POV Desi.
"Hei!!!" pekik Aziz lantang.
Ia terlihat sangat marah. Bukan hanya itu saja, deru napasnya yang turun naik dengan cepat, menandakan bahwa ia sedang emosi ditingkat paling atas.
"Sudah kubilang jangan kasar sama perempuan!" Aziz berdiri sambil mendorong tubuh Rudi hingga terjatuh.
"Kalau berani, lawan aku! Bukan lawan perempuan! Mereka gak sebanding dengan kamu yang memiliki tenaga besar!" tantangnya lagi.
"Lawan kamu juga gak sebanding. Lihat, badan aku yang besar, Ziz! Sekali dorong, kamu bakal terjungkal," ledek Rudi. Ia dan teman genk-nya tertawa. Sedangkan Aziz, yang kulihat ia seperti sedang memendam emosinya.
Sekuat tenaga ia menggenggam telapak tangannya dengan kuat. Aku bingung, antara ingin meredakan emosinya atau meninggikan egoku akibat ulah ibunya yang datang melamar ke rumah.
"Kalau udah kalah, ya kalah aja! Gak usah marah-marah gitu. Ya, gak teman-teman?" Tegar menimpali.
"Kan, kamu duluan yang curang! Bukan aku aja yang lihat kamu curang, mbak Desi sama Mas Cahyo juga lihat. Bener kan Mas Cahyo?"
Kulihat Cahyo pun mengangguk.
Tak ingin berlarut semakin jauh, kuajak teman-teman satu tim ku pergi menjauh dari halaman masjid. Kutarik tangan Aziz yang masih terkepal cukup kuat. Hingga terdengar bunyi gemerutuk gigi-giginya.
"Kita pulang, yuk?" Aku mengajak Aziz untuk pulang ke rumah.
Namun, saat aku berusaha mengajak Aziz pulang ...
BUG!!!
Aziz dengan cepat menghajar perut Rudi. Entah pukulannya itu kencang atau tidak, aku tidak tahu. Yang jelas, suara pukulannya itu sangat terdengar jelas di telingaku.
"Wah, nih anak ngajak berantem rupanya!"
Rudi yang tidak terima dirinya dipukul, ia langsung membalasnya. Rudi menghajar balik. Kali ini Rudi memukul pipi Aziz hingga memar.
Acara bermain gobak sodor yang kukira bakal seseru kemarin, sekarang berubah jadi ajang ring tinju.
"Hei! Udah dong, jangan pada berantem! Nanti aku aduin loh sama orangtua kamu."
Aku berusaha melerai pertikaian di antara keduanya. Namun, nahas ... salah satu diantara mereka, berhasil memukul muka. Sekali lagi, aku tersungkur ke tanah.
"Desi!" pekik mereka berdua serempak.
Bahkan, Cahyo yang masih stay di sana pun ikut panik saat wajahku meneteskan darah di bagian pelipis mata dan di sudut bibir.
"Kamu gak apa-apa, kan?" Cahyo panik bukan main.
"Woi! Yang ngotak lah kalau berantem! Salah sasaran nih!" Cahyo masih berusaha membantuku untuk berdiri.
Sementara itu, Aziz berhenti berkelahi. Begitu pun dengan Rudi yang mendadak pergi dari masjid. Anak itu memang begitu. Dia akan pergi kalau dirasa situasinya tidak aman. Di antara kami, dialah yang merasa sok jagoan. Merasa kalau tubuh tingginya merupakan senjata agar bisa bebas menyuruh teman-teman. Wataknya sama seperti Giant di film Doraemon.
****
Aku meringis kesakitan saat Ibu mengompres luka di pelipis mata dan juga di sudut bibirku yang mungil.
"Lain kali, kamu ikut gelut aja, Des," sindir Ibu. Matanya masih fokus pada lukaku.
"Anak berantem kok pake dideketin. Aneh kamu," sungutnya lagi.
"Ya, mau gimana lagi, Bu. Wong kita lagi pada main. Ini cuma salah paham aja, sih." Aku berusaha untuk menjelaskan pada Ibu. Meski rasa sakitnya masih terasa.
"Lagian bukannya pulang malah sok-sokan belain temen."
"Yang aku bela itu anaknya Budhe Sri, Ibu. Aziz Al Kautsar ...."
Mendengar jawaban dariku, ibu langsung terdiam. Beliau menatapku tanpa mengatakan apa pun.
"Aziz memukul Rudi karena Rudi mendorong Desi. Masa Desi gak ikut bantu dia? Aziz udah membela Desi."
"Ya, Ini tahu. Cuma, kenapa jadi pada berantem? Harusnya kamu ajak pulang si Aziz."
"Aziz yang duluan mukul Rudi. Gimana Desi bisa bawa Aziz pulang?"
"Hem ... oke-oke. Kalau kejadiannya seperti itu, ya apa boleh buat? Yang penting, jangan diulangi lagi."
Aku mengangguk dan setelah itu, Ibu pergi sambil membawa wadah berisi air dingin.
"Coba kamu ke rumah Aziz. Lihat keadaannya, ada yang terluka gak?" titah Ibu sebelum menghilang di balik tembok kamar.
****
Di rumah Aziz.
Kami hanya saling diam. Baik aku dan juga Aziz sama-sama canggung memulai pembicaraan dari mana. Beberapa saat, kami saling diam. Saling menatap, dengan jantung yang berdebar. Mungkin.
"Eh, kenapa pada diem aja?" Tiba-tiba Budhe Sri muncul saat kami di teras rumahnya.
"Des, awalnya kenapa bisa jadi berantem?" tanya Budhe penasaran.
"Gara-gara curang mainan, Budhe. Biasalah golongan Rudi gak mau kalau grupnya sampai kalah."
"Hem, gitu." Budhe Sri manggut-manggut. "Nih kalau ketahuan bapaknya Aziz, bisa-bisa Aziz kena hukuman."
"Yang bener Budhe? Pakdhe Rahman orangnya galak, ya?" tanyaku yang akhirnya terpancing.
Bukannya menjawab, Budhe malah tersenyum-senyum sendiri.
"Kamu lucu. Pantas aja Aziz suka sama kamu."
Hadeuh ... salah lagi. []