Drrtt…
Getaran di ponselnya urung membuat gadis cantik itu memalingkan muka menerima panggilan dari klien.
"Nad, tangani mereka." suruhnya. Sepertinya, ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan mantan calon mertuanya.
"Halo Bu, Key di kantor. Ada apa?" Jawabnya menaruh tas di atas meja kerja lalu duduk.
"Teteh, bisa pulang dulu."
"Ibu sakit atau ayah?" Keysha meraih kaca mata dan mulai menyalakan komputer.
"Apa kami harus sakit dulu baru kamu mau pulang, Hem?"
Keysha memijat pangkal hidung mancungnya, menaruh kembali kacamatanya.
"Nggak gitu bu. Cuman, Key sibuk banget ini. Banyak–"
"Ponakan kamu ulang tahun, dia pengen Tante nya ada di rumah ikut merayakan bukan kado yang dateng nak."
Gadis cantik itu bermata tajam setajam elang itu pun membuang nafas berat.
"Sebentar Bu," Keysha menutup telepon dari sang ibu, lalu menghubungi Nadine.
"Ke ruangan sebentar."
"Oke Bu."
Tidak lama Nadine pun masuk dengan muka kesal, malah membuatnya tertawa kecil. Dia yakin, ada sesuatu terjadi pada pertemuan Nadine dengan Kotaro.
"Jangan cemberut gitu."
"Ish, mereka sangat menyebalkan terutama si pitak tua bangka itu." ketus Nadine.
"Hahaha. Sabar. Gini, Emerald siapa yang handle?"
"Paris sama Dikta. Mereka di Bandung, pasangan emerald suka kota sejuk yang penuh makna. Jadi, mereka menyarankan Bandung."
Keysha mengangguk.
"Aku mau ke Bandung dulu, bisa kamu handle disini."
"Bandung? Ngapain? Ah, astaga sorry. Ibu sama ayah baik-baik –"
"Kamu kira mereka celaka. Sialan."
Nadine melotot. "Heh, bukan gitu ya. Cuman–"
"Cuman mikirnya kesana. Iya, 'kan?" Keysha menunjuk Nadine, sahabatnya itu terlihat cengcengan.
"Ya, maaf. Ya udah gapapa, kalau emang mau ke Bandung. Tapi, ingat, kita harus terbang ke London lusa."
"Iya, gak lupa."
Nadine pun mengangguk, berjalan ke arah pintu. Namun, langkahnya terhenti sambil memegang gagang pintu.
"Apa bokap udah nemu calon mantu yang hilang?"
"Setan kau. Kamu kira saya apaan."
"Ahahaha." Nadine buru-buru keluar sebelum ponsel melayang ke arahnya.
"Hhh.. halo Bu,"
"Bisa 'kan, sayang."
"Iya, Key pulang hari ini. Tapi, mungkin agak maleman nyampenya mau ke tempat tim dulu, sekalian nyari kado buat Zena."
"Iya, gapapa. key hati-hati."
"Iya Bu."
Mereka bukan orang Bandung, hanya saja terjadi sesuatu tujuh tahun lalu makanya sang ayah mengusulkan agar pindah ke Bandung saja guna menenangkan diri dan hati mereka.
"Dakota.. hhh… capek." ucapnya mendesah kasar menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi.
Waktu memang bisa menyembuhkan luka. Namun, terkadang waktu juga bisa mengembalikan luka di saat ingatan menyakitkan itu kembali.
***
"Mau langsung berangkat?" Tanya Adelia, membiarkan sang Abang membuka pengait helm nya.
"Nggak, balik ke rumah dulu. Itu si bontot udah nyampe rumah katanya." jawab Adelio melepas helm dari kepala adiknya.
"Hati-hati."
"Iya. Telepon mommy, dia khawatir sama kamu."
"Iya Abang. Di kantor nanti aku telpon mom."
Adelio mengangguk. "Oke, Abang.. " terhenti melihat motor besar helm tengkorak berhenti di depan nya.
Kedua adik kembar ini saling tatap, Adelia mengangkat bahu, Adelio pun ikut mengangkat bahu.
"Udah, sana." suruh Adelia, tidak perlu mereka tau siapa yang datang. Tho ini kantor pengaduan dan siapapun bisa datang kemari.
"Oke. Jangan sedih terus, bisa-bisa mommy ngelarang?"
"Eh!? Apaan nih!?" Adelia terperanjat secepat mungkin mendekatkan dirinya ke Adelio.
Orang itu menjulurkan tangan yang tengah memegang foto seolah-olah membandingkan orang yang ia cari benar atau bukan.
"Hei, bung. Kau menakuti nya." Adelio turun dari motor, berdiri di depan Adelia.
"Sorry, saya tidak bermaksud." ucap orang itu perlahan membuka helm, membuat si kembar terdiam.
"Dengan nona Adelia Bramantyo Logan? Kenalkan saya Zaidan Ajmal Satriono detektif yang ditugaskan untuk bekerja dengan anda mulai hari ini."
"Bang, rambutnya sehat juga. Apa dia pake produk baru adek?"
"Mungkin juga, bau nya sih… iya benar, itu.. aku suka punya stok nya buat kemana aja. Soalnya ada travel size jadi aman."
Oke, fiks.. mereka salah fokus, malah promosi produk baru adiknya.
"Ahh.. kak Zaki emoh pake sampo itu, katanya bau nya aneh. Padahal kan, adek udah berusaha."
"Ipar laknat itu."
"Setuju banget."
"Khem? Sorry?" Zaidan, laki-laki tegap tak jauh beda dari Adelio. Bisa di bilang, bolehlah untuk ketampanan berada di angka 7 bagi Adelia.
Soalnya.. diangkat 10, wajib dan harus di ingat milik tuan Logan bucin nya nyonya Abi. Lalu yang ke 9 posisi untuk Abang kembarannya dan dan juga bapak CEO Oscar. Dan delapan, punya suami gila nya di rumah.
Rumah? Tidak yakin. Adelia yakin Zaki lagi bersama para jalangnya.
Sayangnya itu tidak benar. Semua pikiran Adelia kali ini meleset di karenakan Zaki sedang berada dalam mode singa siap gigit kapan saja bila ada sesuatu yang salah.
Kekesalan Zaki semakin menumpuk mengingat bagat Adelia tidak peduli padanya hari ini.
"Ckh. Tuh anak kesambet apaan sih, kenapa tiba-tiba cuek? b******k. Saya sedang apa sebenarnya? Sejak kapan saya peduli?" Zaki mengacak rambut bangkit dari kursi. Ia berjalan ke kamar mandi sekedar membasuh muka, berharap semua pikiran-pikiran yang tidak pernah ia inginkan hilang.
"Dokter,"
Seseorang memanggil.
"Ya, sebentar." jawab Zaki, meraih handuk kecil.
Sementara di luar, perempuan bertubuh sintal, pakaiannya pun terlihat kekurangan bahan, sampai tak bisa menampung dadanya yang terlihat tidak nyaman.
Sangat jauh berbeda dengan milik istrinya yang mungil. Itu yang pernah terlintas dalam benak Zaki kala pertama kali bertemu perempuan ini.
Mungkin wajahnya terlihat sensual sayangnya tidak secantik istrinya yang memang tidak bisa diragukan lagi hasil bercocok tanam mertuanya.
Zaki menghela nafas setelah tau siapa yang datang.
"Ada apa?" Tanyanya berjalan kembali ke kursi. Ia menekan panggilan untuk mengabarkan dirinya siap menerima pasien lagi.
Namun, perempuan itu menahan tangannya dan berjalan ke arah Zaki lalu mendorong kursi Zaki.
Wanita itu membungkukkan badannya ke arah Zaki dengan pose sensual untuk menggoda pria itu.
"Sshhh.. kau tidak tertarik pada tubuhku? Bukankah, kau sangat menyukai?" Nasha Razeta seorang janda, jadi janda karena janda. Jadilah, dia bertemu Zaki saat di club' dan mereka one night stand.
Zaki yang melihat tingkah wanita itu merasa risih, tidak tergoda sama sekali.
"Berdirilah dengan benar, saya sedang sibuk sekarang." Balasnya tanpa minat. Bukan nafsu, malah mual sekarang.
Tanpa harus merasa bersalah atau apapun itu. Tho, biarpun Nasha selalu menemaninya berpesta melewati malam dengan bermandikan keringat, tetap saja kali ini dia benar-benar hilang minat. Tho, biarpun Nasha selalu menemaninya berpesta seks, tetap saja kali ini dia benar-benar hilang nafsu.
"Apa? Ada apa denganmu dok, tidak biasanya kau seperti ini. Katakan, sayang ada apa, Hem?" Nasha kali ini duduk di pangkuan Zaki seperti yang sering ia lakukan.
"Apa istrimu bertingkah?"
Kontan Zaki mendorong Nasha dari pangkuannya. Wajahnya sedingin salju yang siap melebur Nasha dalam lautan samudera.
Wanita itu seketika gugup.
"Sayang–"
"Jangan pernah mengatakan apapun tentang istri saya. Ingat posisimu, dia lebih tinggi derajat nya darimu."
Deg!
"K-kau–"
"Keluar. Dan jangan pernah datang kemari lagi atau kau akan terima akibatnya."
"Brengsek." Nasha meraih tas nya dan keluar dari ruangan Zaki.
Brak!
Pintu ruangan Zaki pun Nasha banting, menimbulkan suara keras.
"Cih, dasar jalang. Kau hanya p*****r yang kesekian kalinya datang kemari." dengusnya menekan telepon.
"Saya siap."
"Baik dok."
"Hhh… apa Adelia pake jampi-jampi biar saya kepikiran dia terus?"