Bab 1. Mantan Teman Tidur

1472 Kata
“Enak, Mas … ayo lebih cepet lagi! Aku hampir ….” Ucapan gadis bernama Sri itu terhenti karena napas yang begitu memburu. Aku pun kian cepat menghujamnya dengan gerakan yang semakin intens. Suara desahan Sri terdengar begitu keras memenuhi ruang kamarku. Aku tahu, Sri begitu menikmati permainanku hingga desahan dari mulutnya lolos begitu saja tanpa bisa tertahan. Selesai adegan panas itu, aku benar-benar merasa lelah. Aku geser pelan tubuhku menjauh dari tubuh Sri, berharap dia tak terganggu dengan gerakanku. Hanya ada sebuah kasur busa dan lemari kecil di kamar berukuran 3x3 meter, juga sebuah meja kecil di bawah jendela. Aku mulai menyulut rokok perlahan sambil sesekali menatap wajah Sri yang masih terlelap. Aku membayangkan masa depan yang indah dengannya suatu hari nanti. Tak lama kemudian, Sri terbangun. la mengerjap demi mengumpulkan kesadarannya yang terserak usai percintaan kami tadi. "Jam berapa, Mas?" tanyanya. "Jam dua pagi." Sri memunguti pakaiannya yang kulempar sembarangan saat kamu akan bercinta. la bergegas memakainya dan pamit kembali ke kamar. "Aku balik ke kamar, ya," ucapnya sambil mengecup pipiku mesra. Aku pun mengangguk, kemudian menggenggam tangannya erat. "Aku cinta sama kamu." "Aku juga." Sri membalas sedikit berbisik. *** Kejadian beberapa tahun silam itu terlintas dalam pikiranku. Kini, gadis manis itu tengah duduk di depanku. Di ruang tamu rumahku dengan tenang. Penampilannya berbeda jauh dari Sri yang kukenal dulu. Sri terlihat seperti w*************a dengan rambut pirang sepanjang punggung. Gincu merah menyala terpoles rapi di bibirnya yang penuh. Sepatu heels tinggi dengan dress di atas lutut berwarna merah senada dengan gincu yang ia gunakan. Menawan. Sungguh jauh berbeda dari beberapa belas tahun yang lalu. "Apa kabar Mas Pram?" tanyanya. Aku menelan ludah dengan kasar. Kelu rasanya lidah ini ingin mengucap sepatah kata. Di sampingku, Nurma tengah menatap kami bergantian penuh tanya. Iya, aku tahu dia pasti bertanya-tanya siapa wanita yang bertamu malam ini. "Ehm ... Nurma buatkan minum dulu, ya,” titahku kemudian. Wanita itu beranjak menuju dapur, sedangkan Sri membuka rokok putihan untuk diisap. Aku terkesiap. Ini kejutan yang membuatku tercengang beberapa saat. Sri bukanlah perokok–dulu. Entahlah, semua tampak berubah setelah belasan tahun tanpa sua. Mungkin waktu memang berhasil mengubah semuanya. "Ada apa kamu datang ke sini, Sri?" Aku membuka suara demi bertanya apa tujuan wanita itu ke sini. Hubungan kami sudah usai belasan tahun lalu. Tak mungkinkan ia mengungkit semuanya sekarang? Sri membuang bekas pembakaran rokok ke udara. Asap membumbung tinggi ke langit-langit ruangan. Sementara debar dalam dadaku tak kunjung menjadi normal, bahkan semakin kencang ketika Sri memberiku jawaban yang mengejutkan. "Ini anakmu." Aku terperenyak. Suara barang jatuh dari lorong ruangan juga terdengar nyaring. Aku beralih menatap gadis remaja yang duduk di sebelah Sri. Mata bulat dan kulit putihnya sama seperti Sri. Entahlah, mungkin hidung mancungnya yang mirip denganku. Aku menggeleng lemah. Seolah-olah masih belum percaya dengan apa yang dikatakan wanita sintal di depanku. "Aa–apa?" Dengan santai Sri mengisap rokok dan mengangguk, "Iya, ini anakmu." Aku mematung. Tak mampu lagi aku mencerna perasaan ini. Sudah belasan tahun sejak hubungan kami berakhir, kenapa Sri baru memberitahu hal sepenting ini sekarang? Bagaimana dengan suaminya yang katanya bos sawit? Apa Sri sedang berbohong kepadaku? Aku masih diam tanpa mampu bereaksi saat ini. Belum mampu kujawab perkataan Sri mengenai pernyataannya sesaat yang lalu, Nurma datang membawa nampan berisi tiga gelas teh. Aku menatapnya wanita itu lekat. Wajah Nurma tampak kelam. Aku yakin dia mendengar perkataan Sri barusan. "Silakan diminum,” katanya. Nurma duduk di sampingku lagi. Ia menungguku menjawab pernyataan Sri tadi. Namun, Sri ternyata lebih dulu membuka pembicaraan. Rokok yang masih separuh dia matikan ke asbak dan mulai berkata serius. "Kalian pasti bertanya-tanya maksud kedatanganku kemari. Jadi Mbak, ini Kinan anakku sama Mas Pramono,” katanya. Nurma mengalihkan pandangannya kepadaku. Napasnya sedikit memburu, mungkin syok dengan ucapan Sri barusan. Tentu saja, aku juga sama sampai tak bisa berkata apa-apa. Tak lama, Sri kembali menjabarkan apa yang terjadi pada kami waktu itu. "Jadi dulu aku sama Mas Pram sempat pacaran dan, ya ... kami melakukan hal terlarang itu. Berkali-kali" Sri melanjutkan ceritanya. Aku menoleh pada wanita di sampingku. Mata Nurma mengembun,ya ... aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Hancur, remuk entah seperti apa lagi. Namun, itu kisah lama. Dan aku tak tahu jika pada akhirnya akan seperti ini. "Waktu kamu pulang kampung sebenarnya aku hamil dan terpaksa menikah dengan bandot sawit yang gendut itu,” imbuh Sri. Kali ini ada kemuraman di wajah Sri. Ada amarah dan rasa kecewa yang ia tampilkan dari paras ayunya yang tegang. Apa benar yang dikatakan wanita itu? Aku masih belum mampu berucap. Entah harus melakukan pembelaan atau apa, yang jelas aku merasa bersalah pada kedua wanita ini. Mungkin ini memang dosa yang tak termaafkan sampai sekarang. "Lantas Mbak Sri maunya gimana?" Nurma menjawab tanpa ragu. Wanitaku ini terlihat tegar, bahkan tak ada kerisauan sedikitpun ketika menjawab perkataan Sri. Walau aku tahu, ia mati-matian menahan amarah juga rasa kecewa di dadanya. Air mata yang mengalir dari sudut matanya ia usah kasar. Dan menghadapi Sri dengan kuat. Nur, terbuat dari apa hatimu? "Kinan pengen tinggal sama Bapaknya, udah lama dia pengen tahu siapa bapak kandungnya," jelas Sri. Aku berpindah menatap gadis itu. Masih belum percaya jika gadis belasan itu adalah darah dagingku bersama Sri. Benih yang tanpa sengaja tumbuh karena perbuatan terlarang kami. "Baik, kita akan rawat Kinan di sini," jawab Nurma tegas. Aku menoleh, lalu menggeleng lemah. Apa bisa seperti ini? "Enggak. Nur. Mana bisa seperti ini. Sri, kami sudah berkeluarga mana mungkin Kinan tinggal di sini," tuturku menolak. Jelas saja, tak sampai hati aku melihat Nurma tersakiti setiap hari melihat aibku di masa lalu. Namun, demikian aku juga tak bisa membiarkan gadis itu terus bertanya-tanya mengenai siapa Bapaknya yang sesungguhnya. "Kinan hanya ingin kasih sayangmu yang belasan tahun tak pernah dia dapatkan. Apa salah dia pengen tinggal sama kamu, Mas,” ucap Sri. Lagi-lagi lidahku kelu. Harus kujawab apa? Aku memang pernah berbuat kesalahan waktu itu, tak seharusnya gadis ini yang menanggungnya. Lagi pula, selama ini aku tak pernah ikut andil membesarkannya. Aku tak pernah tahu bagaimana ia tumbuh dan berkembang bersama Sri. "Kinan, itu Bapakmu. Orang yang selalu kamu tanyakan setiap waktu. Pergilah, peluk dia," titah Sri kepada Kinan. Gadis itu mematung. Ia menatapku lekat-lekat, seolah-olah masih tak percaya jika aku ini adalah Bapak kandung yang selama ini ia cari. Sementara gemuruh dalam dadaku bergetar kian keras. Takut Nurma akan membenciku pun gadis itu. Atau mengakhiri rumah tangga kami yang selama beberapa tahun ini tak pernah diterpa masalah berarti. Aku jelas tak sanggup. "Kinan, jangan nyusahin mereka. Mama enggak mau kamu bandel di sini. Mama pamit," ucap Sri setelahnya. "Mama mau ke mana?" Akhirnya gadis itu membuka suara. Walau sangat lirih, aku bisa mendengar suaranya bergetar karena ketakutan. "Mama balik ke tempat mama, rumah Mamakan di sana," tutur Sri kepada Kinan seraya menepuk pundak gadis itu. Kinan hanya mengangguk lemah. "Mas, di koper ini sudah ada akta lahir dan surat-surat lain yang diperlukan Kinan untuk sekolah. Aku titip Kinan," ucap Sri singkat. Wanita berkulit putih itu mencium Kinan dan segera beranjak menuju pintu. Kutangkap kesedihan yang melekat di wajah ayunya. Sri berjalan cepat menuju ke taksi yang tadi mengantarnya ke sini. Tak lama, Nurma juga beranjak dan duduk di samping Kinan. Senyum keibuannya dia layangkan kepada gadis dengan rambut sebahu itu. Aku tak tahu, tapi sepertinya wanita itu mencoba berbicara baik-baik dengan Kinan. "Mari Kinan Ibu tunjukan kamarmu," ucapnya sambil menuntun koper berukuran sedang menuju ke dalam. Entahlah, sekuat apa hati Nurma. Ini bukan hanya masalah ruang tapi kasih sayang juga yang harus dipertaruhkan. Bagaimana mungkin dia bisa begitu lembut kepada gadis dari hasil hubungan terlarangku di masa lalu? Aku hanya bisa mengekor di belakang mereka tanpa berkata apa-apa. Nurma membawa Kinan ke kamar paling ujung yang biasa Bagas tempati. "Taruh barangmu di sini, kita makan dulu, ya," ucap Nurma lembut. Lagi, aku menggeleng, Nurma seakan-akan sudah lama mengenal Kinan. Sikap lembutnya bahkan membuatku takut. Apa sebenarnya yang Nurma lakukan? Apakah dia tak marah atau kesal, atau bahkan ingin memukul dan menendangku dengan keras? Kinan hanya mengambil sepotong tahu dan beranjak ke kamar, sedangkan Nurma berjalan ke arah kamar kami. Aku mengekor pada istriku demi mengetahui apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. "Nur, dengarkan aku," kataku mencegahnya berlalu. Akan tetapi Nurma tetap berjalan tak menghiraukanku. Hingga langkahnya kuhentikan tepat di depan pintu kamar kami. "Tunggu, Nur biar aku jelaskan." "Nurma enggak pengen denger penjelasan Mas Pram," katanya pelan. "Tapi Nur ini–" "Nurma pengen sendiri, Mas!" Wanita itu membentak. Baru sekali ini dia berkata sekeras ini padaku selama sepuluh tahun pernikahan kami. Istighfar dia bisikan setelah itu, bersama dengan lelehan bening yang menganak sungai di pipinya. Mungkin dia sudah menahannya sejak tadi. Aku tahu, runtuh sudah pertahanan hatinya beberapa menit terakhir ini. Aku terduduk di depan pintu kamar. Hancur sudah kasih yang selama ini kubangun bersama Nurma hanya karena masa lalu yang sudah kukubur dalam. Nur, maafkan aku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN