Casey mematung sesaat melihat tingkah Johnathan. Lelaki itu mulai melewati ruang tamu. Tiba-tiba Casey kembali sadar dari keterkejutannya.
"Hei, berhenti!" teriak Casey.
Casey berjalan dengan normal hendak menyusul Johnathan. Namun, baru pada langkah pertamanya, dia kembali meringis kesakitan. Casey tidak ingat dengan kakinya yang bengkak hingga ia kesulitan untuk berjalan.
Tubuh Casey merunduk. Dia memegang sebelah kakinya dan terus meringis membuat Johnathan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahnya. Kening lelaki itu berkerut melihat Casey berjalan pincang.
"Hei, aku tidak mengenalmu! Bagaimana bisa kau tahu rumahku? Dan kau masuk begitu saja sebelum tuan rumah mengijinkanmu masuk atau tidak? Apa kau tidak tahu sopan santun?" Casey berbicara sedikit menggertak diiringi ringisannya.
"Ini bukan rumahmu. Kau hanya menyewa saja dan membayarnya setiap bulan. Lalu, untuk apa aku meminta ijin padamu?" jawab Johnathan, sesekali ia memperhatikan sebelah kaki Casey tanpa diketahui oleh wanita itu.
Tanpa sadar Casey sedikit membuka mulutnya. Dia sangat terkejut mendengar ucapan Johnathan. Kalimat lelaki itu seperti petir di siang bolong. Casey tidak merasa mengenal lelaki itu sebelumnya dan Casey membenci ucapan sarkartis yang setiap saat keluar dari bibir seksi lelaki itu.
Seksi? Astaga, orang gila pun akan tahu jika lelaki yang berdiri tiga meter di hadapan Casey ini sangat seksi. Bahkan wajahnya terpahat sempurna dengan rahang yang keras dan tatapan mata serigalanya yang mampu membakar permukaan kulit siapa saja yang ditatap olehnya.
Terlebih dengan sepasang benda kenyal, basah serta hangat yang berada di bawah hidungnya. Meskipun Casey membenci ucapannya, tak bisa dipungkiri diapun akan senang jika benda itu kembali menempel di bibirnya.
Casey langsung memalingkan wajahnya yang saat itu sudah memerah. Ia meruntuk di dalam hati karena pikiran konyol yang terlintas di kepalanya. Seksi? Senang saat di cium? Pikiran m***m macam apa itu?! Bahkan sebelumnya Casey tidak pernah merasakan maupun memikirkan hal itu!
Deru langkah yang mendekat membuat Casey kembali sadar dari lamunannya. Dia langsung meluruskan tatapannya dan melihat Johnathan mendekat ke arahnya. Casey kembali membelalakkan kedua matanya saat merasa tubuhnya melayang ke dalam gendongan ala bridal style oleh sepasang lengan yang kokoh.
"Hei, turunkan aku!" protes Casey namun kedua tangannya reflek merangkul tengkuk Johnathan. Was-was jika Johnathan kembali menghempaskan tubuhnya sama seperti saat di pantai kamarin.
"Hey, s**t. Are you deaf?!"
Johnathan tidak mempedulikan u*****n wanita yang ada di dalam gendongannya. Dia justru melangkah keluar dan melewati lorong apartemen yang cukup sepi. Hingga akhirnya Johnathan berhasil menggendong Casey keluar dari gedung apartemen dan memasukkannya ke dalam mobil.
"Kau akan membawaku ke mana?!" tanya Casey saat Johnathan duduk di sampingnya.
"Aku akan menyumpal mulutmu dengan celana dalam milikmu jika kau masih terus berbicara."
Dalam sekejap Casey langsung terdiam. Bukan diam dalam artian sebenarnya. Ia diam karena terkejut mendengar ucapan Johnathan. Bulu kuduknya merinding membayangkan ucapan lelaki di sampingnya yang saat ini mulai melajukan mobilnya.
"Dasar pria m***m," gerutu Casey sembari memalingkan wajahnya yang memerah.
Johnathan tidak peduli dengan u*****n wanita tersebut. Dia hanya diam di sepanjang jalan mengendarai mobilnya. Casey pun tidak lagi berbicara maupun protes membuat suasana di dalam mobil itu berubah hening.
Sepuluh menit kemudian Johnathan membelokkan mobilnya menuju halaman rumah sakit. Dia segera turun dari dalam mobil dan kembali menggendong Casey masuk ke dalam rumah sakit. Sepanjang jalan Casey masih saja diam mengingat ancaman lelaki itu.
Johnathan membawa Casey menuju ruang pemeriksaan. Dia menunggu di luar saat Casey sedang diperiksa. Johnathan duduk di salah satu kursi tunggu yang berjejer rapi di sana. Ia mulai mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya.
"John?"
Mendengar seseorang memanggil dengan nama panggilannya, Johnathan menoleh ke sumber suara. Dia tertegun melihat seorang wanita berambut hitam kecoklatan yang diikat ke belakang. Wanita itu mendekat ke arahnya dengan senyum ramahnya yang sejak dulu dia perlihatkan pada lelaki itu.
"Apa kabar?"
Johnathan bangkit berdiri. Dia membalas senyuman wanita tersebut. "Baik, bagaimana kabarmu?" Johnathan balik bertanya.
Sabrina Richardson, seorang wanita yang menjadi teman masa kecil Johnathan dan Philip telah berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang dokter. Meskipun keluarga Richardson mempunyai perusahaan yang bisa lebih sukses jika wanita jenius di depan Johnathan ini memegangnya, namun Sabrina lebih memilih menjadi seorang dokter.
"Baik juga. Kau sedang menunggu siapa?" tanya Sabrina dengan tatapan mengawasi sekitar Johnathan.
"Apa kau sudah lama menjadi seorang dokter?"
Johnathan justru mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin membahas siapapun jika sedang bersama wanita di depannya. Johnathan menatap lekat-lekat bibir Sabrina yang mengembang membentuk senyuman.
Bibir itu, Johnathan masih sangat ingat bagaimana rasanya meskipun sudah sangat lama. Saat itu Johnathan berhasil mencuri ciuman pertama milik Sabrina dan memberikan ciuman pertamanya pada wanita itu.
"Ingin mampir?" tawar Sabrina. Dia melirik ke arah jam dinding yang menggantung di dinding dekat mereka, "Aku baru selesai bekerja. Sekarang waktunya aku pulang."
"Aku akan mengantarmu," ucap Johnathan dan mereka beriringan keluar dari rumah sakit.
Sesekali Sabrina memperhatikan Johnathan hingga akhirnya sebelah tangannya menggenggam telapak tangan lelaki itu. Sabrina tersenyum tipis saat Johnathan menatapnya. Ia kembali meluruskan tatapannya.
"Hubungan kita belum berakhir kan?"
Johnathan menghentikan langkahnya membuat Sabrina ikut berhenti. Wanita itu menatap wajah Johnathan.
"Aku mendengar kau akan menikah dengan Philip," gumam Johnathan menanggapi pertanyaan Sabrina.
Sabrina tertawa pelan. Dia melepaskan tangannya dari Johnathan. Kedua kakinya bergerak mendekat ke arah Johnathan. Tangannya menarik wajah Johnathan mendekat dan mencium bibir lelaki itu.
"Aku tidak menyangka kau masih mencari kabar tentang aku saat kau tidak ada di sini. Dari mana kau mendengar kabar itu?"
"Philip yang mengatakannya. Dia mengatakan jika kalian akan segera menikah."
"Philip mengatakan itu?" Sabrina kembali tertawa, "Astaga, John. Philip itu sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya. Bagaimana kami bisa menjalin hubungan?"
Johnathan hanya diam menanggapi ucapan Sabrina membuat wanita itu menghela napas pelan. Jemari Sabrina mengelus wajah Johnathan dengan lembut.
"Kau masih belum memaafkan aku?" tanya Sabrina.
"Waktu sudah berubah," jawab Johnathan.
Sabrina melepaskan tangannya dari wajah lelaki itu. Masih sangat jelas ada cinta di mata Johnathan untuk Sabrina, wanita itu melihatnya. Meskipun sikap Johnathan tiba-tiba berubah dingin saat Sabrina membahas hubungan mereka.
"Bagaimana jika kita makan malam nanti malam?" tawar Sabrina.
"Bersama Philip?" Johnathan bertanya dengan mengerutkan keningnya.
"Tidak. Hanya kita berdua saja."
"Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang lebih dulu."
"Tidak perlu. Nanti malam saja, jangan lupa pukul tujuh. Aku akan menunggumu di restoran milik ayahku."
Sabrina kembali mengecup bibir Johnathan sebelum meninggalkan lelaki itu. Ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di parkiran khusus dokter.
Johnathan memperhatikan mobil hitam yang melaju meninggalkan halaman rumah sakit. Ia menghela napas pelan mengingat ucapan Philip dua bulan yang lalu melalui sambungan telepon.
Apa benar jika hubungan cinta monyet dengan Sabrina belum berakhir? Johnathan tidak tahu jawabannya. Dia pergi dari California begitu saja saat itu tanpa mengatakan apapun pada Sabrina. Perasaan kecewanya membuncah menguasai dirinya saat melihat Philip mencium kekasih masa kecilnya itu tiga hari sebelum Johnathan pergi. Hingga dirinya percaya saat Philip mengatakan akan menikahi Sabrina.
Sabrina Richardson, wanita bungsu dari keluarga Richardson adalah teman pertama Johnathan saat dirinya hidup menjadi bagian dari keluarga Myles. Saat itu Sabrina menyambut kedatangannya dengan senyuman terindah yang pernah Johnathan lihat.
Johnathan kembali masuk ke dalam rumah sakit. Dia tidak ingin terlalu lama larut dalam masa lalunya. Itu hanya masa lalu meskipun tak bisa di pungkiri dirinya masih menyimpan perasaan terhadap wanita itu.
Johnathan menghentikan langkahnya melihat Casey berjalan dengan merambat dinding. Dia melirik ke arah kaki Casey yang sudah di perban rapi. Sesekali Casey menghentikan langkahnya dan terlihat meringis kesakitan.
"Apa kau tidak bisa memanggilku dan mengatakan jika kau butuh bantuan?"
Casey mendongakkan wajahnya. Lagi, Johnathan kembali menggendong Casey membuat wanita itu reflek memekikkan suaranya. Beberapa orang yang melihat hal itupun langsung memperhatikan mereka berdua.
"Bagaimana aku bisa memanggilmu, namamu saja aku tidak ingin tahu," ucap Casey.
"Johnathan," Casey melirik ke arah wajah Johnathan saat lelaki itu menyebutkan sebuah nama, "Itu namaku."
Beberapa saat kemudian Casey mengernyitkan keningnya, "Kau tidak bertanya namaku?"
"Tidak penting aku tahu namamu," jawab Johnathan acuh membuat Casey kembali merasa sangat malu.
Rasanya aku sangat ingin menarik bibirmu, memotong lidahmu dan menggorengnya lalu memberikannya pada Chaki, batin Casey dan menajamkan tatapannya.
"Ada apa?" tanya Johnathan menyadari tatapan tajam wanita itu.
"Aku ingin tahu kau berasal dari planet mana. Apa saudara-saudaramu yang tinggal di planet itu juga tidak bisa menjaga ucapannya? Apa kau tidak sadar jika ucapanmu itu menyakiti perasaan orang lain?"
"Aku berasal dari pluto," jawab Johnathan saat membantu Casey masuk ke dalam mobil. Dia memasangkan sabuk pengamannya membuat Casey sejenak mematung karena jantungnya yang berdegup cepat.
Setelah mendengar bunyi 'klik', Johnathan menatap Casey dalam jarak yang dekat, "Aku tidak punya saudara di planetku karena aku adalah raja. Aku pemimpin mereka. Apa jawabanku membuatmu merasa senang supaya kau tidak mengumpat padaku?"
Deg.
Apa dia tahu yang aku katakan di dalam hati? Atau aku tanpa sengaja mengatakannya secara langsung? Apa dia bisa membaca pikiran manusia? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Casey merasa pusing. Terlebih dengan jarak Johnathan yang sangat dekat hingga membuat jantung Casey meresponnya dengan dentuman yang keras dan cepat. Casey tidak tahu sejak kapan jantungnya bereaksi setiap kali Johnathan menatap bola matanya.
"A-apa ka-kau... apa kau bisa membaca pikiran manusia?" Casey bertanya dengan nada gugup.
Johnathan menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan konyol dari Casey. Di dalam hati dia merasa sangat senang karena Casey seperti orang bodoh, terlebih kegugupan wanita itu yang entah tiba-tiba Johnathan menyukainya.
"Iya. Jadi mulai sekarang kau harus berhati-hati dalam berpikir setiap kali aku ada di sampingmu," jawab Johnathan membuat Casey semakin membelalakkan kedua matanya. Johnathan melirik ke arah bibir Casey yang sedikit terbuka. Tiba-tiba seperti tengkuknya tertarik begitu saja, Johnathan kembali mengecup bibir Casey, "Aku akan melakukan apapun yang kau pikirkan. Termasuk jika kau berpikir aku akan menciummu, maka aku akan menciummu."