Aku tergelitik ketika membaca sebuah tulisan di bak truk ekspedisi yang kebetulan berhenti tepat di depan kendaraanku. Otakku mencoba memutar memori dengan seorang gadis manis yang kukenal belasan tahun silam.
Namanya, Sri Lestari. Gadis keturunan Jawa asli yang bertransmigrasi bersama keluarganya ke Kalimantan. Sri, begitu biasa dia dipanggil adalah gadis belia yang putus sekolah. Dia bekerja membantu sang Ibu sebagai tukang masak di dapur umum sebuah perusahaan milik Dinas PU.
Pertemuanku dengan Sri bukanlah disengaja. Aku bekerja sebagai sopir dum truk di sana. Kami beberapa kali berpapasan ketika berada di dapur. Cantik, kesan pertama ketika aku melihatnya.
Sri gadis manis dan ceria–menurutku–tetapi sebagian pekerja di sini melihat Sri sebagai gadis nakal yang pandai merayu. Entah karena apa? Yang kulihat dia tetap bersikap manis walau memang pakaiannya selalu terbuka. Mungkin terpengaruh oleh gaya pakaian gadis-gadis di sini.
Dua bulan masa perkenalan dan kami memulai hubungan pacaran setelah bulan ketiga. Tak ada yang aneh dengan hubungan kami, kami hanya jalan dan makan malam bersama. Walau kadang sesekali sikap manjanya memaksaku terus menahan diri untuk menyentuhnya.
Hingga suatu malam ketika kami selesai makan di sebuah cafe, cuaca berubah gelap. Langit beberapa kali menyambarkan kilat dan hujan semakin deras. Kami memutuskan untuk berteduh di sebuah pos jaga kecil di ujung jalan.
Tubuh seksi Sri tercetak jelas pada kaos basah yang dipakainya. Setiap lekukannya ... aah aku memalingkan wajah. Takut, jujur saja dari sekian banyak wanita yang pernah hadir dalam hidupku, baru Sri yang mempunyai paras secantik bidadari pun tubuh seseksi ini.
Sesaat kami terdiam menunggu hujan reda sebelum akhirnya Sri membuka percakapan.
"Dingin, ya, Mas,” katanya.
Sri menggeser tubuhnya merapat kepadaku. Entah siapa yang memulai, khilaf itu terjadi tanpa bisa kami hindari. Aku ingat, waktu itu degup jantung kami berpacu dengan peluh yang membanjir. Itu untuk pertama kalinya buatku, entah untuk Sri. Kelihaiannya dalam bercinta membuatku ragu jika dia masih suci ketika melakukannya bersamaku. Namun, aku tak pernah ambil pusing dengan hal itu.
Sejak saat itu, Sri sering datang ke kamar messku diam-diam. Sebagai seorang lelaki normal tentu saja aku senang. Bahkan tanpa merayu dia rela mendatangiku hampir setiap malam.
Saat itu, aku berpikir jika aku dan Sri pasti akan melangkah ke jenjang pernikahan suatu saat. Namun, takdir kami berkata lain. Ibu menelepon jika Bapak tengah dirawat di rumah sakit karena penyakit jantungnya. Bergegas, aku meminta cuti untuk pulang ke kampung.
"Aku janji selalu kabarin kamu, Sri," kataku pada Sri ketika itu.
Namun, janjiku terhalang keadaan. Aku tak bisa menepatinya. Setelah turun dari pesawat dan menunggu bus di Bungurasih–terminal bus Surabaya–dompet dan ponsel raib digondol maling. Uang memang tak seberapa dalam dompet, tapi ponsel yang berisi nomer telepon Sri ikut raib.
Sejak saat itu aku dan Sri tak pernah berkomunikasi. Cuti yang kiranya hanya hitungan hari kuperpanjang menjadi satu bulan karena kesehatan Bapak tak kunjung membaik. Itu artinya aku keluar dari perusahaan. Sebagai anak tunggal, tak sampai hati kutinggalkan Ibu sendirian mengurus Bapak.
Hingga bulan kedua aku berencana untuk menemui Sri, Mas Munip–teman satu perusahaan di Kalimantan–yang kebetulan tengah pulang untuk cuti mengabarkan jika Sri telah menikah dengan seorang bos sawit yang kaya raya.
Remuk. Tentu saja, mungkin ini bukan sepenuhnya salah Sri. Namun, tak bisakah dia menungguku sesaat lagi? Sudah terlanjur kuceritakan perihal hubunganku dengan Sri kepada orang tua. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kuurungkan niatku untuk kembali ke Kalimantan. Mengambil alih tugas Bapak mencari nafkah dengan mencari pasir untuk dijual menjadi bahan bangunan di kampung.
"Ijo tuh lampunya, jalan jangan ngelamun aja," seru Karto yang duduk di sampingku.
Aku terkesiap. Gegas aku bangun dari lamunan akan masa lalu yang berkesan. Truk pasir kembali kulajukan di jalanan yang licin. Hujan yang mengguyur sejak dini hari membuat pekerjaan kami sedikit terhambat.
Ba'da Magrib kami telah menyelesaikan pesanan tiga kubik pasir untuk kebutuhan bangunan. Kukantongi uang empat ratus lima puluh ribu dalam sehari ini. Karto dan Pak Mul kuturunkan di depan gang, sedangkan aku kembali melajukan truk ke arah pasar malam.
Kutepikan kendaraan di bahu jalan sebelum akhirnya menyeberang untuk membeli martabak kesukaan Bagas–anakku. Tak lupa roti golang-galing pesanan istriku. Oh, iya, Kinanti. Apa yang disukai oleh gadis itu? Aku tidak tau dan belum paham. Sejak ia datang kemarin, kami belum sempat bicara panjang lebar.
Truk kembali kukendarai, kali ini sedikit pelan karena sudah masuk dalam gang kecil. Bangunan lama dengan halaman luas itu adalah rumahku. Rumah peninggalan kedua orang tua yang kini kutinggali bersama istri dan anakku.
"Assalamualaikum."
Lantang kuucap salam ketika masuk ke dalam rumah. Nurma–istriku–terdengar menyahut salam sambil berlari.
"Wa'alaikumussalam."
Wajah ayu Nurma terbungkus mukena putih tulang yang masih dipakainya. Ia menyahut tanganku, lalu mengecup punggungnya takzim. Ahh ... istri salihahku.
"Ambil ini, martabak sama golang-galing kesukaanmu," tuturku sambil menyerahkan kresek kepada Nurma.
"Untuk Kinan, mana?" tanya Nurma padaku.
Aku terdiam. Lama aku mematung karena tidak tau apa kesukaan gadis itu. Makanya aku hanya membelikan martabak dan golang-galing untuk Nurma dan Bagas.
"Kamu harus adil, Mas. Kinanti juga anakmu," kata Nurma.
Wanita itu berlalu dengan wajah sedikit kesal. Bukan, sepertinya Nurma mulai kecewa karena ternyata aku belum bisa adil terhadap anak-anakku dan Nurma.
Jujur saja, aku masih syok karena tiba-tiba memiliki seorang anak sebesar Kinan. Walaupun aku tidak menampik jika itu mungkin saja terjadi, nyatanya kehadiran gadis itu mau tak mau membuatku harus kembali menata hati.
Kinanti lahir dari rahim seorang wanita yang memang pernah kutiduri. Dan Nurma paham hal itu. Kini, malah aku yang tidak bisa berbuat adil.
Belum sehari Kinan di sini dan semua harus kembali ke setelan awal. Sejak kemarin, aku benar-benar belum berani membuka cerita mengenai asal usul gadis itu. Tentu saja, itu akan membuat hari Nurma terluka. Sebab tau bahwa aku dulu bukanlah pria yang bertanggung jawab.
Aku menyusul wanita itu ke kamar. Namun, Nurma masih mendiamkanku. Kuambil tangan wanita yang kini duduk sembari mengemas baju. Lantas, mengusap punggung tangannya lembut.
"Nur, maafkan aku. Aku memang biadab dulu. Ini memang harus aku tanggung. Tapi, aku juga butuh waktu," kataku.
"Itu bisa kamu lakukan seiring berjalannya waktu. Yang penting sekarang, bagaimana menjelaskan situasinya kepada Bagas. Bagas masih sekecil itu. Apa mungkin dia paham dengan noda yang orang tuanya buat di masa lalu," ucap Nurma seraya meneteskan air matanya.
Aku tak lagi bisa berbuat banyak. Ya, Bagas. Bagaimana aku akan mengatakan mengenai Kinan pada bocah itu?