"Kamu ngapain di sini?" tanyaku mengulang pada perempuan cantik yang sedang duduk di kursi makan.
Perempuan cantik itu tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Kenapa gak suka aku di sini?" tanyanya balik.
"Wah, yang udah pertama kali datang langsung berantem." Kulihat Ibu keluar dari dapur sambil menenteng sepiring lauk untuk makan malam.
"Ibu yang ngundang Nita ke rumah, Ziz. Ayah ibunya sedang ada acara kantor, jadi ...."
"Jadi, dia makan malam gratis di sini? ish, menyebalkan!" gerutuku. Aku memang tidak menyukai Nita.
Dia gadis yang sok cantik.
"Hust! Gak boleh bilang gitu! ayah ibunya Nita baik loh. Gak boleh gitu, ya!"
Aku hanya diam saja mendengar kalimat perintah Ibu.
Tanpa berpikir panjang, aku segera duduk di kursi makan. menyendokkan nasi dan lauk pauk dan disajikan di atas piring.
Suara piring dan sendok yang berbenturan membuat ruangan makan menjadi ramai. Aku yang tidak terbiasa makan dengan cara seperti itu, hari ini mendengar suara itu saja bikin aku ilfeel. Hilang selera makan.
Ingin rasanya aku menyudahi acara makan malam kali ini, tetapi jika melihat wajah ibu yang sudah capek menyiapkan itu semua, membuatku mengurungkan niatku semula. Kasian Ibu.
"Makan yang banyak, ya, Nit. Kalau kurang lauknya, bisa nambah lagi, kok," ujar Ibu dengan ramah pada Nita.
"Iya, makasih Bude Sri," jawab Nita sembari memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Bude ... Bude, menurut Bude, Nita cantik gak?" tanyanya lagi.
Sedangkan aku hanya fokus pada makan malam.
"Oh, iya, jelas aja cantik. Nita kan perempuan, masa iya Nita gak cantik," sahut Ibu. Masih dengan logat lemah lembutnya.
"Kalau sama Mbak Desy, cantikan siapa Bude?"
Uhuk!
Mendadak aku tersedak saat mendengar Nita membandingkan dirinya dengan gadis yang sangat aku sukai. Desy.
"Eh, kamu kenapa, Mas? Nih, minum dulu!" Rizal refleks menepuk bagian pundakku, lalu menyodorkan segelas air putih padaku.
Kucoba menarik napas kuat. merasakan makanan yang masih menyangkut di bagian tenggorokan. Dengan pelan, kuteguk segelas air putih yang tadi diberikan Rizal padaku.
"Jangan suka menyinggung orang yang disukai Mas Aziz, deh." Rizal menyeletuk.
"Lah, emang siapa orang yang disukai sama Mamas-mu, Zal?" tanya Nita. Wajahnya penuh menyelidik.
"Yang tadi Mbak Nita sebut," jawab Rizal dengan polosnya.
"Oh, Mbak Desy .... Lah, emang Mbak Desy pacarnya Mas Aziz tah, Zal?"
"Ya, bukan pacarnya lagi, tapi udah jadi calon tunangannya juga, Mbak Nit."
"Tunangan? Emang udah tunangan? Kok, aku gak tahu sih?"
"Iya, kan Ibu yang datang melamar ke rumahnya Mbak Desy. Iya, kan Bu?"
Uhuk!
Kali ini Ibu yang terbatuk-batuk mendengar penuturan Rizal. Sampai-sampai makanan yang ada di dalam mulutnya menyembur keluar dan mengenai wajah adikku-Rizal.
Kali ini kamu apes, Zal. Ha-ha.
****
Acara makan malam telah usai. Sebelum jam delapan malam, orangtua Nita datang menjemput Nita di rumah. Mereka berdua datang sambil membawakan oleh-oleh untuk Ibu. Katanya sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau menampung Nita dan memberikannya makan malam ini.
"Sekali lagi terimakasih loh, Budhe. Maaf banget kalau saya ngerepotin Budhe." Ibunya Nita beramah tamah.
"Oh, iya, gak apa-apa. Sama sekali gak ngerepotin. Nita anak baik, kok. Dia juga sudah bantuin saya nyuci piring," ujar Ibu. Senyuman full manisnya ia sunggingkan.
"Wah ... tumben rajin? Biasanya kalau di rumah suka gak mau cuci piring. Mandi aja jarang," sindir Ibunya Nita~Ibu Herman.
"Jangan-jangan karena di rumah Budhe Sri ya kamu mendadak jadi anak rajin?"
Kulihat Nita tertunduk malu. wajahnya yang putih kini menampakkan semburat merah merona. Apakah dia beneran gede rasa?
"Ish, apaan sih Mama, nih? Orang Nita ikhlas kok bantuin Budhe Sri."
"Iya-iya, mama paham. Paham banget. Mama juga pernah muda. Pernah bantuin nyuci piring di rumah laki-laki yang mama sukai dulu." Sekali lagi, Bu Herman mengatakan itu.
Aku paham betul arah percakapan itu bakalan mengarah ke mana. Hanya saja aku pura-pura tidak mengerti saja.
"Ha-ha-ha, Bu Herman bisa saja," ucap ibuku.
"Loh, iya Bu ... memang benar saya dulu begitu. Wajib pendekatan sama calon mertua," katanya sambil tersenyum malu.
"Eh, iya Budhe, bagaimana kalau anak-anak kita jodohkan saja. Setuju tidak?"
Uhuk!
Mendadak tenggorokan menjadi gatal mendengar ide ibunya Nita. Kulihat raut wajah Nita yang berubah semakin ceria dari sebelumnya. Feeling kumengatakan Nita bahagia karena ibunya telah melamar diriku. Dapat kupastikan, itu tidak akan pernah terjadi. Sudah kubilang, aku tidak bisa menerima perempuan lain di hati. Cukup Desy saja.
"Maaf mamanya Nita, Aziz gak bisa. Aziz gak suka ada komitmen kayak gini. Lebih enakan kalau Aziz sama Nita jadi temenan aja," tolakku secara halus.
"Iya, untuk sekarang gak usah terlalu formal. Jalani aja seperti sebelumnya, Ziz. Nanti kalau kalian sudah dewasa, baru kita bicarakan kedepannya gimana. Santai saja, jangan terlalu buru-buru. Yang penting, saya udah mengutarakan niat baik untuk kalian berdua," jelasnya. Penjelasannya itu yang tidak ingin aku dengar dari mulutnya.
"Tapi, Aziz gak suka kalau dijodohkan! Aziz mau tidak ada komitmen. Karena memang Aziz cuma nganggap Nita itu teman bermain. Gak lebih dari itu," pungkasku.
"Iyalah Aziz bakalan nolak, Ma. Soalnya, Aziz sukanya sama Mbak Desy." Nita akhirnya buka suara.
"Gimana mau diterima perjodohan ini, kan Budhe Sri sendiri yang udah melamar Mbak Desy jadi jodohnya Aziz."
Bu Herman hanya diam dan pasrah saat Nita mengatakan itu. Entah perasaannya apa, aku tidak tahu. Yang jelas, saat ini mulut Bu Herman mendadak kelu.
Mungkin dia malu karena sudah berani menjodohkan anaknya.
"Ya, sudah saya pamit pulang dulu, Budhe. Sudah malam, besok kita sambung lagi," ujarnya yang kemudian secepat mungkin pergi meninggalkan kami yang masih mematung menatap kepergian mereka berdua.
"Kamu hebat."
"Hebat apanya?"
"Hebat karena sudah menolak permintaan Bu Herman," jawab Ibu.
"Aziz cuma mengeluarkan uneg-uneg aja, Ibu. Memang benar Aziz gak suka sama Nita. Anaknya sok kecantikan."
"Lah, iya ... sama. Sok cantik. Mending Desy ya, Ziz?"
"Ih, Ibu lebay."
Ibu hanya tertawa mendengar aku mengatakan padanya lebay. Ibu memang seperti itu. Dia akan mengiyakan apa yang dikatakan anak-anaknya. Selagi anak-anaknya bersikap baik, beliau selalu berpihak pada kami. Beda lagi kalau kami tidak sejalan dengannya. Alamat bakalan nyerocos sampai pagi. []