Aku terduduk di lantai keramik. Entah apa yang harus kuperbuat setelah ini. Nasi sudah menjadi bubur, bukankah aku sudah menjadi manusia lebih baik sekarang? Tentu saja ini berkat Nurma.
Aku ingat hari pertama bertemu Nurma. Dia gadis pemalu yang sering mengajar mengaji di masjid depan gang. Cantik luar dalam, tentu saja dia adalah lulusan pondok pesantren ternama di sini.
Perkenalan singkat kami adalah pernikahan yang didamba banyak orang. Ta'aruf kemudian khitbah lalu menikah. Begitulah agama kami mengajarkan. Santun dan ramah sikap Nurma membuatku luluh seketika itu juga.
Sejak awal pernikahan kami, Nurma selalu telaten mengingatkanku untuk salat. Itu tiang agama katanya. Entah kenapa dia segera menerimaku kala itu, padahal jika dipikir aku bukanlah lelaki saleh yang pantas untuknya.
"Insyaallah, ini sudah kehendak Allah," tuturnya saat aku bertanya perihal pernikahan kita waktu itu.
"Bapak."
Kilasan masa laluku terhenti ketika Kinan memanggil. Dia mendekat dan duduk di sampingku.
"Kinan, kenapa belum istirahat?" tanyaku masih canggung. Gadis berusia lima belas tahun itu tampak murung.
"Maafin Kinan, Pak. Kinan tak tahu kalau situasinya jadi seperti ini," jelasnya singkat.
Kinan menunduk menganyam jarinya. Aku tahu rasa tak enak juga mampir dibenaknya. Kinan sudah dewasa pasti tahu bagaimana sulitnya menerima masa lalu seseorang, apalagi ini termasuk aib.
"Apa Kinan balik aja ke Mama?" tanyanya.
Apa aku harus mengiakannya untuk menyelamatkan rumah tanggaku? Aku menggeleng, tak mungkin aku lari dari tanggung jawab lagi. Sudah belasan tahun Kinan tak pernah mendapat kasih sayangku. Terlebih dia adalah seorang wanita, kepadakulah kelak dia akan meminta wali.
"Jangan, tinggal saja di sini. Ini juga rumahmu. Sudah cukup Mamamu merawatmu sejak kecil sendirian. Sekarang beri kesempatan Bapak yang merawatmu," jelasku.
Masih ada kerisauan di wajah Kinan. Betul, rasa tak enaknya membuat Kinan ragu untuk memutuskan tetap tinggal di sini atau pergi kembali ke Kalimnatan.
Kutengok jam di dinding, pukul sembilan kurang sepuluh menit. Lupa jika belum kutunaikan Isya' yang terlewat.
"Kinan kita salat Isya' dulu, ya. Biar hati kita tenang. Kata Bu Nurma, salat itu membawa ketenangan hati. Ayo Nak!" kataku kepada Kinan.
Kinan menggeleng. Entahlah apa mungkin dia sedang haid? Atau yang lainnya.
"Kinan nggak pernah salat, Pak. Cuma nyimak aja pas pelajaran di sekolah. Azan aja jarang dengar," jelasnya. Astaghfirullah, aku tahu betul dari mana Kinan berasal. Tapi, apa Sri tak pernah mengajarkannya agama?
Kutepuk ubun-ubun gadis itu pelan. Aku mengulas senyum untuk pengakuan polosnya mengenai agama. Sama sepertiku dulu ketika belum mengenal Nurma. Tak pernah tahu jika tiang agama adalah salat. Salah satu kunci ketenangan hati.
"Ayo Nak, Bapak ajarin salat," kataku seraya beranjak dari lantai bersama Kinan.
Kami berdua mengambil wudu, tentu saja Kinan pun hanya sekilas mengetahui caranya, selebihnya aku yang menuntun Kinan. Mukena milik Nurma kupinjamkan untuknya. Cantik, Kinan memang mewarisi kecantikan Sri. Bahkan lebih pantas disebut adik ketimbang anaknya.
Salat kami tunaikan bersama dengan aku sebagai imamnya. Dilanjut dzikir beberapa saat. Kinan tampak lebih tenang setelahnya. Dia pamit padaku untuk segera beristirahat setelah itu.
Kini tinggal aku yang masih bersimpuh. Kembali kutunaikan witir dan berlanjut salat taubat. Kutumpahkan resah, duka juga khilafku yang pernah kulakukan dulu di hadapan Sang Khaliq. Berharap jalan keluar terbaik dari-Nya esok hari.
