Bab 4 Tamu tak diundang

1075 Kata
Bab 4 Pagi ini wajah Aira tidak secerah Mentari yang bersinar terang. Tubuhnya terasa sakit dan pegal. Tapi, dia tahu itu bukan alasan untuk izin tidak masuk kerja. Apalagi pagi ini tante Yulia memintanya menghadap. “Lagian kamu ada ada saja, Aira. Ngapain kamu jogging pulang kerja? Udah bagus seperi biasanya… pulang kerja langsung balik ke rumah, terus tidur sebelum berangkat kuliah.” Timpal bunda mendengar rintihan Aira menahan sakit. “Aira gak tahu kalau bakal sesakit ini rasanya, bun.” Ujar Aira memijat-mijat kakinya. “Aira ke sebelah dulu, bun. Di panggil tante Yulia,” Aira beranjak dari duduknya lalu berjalan terseok seok menahan pegal. Bunda hanya menatap dari tempat duduknya, mengiringi Langkah Aira yang lambat seperti siput. “Assalammualaikum,” sapa Aira masuk dari pintu belakang. Salam Aira di jawab seisi rumah sambil menoleh. “Habis ngapain, Lo?” tanya Devan heran melihat cara jalan Aira yang mirip seperti zombi. “Habis jogging kemarin sore. Pas bangun tidur sakit semua badan gue.” Ujar Aira meringis sambil berjalan menuju meja makan tempat keluarga itu berkumpul. “Ya ampun Aira… habis jogging itu harusnya segar, bukan malah jadi sakit begini.” Timpal tante Yulia. “Terlalu semangat, jadinya gitu, Ma,” timpal Atha menoleh pada Aira. “Belum puas ngomelnya?”protes Aira pada Atha. “Nanti sepulang kerja, lari lagi seratus kali putaran,” lanjut Atha sambil menyendok sarapannya. “Ahahaha… setelah itu Aira jalan kayak orang habis lahiran.” Timpal Devan tertawa geli membayangkan jalan Aira menahan pegal. Tante Yulia, om Arfan dan Atha ikut tertawa melihat Aira cemberut dan memonyongkan bibirnya pada Devan. “Duduk, Aira… Ayo, ikutan sarapan.” Ujar tante Yulia meletakan satu piring kramik berwarna putih di kursi kosong. Aira duduk, lalu ikut menikmati hidangan pagi buatan tante Yulia. “Tante panggil Aira? Ada apa tante?” tanyanya disela sela suapan pisang goreng keju di piringnya. “Begini Aira…”Tante Yulia menghentikan suapannya sejenak. “Hari ini tante mau cek up. Mungkin tante tidak bisa datang ke kafe. Tolong bantuin tante ngecek pembukuan kemarin, ya. Sekalian cek stok bahan yang terpakai dan yang tersisa.” Aira mengangguk, paham. “Baik, Tante.” “Nanti kalau sudah selesai, kamu laporkan pada tante,” “Hum,” angguk Aira patuh. “Memangnya kamu bisa masuk kerja dalam keadaan begini, Aira?” tanya Atha melihat Aira kepayahan menggerakkan kaki. “Aman, kak Atha. Nanti pegalnya juga hilang sendiri,” sahut Aira sambil menuangkan salat buah ke piring yang sudah kosong. “Ya sudah, kalau begitu berangkatnya bareng kak Atha saja,” ajak Atha menyudahi sarapannya. “Bukannya kak Atha berangkat siang?” “Pagi ini kak Atha ada janji dengan pasien. Lima belas menit lagi kita berangkat,” “Hum, oke,” angguk Aira mempercepat suapan, menghabiskan salat buah kesukaannya. Belum habis salat buah di piringnya, terdengar suara wanita mengucap salam. Seketika selera makan Aira hilang. Walau baru sekali bertemu tapi ia hafal siapa pemilik suara itu. Zafira. “Waalaikum salam,” sahut yang mendengar hampir bersamaan. Atha segera menoleh kemudian beranjak mendekati suara itu. “Hai, Fir, masuk,” sambut Atha ramah. “Halo cantik, ayo ikut sarapan,” sambut tante Yulia membuka tangan siap menyambut pelukan hangat