Tamu Manis Itu ... siapa?

694 Kata
POV Aziz. "Sakit gak, Ziz?" Gadis Cantik itu bertanya padaku mengenai luka yang sedang dia obati. "Ssssh ... aduh! Sakit ...." Aku mengaduh kesakitan ketika jari-jari tangannya yang lentik menyentuh sudut bibirku. "Yaelah, luka segini aja cengeng pake aduh-aduhan segala!" tukasnya. "Makanya, jadi anak jangan sok jagoan. Untungnya aku nolongin kamu, kalau gak ...." "Kalau gak apa? Paling cuma luka ringan," jawabku santai. "Ringan apanya? Nih, buktinya! Bibir kamu memar." Dia masih mengoceh. Aku terkekeh geli mendengar ocehannya. Mirip banget seperti Ibu. Bawel. "Ngapain kamu ketawa? Kesambet jin Tomang ya?" sindirnya. "Gak, lah. Lucu aja lihat kamu ngomel. Ternyata kamu itu ...." "Apa?" "Kamu orangnya perhatian ya? Apa cuma sama aku aja kamu perhatian?" Desi menghentikan tangannya. Kedua mata kami beradu pandang. Nyaris tanpa berkedip. "Aduh! Kira-kira dong, Des!" Tanpa diduga ... Desi dengan sengaja menekan luka di bibirku menggunakan kapas yang dipegangnya. "Mau ngegombalin aku? Sorry ya, gak mempan!" sahutnya. "Gombalin dari mana? Kenyataannya kan kamu perhatian?" kataku, sambil mengelus pipi yang sakit. "Aku cuma mau balas budi aja. Kamu udah nolongin aku." "Oh, tapi bukan aku yang nolongin kamu. Kan, Cahyo yang nolongin kamu tadi," kataku, polos. "Eh, iya-iya, aku lupa. Seharusnya aku ngucapin terima kasih sama Cahyo." Desi menepuk jidatnya. "Aku pamit dulu, ya?" "Eh, mau ke mana? Belum selesai, loh," ujarku "Mau ke rumah Cahyo. Mau ngucapin terima kasih. Bye ...." "Eh, kok, gini? Des ... tungguin! Yaelah ... aku salah ucap tadi." Aku menggerutu melihat gadisku pergi. Dongkol rasanya mendengar dia mau ke rumah Cahyo hanya untuk mengucapkan kalimat terima kasih. Pengin dikejar, rasa sakit di bagian ulu hati masih terasa. Ditambah lagi dengan luka bibir yang masih terasa nyut-nyutan. Lengkap sudah penderitaanku. *** "Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...!" Gema suara azan Salat Dhuhur berkumandang di masjid Jami Al-Husna. Sebagai seorang muslim, aku selalu diingatkan oleh Ibu untuk menunaikan kewajiban beribadah yang dikerjakan lima kali dalam sehari. "Mas Aziz, mau salat di rumah atau di masjid?" Rizal adikku tiba-tiba menyahut dari arah dapur. "Berangkat bareng sama aku ya, Mas?" Rupanya ia sudah selesai berwudlu. Langkah kecilnya mengarah ke kamar. "Mau Salat di rumah dulu, Dek. Masih sakit perutnya," kataku, menjawab sahutan Rizal. "Ya, udah kalau gitu kita salat berjamaah di rumah aja. Mas Aziz jadi imamnya," usul adikku. "Terserah kamulah." Kugelar sajadah di lantai Musala yang ada di dalam rumah. "Kita mulai ya. Ikutin gerakan aku! Jangan sok tau, oke?" "Oke, Mas ...." Kami berdua melaksanakan ibadah salat Magrib di rumah, dengan posisi aku sebagai Imam dan adikku sebagai makmum. Meski kondisi badan sedang tidak baik-baik saja, tetapi untuk urusan beribadah, tidak pernah luput aku kerjakan. Ini sudah menjadi kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi kalau sampai aku lalai mengerjakan salat fardhu, pasti akan dapat omelan entah dari Ibu atau ayah. Imbasnya nanti sampai malam dan sampai besok lagi. Selesainya kami melaksanakan ibadah salat Magrib, kami lanjutkan dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an lalu menghafalnya. "Mas Aziz ...." Tetiba ibuku menyeru memanggil namaku dari arah ruang tamu. Kuhentikan sejenak aktivitas mengaji. "Mas Aziz .... Sudah selesai belum ngajinya?" serunya lagi. Itu berulang sampai tiga kali. "Sebentar lagi selesai, Bu," sahutku lantang. "Habis ngaji langsung makan, ya? Ibu udah nyiapin makanan kesukaan kamu," katanya. "Iya, Bu." "Cepetan, ya! Nanti keburu dingin." "Iya ...." Aku kembali fokus pada Al Qur'an. Kali ini aku sudah sampai di Surat An-Nahl di penghujung ayat terakhir, yaitu ayat 128. "Sadaqallahulazim ...." Kututup kitab Suci Al-Qur'an, sambil kucium dan membaca doa selesai mengaji Al Qur'an. Kubereskan perlengkapan ibadah. Merapikannya lalu menyimpan di tempatnya. Dengan cepat aku keluar dari kamar. Melangkahkan kaki menuju ruang makan. "Mas Aziz sudah beres ngajinya?" tanya Rizal yang sedang duduk manis di sana. Ada Ibu juga yang kulihat sedang menyendokkan nasi ke piring adikku. Ada yang aneh malam ini. Biasanya kami hanya bertiga saja di ruang makan, tetapi kali ini ada seseorang yang ikut makan juga. Begitu aku mendekati meja makan, betapa terkejutnya aku melihat wajah seseorang itu. Dia nampak tersenyum manis, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. Aroma parfumnya pun dapat kucium dari jarak dekat. Aromanya harum, seharum bunga mawar yang baru dipetik. "Kok, kamu di sini? Siapa yang ngajakin kamu makan malam di rumahku?" tanyaku yang tidak pernah bisa basa-basi. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN