiri pak Bima dan menmgikutinya menuju kantor dosen. “Ada apa bapak meminta saya menghadap ke sini?” tanya Aira tidak sabar ingin segera menyelesaikan urusannya dengan pak Bima. Pak Bima hanya diam, dia masih sibuk merapikan barang-barang bekas prakteknya tadi di kelas. Aira menghela napas, mau tidak mau dia harus menunggu sampai pak Bima menyelesaikan urusannya. “Kemarin kamu tidur di kelas, hari ini kamu tidak bawa tugas kelompok. Kenapa? Kamu ada masalah?” tanya pak Bima melipat tangan, matanya tajam menatap Aira. “Tidak ada, Pak. Hanya saja, tante saya sedang sakit. Dia pemilik kafe tempat saya bekerja. Nah, karena tante saya itu sakit, jadi, semua pekerjaannya di kafe saya yang handle. Saya hanya sedikit lelah pak, jadi kurang konsentrasi.” Dalih Aira berharap pak Bima memaklumi dan memaafkan kesalahannya belakangan ini. “O, begitu. Baiklah, saya paham. Dan saya tidak ingin membebani kamu dengan tugas yang saya berikan. Saya akan hapus tugas itu, tapi dengan syarat besok siang temani saya ke acara resepsi pernikahan teman saya,” Pinta Bima melipat tangan sambil bersandar di kursi menunggu jawaban Aira. “Waduh, ke acara pernikahan? Kenapa harus saya, Pak? Memangnya pak Bima nggak punya pacar?” tanya Aira penasaran. “Kalau saya punya pacar, saya nggak akan mengajak kamu. Tapi… terserah kamu, kalau kamu bersedia menemani saya, tugas hukuman itu saya hapus, dan kesalahan kamu yang tidak membawa tugas malam ini, saya ampuni. Tapi, kalau kamu menolak, kamu harus kumpulkan tugas hukuman yang kemarin saya berikan di tambah tugas baru karena kamu tidak membawa saus cabe dan saus barbeque? Pilih mana?” Aira menghela napas sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Saya pilih nemanin bapak ke kondangan. Besok berangkat jam berapa, pak?” tanya Aira beruntun. “Jam empat sore,” “Ketemuannya dimana?” tanya Aira lagi. “Saya akan jemput ke rumah kamu,” “Jangan jemput ke rumah, pak. Mending jemput di kafe tempat saya bekerja. Nggak jauh dari sini.” Ujar Aira menerangkan alamat kafe tempat ia bekerja. Setelah keduanya mencapai kata sepakat, Aira pamit meninggalkan ruang dosen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN