Johnathan menutup pintu mobil untuk Casey. Dia berjalan memutar dan masuk ke kursi pengemudi. Johnathan menyalakan mesin mobilnya dan mulai melaju meninggalkan halaman rumah sakit tersebut.
Sepanjang jalan Casey hanya diam sembari memiringkan kepalanya ke arah jendela mobil. Johnathan ikut diam dengan tatapan memperhatikan keadaan jalan. Hingga beberapa saat kemudian mobil Johnathan kembali terparkir di apartemen Casey.
"Tidak perlu!" ucap Casey cepat saat Johnathan membuka pintu untuk kembali membantunya masuk ke apartemen.
Casey menoleh ke arah Johnathan, "Tidak perlu repot-repot membantuku lagi. Terima kasih karena kau sudah membantuku." Casey langsung membuka pintu mobil dan keluar dari dalam mobil.
Dengan keadaan kakinya yang masih sulit untuk berjalan, Casey kembali merambat apa saja yang bisa di jangkau oleh tangannya. Mobil Johnathan melaju meninggalkan apartemen itu setelah bayangan Casey masuk ke dalam gedung apartemen.
~
Johnathan berjalan mengelilingi apartemen barunya. Dia membuka pintu kamar lalu melangkahkan kakinya. Sedangkan Enrique mengikutinya dari belakang.
Ruangan kamar itu didominasi warna hitam membuat Johnathan menyunggingkan sebelah bibirnya. Dia melirik ke arah Enrique.
"Pilihan yang bagus," pujinya membuat Enrique kembali menundukkan kepalanya.
Johnathan melepaskan jas miliknya dan meletakkannya di atas sofa. Dia duduk di tepi ranjang.
"Aku ingin istirahat dulu."
"Tapi, Sir. Anda belum mengunjungi-"
"Nanti sore saja. Aku pasti ke sana. Kau bisa keluar," potong Johnathan lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Enrique menghela napas pelan lalu menundukkan kepalanya. Dia melenggang meninggalkan Johnathan di dalam kamarnya.
Lelaki itu membuka matanya kembali saat mendengar pintu kamar tertutup. Johnathan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih dengan sudut berwarna hitam. Dia menoleh ke arah samping. Di sana terdapat foto yang ditata rapi.
Johnathan meraih frame foto bersama mendiang ibunya. Dia selalu membawa foto tersebut kemana pun dirinya pergi. Bahkan karena foto tersebut, dia memutuskan untuk pergi dari Los Angeles dan tinggal di Jerman selama 15 tahun.
"Ibu, aku sudah kembali," gumam Johnathan dengan senyuman yang sulit diartikan.
Johnathan tidak tahu kenapa Enrique dengan keras memaksa dirinya untuk kembali ke Los Angeles. Yang dirinya tahu, Enrique mengatakan jika Johnathan harus memegang perusahaan finansial yang pernah di pegang oleh mendiang ayahnya dulu.
Sebelah tangannya meletakkan frame foto itu kembali. Johnathan berjalan ke kamar mandi. Dirinya berniat ingin mandi dan setelah itu pergi mengunjungi makam ibunya.
~
Belum ada lima detik Casey mendaratkan tubuhnya di atas sofa, dia tertegun mendengar ponselnya berdering. Casey langsung mengangkat sebuah panggilan telepon dari salah satu temannya.
"Cas, apa yang terjadi?!" pekik Marilyn membuat Casey reflek menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara temannya terlalu keras.
"Ada apa?" jawab Casey malas setelah tidak mendengar suara Marilyn.
"Hubunganmu dengan pria misterius itu berubah menjadi viral, apa kau tidak tahu?!"
"Hubungan? Hubungan apa maksudmu?" Casey masih merasa bingung mendengar ucapan temannya.
" Elvia Hall, baru beberapa menit yang lalu dia mengunggah fotomu dengan seorang pria di rumah sakit. Waktu aku tanya pada Elvia, dia mengatakan melihatmu digendong oleh seorang pria."
"Apa?!"
Casey reflek berdiri mendengar penjelasan Marilyn. Dia langsung menekan ponselnya untuk keluar dari menu panggilan tanpa mematikan sambungan telepon Marilyn.
Kedua bola mata Casey terbelalak sempurna. Obrolan grup di akun sosial medianya langsung ramai membicarakan dirinya dengan seorang pria yang namanya baru Casey tahu beberapa menit yang lalu, Johnathan.
Beberapa orang ada yang berkomentar tidak mengenakan dan sebagian lainnya masih bertanya-tanya tentang pria tersebut. Tubuh Casey lemas seketika membuat ia kembali terduduk di atas sofa saat membaca percakapan-percakapan di dalam grup yang membahas dirinya.
Casey tidak tahu kenapa hubungan asmaranya itu selalu menjadi perbincangan teman satu kantornya. Satu sisi dia ingin menjauhi mereka semua karena tahu tidak ada yang benar-benar ingin menjadi temannya, namun satu sisi Casey tidak bisa melakukan hal tersebut karena pekerjaannya menuntuk kerjasama tim.
"Cas? Halo, Cas? Kau masih di sana?"
"Iya," jawab Casey, suaranya masih lemas.
"Siapa lelaki itu? Apa dia kekasihmu yang baru? Siapa namanya?"
Kekasih barunya? Astaga!!! Casey berdecak kesal dengan sebelah kakinya menendang-nendang angin. Dia tidak ingat mengenai hal itu. Casey yakin pasti masalahnya tidak akan selesai jika dia mengatakan lelaki itu bukanlah siapa-siapa. Tapi, Casey juga akan menambah masalah jika mengatakan lelaki itu adalah kekasihnya.
Seperti memakan buah simalakama, batin Casey dan mengacak-acak rambutnya.
"I-iya," jawab Casey bimbang.
"Iya? Iya apa Cas? Dia benar kekasihmu?"
"Iya, dia kekasihku," jawab Casey dengan satu tarikan napas sembari menutup matanya.
Setelah memastikan hal itu dan sedikit berbincang-bincang dengan Casey, Marilyn langsung mematikan sambungan teleponnya. Sontak Casey langsung bertingkah seperti orang bodoh. Dia memukul-mukul sofa, melemparkan bantal sofa, serta mengguling-gulingkan badannya tidak jelas.
Kali ini Casey benar-benar membuat masalah besar. Dia tidak tahu apakah Johnathan bersedia menjadi kekasih bayarannya dan dirinya juga tidak tahu bagaimana menghubungi lelaki itu untuk berbicara mengenai hal ini.
"Kau dalam masalah besar, Cas. Kau dalam masalah, dasar bodoh. Seharusnya kau hati-hati. Seharusnya kau menolak saja waktu dia menggendongmu, bodoh! Kau sangat bodoh, Casey Odom! Aaarrrgghhhhh," Casey kembali berbicara seorang diri.
~
Tampak seorang laki-laki menatap nanar pada sebuah nisan. Perlahan kedua tangannya meletakkan sebuket bunga di depan nisan tersebut. Sunyi, lelaki itu masih diam seperti menunggu sesuatu. Hingga beberapa saat kemudian desahan pelan terdengar dari arahnya.
"Apa kabar, Ibu?" Johnathan tersenyum tipis, "Lama sekali aku tidak menyapamu."
"John, ayo bangun, sayang."
Johnathan membuka matanya dengan malas. Dia menyingkap selimut lalu turun dari ranjang. Dengan sebelah tangannya masih mengucek mata, Johnathan pergi ke kamar mandi sekedar membasuh wajah.
"John, hari ini kau libur sekolah?" Bertha menoleh ke belakang, dia melihat putranya baru keluar dari kamar mandi, "John, apa kau ingin ikut Ibu ke pasar?"
"Aku ingin sarapan dulu," jawab Johnathan dan duduk di kursi. Dia meraih segelas s**u lalu meminumnya membuat ibunya hanya tersenyum.
"Kau sangat pintar, John. Ibu bertanya kau ingin ikut apa tidak, bukan bertanya apakah kau ingin makan dulu atau tidak, sayang," ucap Bertha dan mengelus puncak kepala putranya sebelum duduk di depan Johnathan.
"Ibu, apa Paman Pedro akan segera menikah?"
"Kau dengar dari siapa?"
"Seminggu yang lalu waktu aku ikut Ibu ke pasar, aku mendengar Bibi berambut singa-"
"John," potong ibunya seolah memperingatkan Johnathan untuk menjaga ucapannya, "Jika memanggil nama seseorang itu yang benar, sayang. Kau tidak boleh berbicara kasar seperti itu."
Johnathan hanya terkekeh mendengar nasehat ibunya. Dirinya mulai melanjutkan ceritanya sepanjang mereka menikmati sarapan pagi.
"Aku masih ingat Ibu selalu memarahiku setiap kali aku tidak bisa menjaga ucapanku," gumam Johnathan. Dia kembali menarik napas panjang, "Aku merindukanmu, Ibu."
Selang beberapa menit kemudian Johnathan melenggang pergi. Dia ingin istirahat sejenak karena merasa sangat lelah. Belum ada satu minggu dirinya kembali ke Los Angeles, masa lalunya terus menyerangnya tanpa henti. Terlebih dirinya harus mengunjungi Lynette dan sepupunya.
Langkah Johnathan terhenti saat melihat seseorang berdiri di depan mobil berwarna merah. Lelaki itu besandar di depan mobilnya dengan melipat kedua lengannya di depan d**a. Johnathan menatap datar ke arah lelaki itu untuk menyembunyikan perasaannya saat ini.
Lelaki itu menyusul langkah Johnathan. Dia tersenyum miring dan menghentikan langkahnya di depan Johnathan. Tangan kanannya terulur ke depan.
"Apa kabar, John?"
Johnathan melirik ke arah tangan lelaki itu. Bukannya menerima uluran tangan darinya, Johnathan justru memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.
"Cuaca cukup panas, tapi tanganku dingin," ucap Johnathan.
Lelaki itu tertawa pelan. Tangannya kembali lurus ke bawah dengan telapak tangan yang mengepal.
"Kau tidak pernah berubah, John. Kau masih sangat dingin seperti dulu."
"Aku tidak tahu kau sangat memperhatikanku selama ini."
"Di mana kau tinggal? Kenapa kau tidak pulang saja ke rumah?"
Johnathan tersenyum tipis. Dia menatap tajam ke dalam bola mata berwarna hijau di depannya. "Itu bukan rumahku, Mr. Philip Myles," desis Johnathan.
"Aku tidak menyangka akhirnya kau menyadari siapa dirimu, Johnathan Cooper. Aku sudah menyiapkan kamar yang lebih bagus dibandingkan 15 tahun yang lalu. Pelayan-pelayan di rumah sudah menyiapkan kamar yang bagus di loteng, jika kau mampir, kau bisa tidur di sana bersama dengan teman-temanmu yang lain."
"Aku tidak akan pernah menginap di rumahmu lagi, aku harap kau tidak perlu repot-repot menyiapkan itu semua untukku."
Philip tertawa keras hingga kepalanya terdongak ke atas. "Aku mendengar sekarang kau sangat hebat. Aku harap kau pantas untuk bersaing denganku," ucap Philip setelah tawanya mereda.
"Aku tidak pernah mengecewakan lawanku, kau tahu itu," balas Johnathan dengan nada dingin hingga tatapan Philip berubah tajam.
Johnathan tersenyum miring. Dia berjalan melewati Philip. Langkahnya tertuju ke arah mobilnya yang terparkir di tepi jalan.
"Aku akan membuat Sabrina menjadi milikku."
Ucapan Philip membuat langkah Johnathan kembali terhenti. Philip berbalik menatap punggung Johnathan. Seringaian di wajah Philip tampak jelas jika Johnathan membalikkan punggungnya dan menatap wajah sepupunya tersebut.
"Aku tahu kau masih mencintai Sabrina. Kepulanganmu sangat tepat karena sebentar lagi kami akan menikah."
"Perasaanku adalah masa lalu," gumam Johnathan membuat Philip mengernyitkan keningnya, "Aku tidak senang hidup dengan masa lalu," lanjut Johnathan saat menoleh ke belakang.