BAB 6
Aira berlari-lari kecil meninggalkan kampus menuju rumah sakit yang tak jauh dari kampusnya. Setibanya di lobi, Aira melambatkan langkah lalu bertanya pada security arah menuju ICU. Belum sempat di jawab oleh security, seseorang memanggilnya.
“Aira!”
Aira menoleh mendengar Namanya dipanggil.
“Kak Zafira?” sahutnya mendekat. “Bagaiama keadaan tante Yulia, kak Fira?” tanyanya cemas.
“Tante Yulia masih di ICU, belum boleh di besuk.” Ujar Zafira sembari berjalan menuju ruang IGD tempatnya bertugas.
“Kak Atha dimana?” tanya Aira sambil mengikuti langkah kaki Zafira.
“Dokter Atha sedang praktek di poli bedah. Kamu tunggu saja di loby, nanti kalau dokter Atha sudah selesai praktek, saya akan beritahu dia, kalau kamu menunggu di loby.” Ujar Zafira tanpa menoleh.
Aira mengangguk dan menghentikan langkahnya. Sikap Zafira yang dingin membuatnya tak lagi bertanya. Padahal banyak hal yang ingin dia ketahui tentang keadaan tante Yulia. Ia menatap punggung Zafira yang hilang dibalik pintu ruang IGD.
Aira menghela napas dalam. Sikap Zafira tidak seramah biasanya saat Atha ada bersama mereka. Tidak ingin memikirkan Zafira lebih lama, Aira kembali ke loby utama, menunggu Atha disana seperti instruksi Zafira. Karena lelah seharian bekerja, dan di sambung dengan kuliah, Aira ketiduran di kursi tunggu. Saat terbangun jam sudah menunjuk pukul sebelas malam. Loby rumah sakit terlihat lengang. Hanya ada security dan beberapa keluarga pasien yang tampaknya juga sama seperti dirinya, menunggu. Aira memberanikan diri naik ke lantai dua, tempat Atha biasa praktek di poli bedah.
Sepi, tidaka ada sesiapa disana. Bahkan lampu lampu sudah dimatikan semua. Hanya ada penerangan kecil di sudut sudut ruangan. Aira bergegas turun ke bawah, sembari menghubungi nomer telphon Atha.
“Halo, kak Atha dimana?” tanya Aira setelah panggilan telphonnya di jawab.
“Aku di ICU. Kamu belum tidur?” tanya Atha heran.
“Aira di rumah sakit. Tadi pas nunggu kak Atha selesai praktek, Aira ketiduran di loby.” Jawab Aira berjalan menuju ruang ICU.
“Ngapain kamu nunggu kak Atha di loby? Kenapa nggak langsung saja ke poli bedah?”
“Tadi Aira ketemu kak Zafira, Aira di suruh nunggu di loby,” jawab Aira sambil mencari ruang ICU.
“Ya sudah, kamu ke parkiran, tunggu kak Atha disana.” Jawab Atha memutus saluran selluler.
Aira berbalik arah menuju parkiran. Ia berjalan cepat, bulu kudunya merinding saat melewati ruang mayat. Ya tuhan, kenapa aku melewati tempat ini, gumamnya dalam hati. Dalam hitungan detik, Aira lari terbirit-b***t. Hentakan kakinya memecah kesunyian malam di Lorong itu.
“Aira, Naik!” teriak Atha membuka kaca jendela mobil.
Dengan napas tersengal, Aira bergegas naik.
“Kenapa kamu? Kayak habis lihat hantu,” ujar Atha heran.
“Aira tadi nyasar lewat ruang mayat. Ish serem,” ujarnya mengedutkan bahu.
Atha tersenyum tipis melihat Aira duduk meringkuk seperti orang ketakutan.
Mobil Atha perlahan meninggalkan rumah sakit.
“Tante sakit apa, Kak Atha?” tanya Aira setelah rasa takutnya berkurang.
Atha tidak langsung menjawab, ia menghela napas dalam. Raut wajahnya kusut. Matanya sayu seperti orang kehilangan semangat.
“Mama divonis menderita kanker hepatoseluler.”
“Kanker hati?” tanya Aira memastikan.
“Hum,” Angguk Atha lesu sambil berusaha tetap focus menyetir. “Mama harus segera melakukan transplantasi hati sebelum keadaannya semakin memburuk.” Ujar Atha cemas.
Aira tertegun mendengar ucapan Atha, ada perih yang turut ia rasakan. “Kak Atha yang sabar, ya. Aira tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu tante Yulia.”
“Kamu tolong ambil alih tugas dan wewenang mama di kafe. Kak Atha percayakan semua sama kamu,” ujar Atha menoleh sejenak.
“Iya, kak Atha. Aira akan melakukannya sebaik mungkin.” Angguk Aira meyakinkan Atha, semua akan berjalan dengan baik.
“Kak Atha sudah makan?” tanya Aira menatap Atha sedih. Wajah tampan yang selalu ceria itu, kini tampak muram dan lesu.
Atha tidak menjawab, ia hanya menggeleng.
“Makan, yuk?” ajak Aira berusaha menepis gundah di hati Atha.
“Nggah, ah, kak Atha lagi nggak selera makan. Nanti saja di rumah,” jawab Atha sekenanya.
“Yaudah, nanti di rumah kak Atha mau dimasakin apa? biar Aira masakin,”
“Huff… ngak tahu. Lihat nanti saja,” jawab Atha tak bersemangat.
Aira diam seribu Bahasa, tidak tahu harus melakukan apa untuk membantu menghilangkan kesedihan Atha. Ia hanya bisa berdoa semoga tante Yulia lekas sembuh.
Setibanya di rumah, Atha disambut dengan banyak pertanyaan dari sanak keluarga. Karena mereka tinggal dalam satu komplek yang isinya semua keluarga besar tante Yulia. Di komplek itu ada empat keluarga yang rumah mereka berhadap-hadapan. Yang paling tua dari keluarga Darmadi adalah Tante yuli yang menempati rumah paling besar di komplek itu. Lalu ada om Iwan dan istrinya. Om iwan anak nomer dua di keluarga besar Darmadi. Ia mempunyai satu anak bernama Sinta. Lalu ada juga om Arif anak ketiga, ia mempunyai dua anak, yakni Della dan Aira. Lalu ada tante Dewi anak bungsu di keluarga Darmadi, ia mempunyai satu anak yang bernama Hani. Malam ini semua berkumpul di rumah tante Yuli, ingin tahu kabar tante Yuli yang kini terbaring di ruang ICU.
“sudah… jangan ditanya-tanya dulu, biar Atha istirahat sebentar.” Ujar om Iwan seolah menggiring Atha duduk di sofa.
“Mau minum apa, Ta?” tanya tante Dewi mengiringi langkah kaki Atha.
“Nggak usah, tante. Nanti Atha ambil sendiri kalau haus,” jawab Atha duduk di samping om Iwan.
“Bagaimana kondisi mama kamu sekarang Atha? Apa sudah ada kemajuan?” Tanya om Iwan, cemas.
“Kondisi mama sudah membaik, om. Hanya saja, mama harus segera melakukan transplantasi hati sebelum kondisinya semakin memburuk. Bosok, Atha, Devan, dan papa akan melakukan test kecocokan. Doakan ya Om, tante, semoga salah satu dari kami bisa menjadi pendonor hati untuk mama.” Ujar Atha berharap.
Om iwan hanya mangangguk anggukkan kepala. Ia merasa serbasalah. Tidak enak hati untuk mengaminkan. Begitupun dengan yang lainnya.
“Yang sabar ya, Atha. Om Cuma bisa mendoakan semoga mama kamu segera mendapat donor hati yang ia butuhkan.” Ujar om Arif menimpali,
“Aamin, terimakasih, om, atas doanya,” ujar Atha mengangguk sopan.
Aira hanya duduk terdiam di meja makan, mendengarkan percakapan keluarga besarnya. Ada was-was di hati mendengar ucapan Atha yang akan menjalani test kecocokan hati dengan tante Yuli. Diam diam, Aira browsing melalui smartphonya, mencari tahu tetang transplantasi hati dan pendonornya.
Malam semakin larut, Aira dan keluarga besar Darmadi meninggalkan rumah tante Yulia. Kini hanya tinggal Atha seorang diri di rumah besar itu. Papa dan Devan berjaga di rumah sakit. Atha izin pulang untuk istirahat, sebab besok pagi ia ada jadwal oprasi.
Di kamarnya, Aira gelisah memikirkan rencana Atha menjadi pendonor hati untuk tante Yulia. Ada rasa cemas yang sulit ia ungkapkan. Ia sangat takut terjadi sesuatu pada Atha pasca oprasi. Apalagi setelah ia mencari informasi tentang resiko yang cukup besar bagi si pendonor.