Perihal hati Nurma, aku tahu, siapa wanita yang tak sakit hati mengetahui kebusukan pasangan ketika sudah bertahun-tahun hidup bersama. Bahkan jika dosa yang diperbuatnya harus ditanggung bersamanya. Aku mengusap wajah dengan kasar. Ini memang harus kujalani saat ini.
Aku pasrah apa pun sikap yang ditunjukan Nurma kepadaku. Konsekuensi dari semua yang pernah kulakukan dulu. Bahkan jika itu kemungkinan terburuk harus mengakhiri biduk rumah tangga ini. Insyaallah, aku ikhlas.
Dzikir kuperlama hingga mungkin sudah lewat tengah malam. Istighfar tak henti kuucap sepanjang malam itu. Menyesali sepenuhnya tindakan nakalku sewaktu masih muda. Hingga tanpa sadar aku terlelap di atas sajadah yang menemani ibadah kami bertahun-tahun.
***
Azan Subuh terdengar nyaring dari toa masjid. Aku mengerjap, mengumpulkan kesadaran yang hilang beberapa saat yang lalu. Selimut menutup seluruh tubuhku, aku yakin Nurma yang melakukannya. Hatinya tak mungkin tega melihatku kedinginan di atas selembar sajadah ini.
Aku beranjak. Segera mengambil wudu dan bersiap pergi ke masjid. Kebiasaan ini pun Nurma yang mengajarkan. Salat berjamaah di masjid. Biasanya Subuh begini Nurma akan sangat sibuk mencarikan sarung dan kopyah untukku pakai. Pagi ini dia belum bangun, pintu kamar masih terkunci. Untuk mengetuk pun aku tak berani. Aku berlalu menuju masjid.
Setelah pulang dari masjid kulihat Nurma sudah sibuk di dapur. Menyiapkan segala urusan perut sejak dini hari adalah kebiasaannya. Masih tak berani aku menyapa, hanya mampu memperhatikan Nurma yang terus repot mengolah sayur.
Kopi dan dua gelas s**u panas terhidang di meja. Pukul setengah enam pagi semua telah beres di tangan Nurma. Nasi, sayur bening juga lauk ikan kesukaanku. Tak lupa sambal terasi yang aromanya selalu menggoda untuk segera dicicipi.
Sejak semalam tak sesuap nasi pun mampir ke perutku. Kehadiran Kinan dan Sri secara tiba-tiba membuatku lupa rasa lapar yang semalam sempat datang.
Nurma masih diam tak menghiraukanku. Mungkin malas melihatku atau lebih tepatnya marah. Belum reda rasa marahnya, aku yakin. Bahkan kecewa yang menumpuk belum dia tumpahkan sedikitpun kepadaku.
Kinan pun telah terjaga. Raut gelisah masih ditunjukan gadis yang terlihat lebih dewasa dari usianya itu pagi ini. Nurma yang melihat Kinan segera menyapanya. Entahlah, sepanjang pagi aku di sini dia hanya diam akan tetapi berubah hangat ketika melihat Kinan.
"Sudah bangun, Nak. Mandi lalu sarapan, ya. Ibu sudah buatkan s**u juga," ucap Nurma seraya mengelus lembut rambut sebahu Kinan.
"Makasih Bu," balas Kinan.
Kinan segera beranjak ke kamar mandi. Kembali Nurma berpura-pura sibuk di dapur. Tak tahan berlama-lama diam tanpa melakukan apapun, aku segera menyusul Nurma ke dapur.
Tangan yang sibuk mencuci peralatan dapur itu kuraih. Menghadapkan si empunya kepadaku.
"Nur, kasih aku kesempatan untuk jelasin ke kamu," ucapku memelas.
Nurma menarik tangannya kasar. Bahkan melihatku pun dia tak sudi. Sepatah kata tak keluar dari bibirnya. Astaghfirullah, begitu kecewakah kau padaku, Nur?
Salam terucap lantang dari luar. Bagas dan Anas yang datang. Seperti tak terjadi apa-apa Nurma menyapa mereka dengan senyum yang biasanya dia tunjukan.
"Wa'alaikumsalam, eh, Sayang, sudah pulang. Bilang makasih sama Pak Lik," ucap Nurma seraya mencium kedua pipi Bagas.
"Makasih, Pak Lik."
Si kecil manut kepada Ibunya. Bocah delapan tahun itu mengulas senyum dengan lesung pipit di kedua pipinya.
"Mas Pram."
Anas menyapaku kemudian berpamitan pulang. Nurma menyuruh Bagas untuk duduk di meja makan. Bocah itu segera meminum s**u dalam gelas yang sudah disediakan.
"Ini s**u buat Bagas juga, Bu?" tanyanya heran ketika melihat segelas lagi s**u cokelat di meja.
"Bukan, Sayang, buat Mbak Kinan. Itu dia orangnya."
Kinan keluar dari kamar. Gadis itu tampak mengulas senyum persahabatan dengan Bagas. Namun sebaliknya, Bagas tampak cemberut tanda tak suka.
"Bagas ini Mbak Kinan. Mulai hari ini Mbak Kinan akan tinggal di sini sama kita. Bagas enggak boleh nakal, ya, sama Mbak Kinan," tutur Nurma lembut. Entah bagaimana hatinya ketika mengatakannya.
"Mbak Kinan kenapa tidur di kamar Bagas?"
Lagi-lagi Nurma menenangkan Bagas dengan cara lembutnya yang luar biasa.
"Ibu belum sempat bersih-bersih kamar satunya. Jadi sementara Mbak Kinan tidur di kamar Bagas. Bagas 'kan biasanya tidur sama Ibu," ucap Nurma.
Aku hanya diam. Begitu lembut Nurma menjelaskan segala situasinya kepada Bagas. Tanpa sedikitpun menyakiti hati yang lain. Namun Bagas, si jagoan kecil itu tampak masih tak terima. Entahlah, segelas air putih disiramkan ke wajah Kinan begitu saja.
"Bagas. Enggak sopan kamu," hardikku.
Bagas hampir menangis mendengar gertakanku. Memang ini untuk pertama kalinya aku menghardik Bagas sekeras ini. Hampir-hampir melayangkan tangan, tapi kuurungkan. Nurma menatapku marah. Mungkin tak rela jika aku sekeras itu pada Bagas.
"Sayang, Ibu enggak pernah ngajarin kamu berbuat tidak sopan seperti itu 'kan? Minta maaf sama Mbak Kinan," titah Nurma.
Kinan berlari ke kamar. Ada rasa sedih yang dia coba tahan di pelupuk matanya. Airmata.
"Kinan."
Nurma memanggil Kinan, tapi dia enggan kembali. Dia segera menggendong Bagas dan menyusul Kinan ke kamar. Astaghfirullah, aku hanya bisa diam. Bingung apa yang harus kulakukan. Di sisi lain ada Bagas dan Nurma, sisi satunya Kinan tanpa seorang pun yang dia punya kecuali aku. Bapaknya.
✿ฺ✿ฺ
Hari berlalu sangat lambat. Nurma masih saja diam sepanjang hari. Tak mempedulikanku yang masih gelisah dengan kehadiran Kinan yang tiba-tiba. Aku masih belum mau mengambil keputusan sebelum menjelaskan semuanya kepada Nurma.
Malam itu, Nurma tengah sibuk melipat baju loundryan–pekerjaan sampingan Nurma selain menjadi Ibu rumah tangga–di kamar. Aku masuk tanpa permisi. Memang sengaja, ingin kuutarakan semua isi hati kepada Nurma malam ini juga. Terus didiamkan sepanjang hari sangatlah menyebalkan.
"Nur, dengarkan aku sebentar saja."
Nurma tak menjawab. Dia tetap sibuk melipat baju tanpa memperhatikanku.
"Nur, aku minta maaf. Aku dulu memang khilaf. Dulu aku enggak tahu kalau Sri ternyata hamil, kalau aku tahu aku pasti bertanggung jawab."
Nurma masih terdiam. Pandangannya terbuang ke lantai. Tak ada tangis yang pecah seperti yang kukira. Nurmaku begitu kuat.
"Aku pasrah apa pun keputusan kamu. Aku akan terima. Walaupun berat, aku akan menebus semua kesalahanku tempo hari," jelasku.
Nurma menatapku tajam. Netra beningnya tak mampu kuartikan. Entahlah, ada amarah yang bercampur benci pun kecewa.
"Kamu memang harus menebus semua dosamu, Mas ... SEKARANG!"