Zafira. “Iya, tante, terima kasih. Tadi dari rumah sudah sarapan. Ini saya bawa sesuatu untuk tante,” ujar nya sembari menyerahkan goodi bag. “Apa ini?” tanya tante Yulia semeringah menerima pemberian Zafira. “Ini titipan mama,” sahut Zafira lembut. “Wah, repot-repot,” ujar tante Yulia sambil menguak isi goodi bag. Kemudian ia tersenyum lalu membawa goodi bag ke dapur. “Kamu jauh-jauh kesini Cuma buat nganter itu?” tanya tante Yulia tidak enak hati. “Nggak kok, tante. Saya ke sini mau sekalian mengembalikan buku Atha yang tertinggal di rumah kemarin sore,” ujar Zafira menyerahkan buku tebal pada Atha. “Kenapa nggak nelphon saja? Aku, kan. bisa ambil sendiri ke rumah kamu,” ujar Atha menerima buku miliknya. “Santai saja, Atha, aku sekalian nganter titipan mama dan juga mau melihat kondisi tante Yulia pagi ini,” Atha tersenyum senang mendapat perhatian dari Zafira. Begitu pun tante Yulia. Atha mengajak Zafira ngobrol sejenak di ruang tamu. Tante Yulia dan om Arfan ikut bergabung. Sedikitpun mereka tidak menyadari ada seseorang yang tersiksa melihat perlakuan manis mereka pada Zafira. “Dev, lo, berangkat jam berapa ke kampus?” tanya Aira berbisik pada Devan yang masih menikmati sarapan paginya. “Gua siangan, sekitar jam setengah Sebelas. Emang kenapa?” tanya Devan menyelidik. “Kirain pagi, gua mau nebeng , lo, aja,” “Mana bisa, lo, nebeng sama gua. Lo, arahnya ke mana, gua kemana.” “Bisa kali, gua nebeng sampe perempatan lampu merah pondok labu,” Devan diam sesaat, “Em… tapi gua berangkatnya masih nanti, lo kan harus berangkat sekarang.” Ujarnya tidak mau ambil pusing urusan Aira. “Yaudah lah, gua naik jaklingko saja,” ujar Aira beranjak dari tempat duduknya. “Bukannya tadi kak Atha mau nganterin, lo?” “Itu kan tadi, sekarang? Lihat, tuh, kak Atha masih asik ngobrol,” sahut Aira melirik ruang tamu. “Ya… lo, tinggal tanya sama kak Atha, jadi berangkat bareng atau nggak? Sekalian, lo, ngingetin dia ada janji sama pasien pagi ini. Gitu saja kok repot!” timpal Devan. “Em… “ Aira manggut manggut mempertimbangkan saran Devan. “Iya juga, ya. Yaudah, gue tanya kak Atha dulu,” ujarnya sembari bangkit dari tempat duduk. Kakinya berjalan menuju ruang tamu dengan perasaan tak menentu. “Kak Atha! Jadi berangkat bareng, nggak?” tanya Aira menatap mata Atha. “Oh iya, jadi. Lima belas menit lagi kita jalan,” jawab Atha, seolah menguji kesabaran Aira. Walau kesal, Aira memilih mengangguk, lalu kembali ke meja makan. “Lima belas menit lagi,” grutu Aira kesal, wajahnya cemberut sambil melihat jam dinding yang tepat berada di depannya. “Nasib, lo, dah,” timpal Devan tertawa tipis sembari meninggalkan Aira di meja makan. “Iye gue tahu nasib gue asem,” sahut Aira kesal. Devan tertawa puas melihat kegundahan Aira. “Sepupu nggak ada akhlak. Bukannya ngalemin, malah diketawain!” dumel Aira, mengiringi Langkah kaki Devan menaiki tangga. Aira menatap jarum jam dinding yang terasa sangat lama bergerak. Lima menit. Sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit. Sepertinya tidak ada tanda-tanda Atha akan mengakhiri obrolan itu. Tidak ingin mengganggu Atha yang sedang menikmati senda guraunya bersama Zafira, Aira memutuskan berangkat duluan. Tanpa berpamitan, Aira keluar melalui pintu belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN