7

2283 Kata
Vani menggerutu kesal. Bisa-bisanya ia melupakan sarapan di pagi Senin yang sibuk sehingga lagi-lagi ia membuat dirinya menjadi perhatian orang banyak. Pasti satu Bina Bangsa mencibir dirinya. Pasti mereka berpikir dirinya sedang cari muka. Ah sial! Akan ada lagi buah bibir tentang dirinya. Orang tuanya yang bercerai, Ayahnya yang mendapatkan pengganti bunda begitu cepat, dirinya yang selalu menempeli Putra, dirinya yang suka mencari perhatian semua orang, dirinya yang sombong, ah, semua ini tidak akan berakhir.  Pagi itu disaat anak-anak BB mengeluh karena panasnya mentari, Yusuf Fairuz Amzari memasuki UKS dengan satu tujuan. Cowok itu tidak sedang mengalami pusing ataupun mual karena dia tidak sedang dan tidak akan hamil. “Gue taruhan sama sahabat tengik lo,” ucapnya sambil menghempaskan punggung ke ranjang yang tepat berada disebelah kanan ranjang yang ditempati oleh orang yang ia ajak bicara. “Taruhan bukan hal baru kan?” “Emang, tapi baru buat lo.” Gadis yang sedang berbaring di ranjang itu mengerutkan keningnya tidak mengerti. Ia sudah cukup pusing karena melupakan sarapan di pagi senin yang sangat sibuk ini dan sekarang teman sekelasnya itu makin membuat buminya berputar-putar. “Ngomong apa barusan?” tanya si objek taruhan dengan lagak menggertak. “Gue”, tunjuk Ucup pada dirinya, “sama Fiki taruhan buat dapetin lo, Vanesha Biandra Mahardika.” “Dan udah jelas gue harus bantuin Fiki menang,” ucap Vani setelah berhasil menangani keterkejutannya. Ia sudah tau bagaimana sifat cowok bandel di depannya jadi tak ada yang harus dikejutkan. Sialan, tapi ia dijadikan barang taruhan. “Oke. Gue tau lo cerewet tapi dengerin gue dan jangan potong sebelum titik! Lo harus bantuin gue supaya menang. Kapan lagi lo bantuin gue? Dan ini bisa jadi kesempatan nyadarin si b**o Fiki kalo dia udah nyia-nyiain sahabat yang diam-diam suka sama dia.” “Sudah titik, belum?” tanya Vani dan dijawab dengan anggukan. Vani tersenyum miring, bagaimana mungkin ia menyukai Fiki disaat dirinya memiliki pacar yang sangat digilai oleh remaja satu NKRI? “Sumpah ya.. gangguin yang lain aja napa. Dan kapan lagi gue bantuin lo? tiap selesai KD gue bukannya bantuin lo?” ucap Vani yang sudah dalam posisi duduk. “Bantuin gue saat UH udah jadi tradisi dari jaman kita SMP kali neng.. pokoknya kali ini gue mau menang.” Vani membiarkan Ucup berbaring di salah satu ranjang di ruangan yang sama dengannya berada. 'Putra bisa ngamuk kalo gue pacaran sama Ucup, bentar.. emang gue mau pacaran sama Ucup?' “Cup,” Vani bisa gila jika dia melanjutkan berdebat dengan diri sendiri makanya ia memanggil cowok yang sedang berbaring membelakanginya itu. “Hm?” “Lo tau kalo gue pacaran sama Putra kan?” tanya Vani memulai. “Lo ga pacaran sama Putra kan?” tanya Ucup yang sudah tidur menghadap ke langit-langit, sama seperti yang dilakukan Vani. Vani berpikir keras, ini adalah kesempatannya untuk lepas dari Putra, tapi ia tidak ingin temannya itu dicibir orang nantinya. Lalu bagaimana dengan dirinya? Tunggu, memang kenapa dirinya ingin lepas dari Putra? Vani bergerak-gerak kesal karena dirinya kembali dipusingkan oleh pertanyaan-pertanyaan aneh yang tidak bisa diselesaikannya. “Kita ga pacaran beneran kan?” “Iyalah, gue gue mau menang Cha” jawab Ucup kesal. Batin cowok itu menyeringai senang, siapa bilang susah untuk menjadikan Vani pacarnya, ia hanya perlu mensiasati caranya saja. Baginya untuk membalas Fiki memang harus berkorban dan pengorbanannya adalah dengan pacaran dengan Vani. Salah siapa yang mengusiknya duluan. “Gue butuh alasan, lagian bukannya lo kalo pacaran ga lama-lama amat?” ucap Vani lagi. “Lo juga ikutan gossip ya?” delik Ucup kesal, “Fiki jadian sama Anggun, gue ga terima cewek yang gue sayang diembat sama temen lo,” lanjutnya, ia jadi kehilangan Anggun karena peraturan mamanya ditambah Fiki yang maruk. “Sayang..” cibir Vani membatin, memang tau apasih Ucup tentang 'sayang'? “Jadi gue dijadiin alat supaya Anggun balik sama lo?” tanya Vani sangat tidak suka dengan ide ini. “Sekalipun Anggun pengen balik deket sama gue, gue yang ga bakal mau,” ucap Ucup, mendengar itu Vani mengerti bahwa harga diri cowok itu sedang terluka dan ia ingin cewek bernama Anggun menanggung akibatnya. “Gue ga mau ada kabar tentang gue sama Putra putus, lalu gimana usul lo?” “Lo suka sama Putra juga emangnya?” Ucup tidak suka karena Vani makin memperumit keadaan karena setaunya Vani hanya menyukai Fiki. “Ga, gue sedang memainkan yang namanya kesetiaan. Dalam pertemanan, hal yang paling gue junjung tinggi adalah kesetiaan” ucap Vani. Ucup tertawa mencemooh, katanya 'terus mana kesetiaan lo sama Fiki'? “Ckck lo pasti lupa julukan gue si pemilih teman kan? Gue punya empat kasta pertemanan dan kasta tertinggi dimiliki oleh Putra, Deva, Cinta sama Rian. Dan bagi gue mereka adalah segalanya” terang Vani agar ucup mengerti dan berhenti cerewet. “Fiki kasta yang mana?” “Bukan urusan lo kan? Lo bahkan ga masuk di kasta keempat sekalipun,” ucap Vani kesal. Fiki memang diurutan kedua, tapi fakta tentang cowok itu yang mulai asing membuat Vani bisa mengabaikan kesetiaannya. “Oke.. sembari gue nyari solusi buat hubungan pura-pura lo sama Putra, kita harus sering bareng. Kata orang sih PDKT. Dan lo harus mulai pulang bareng sama gue.” “Mmama lo gimana?” tanya Vani mengingat cowok itu melarang keras ia berdekatan dengan mamanya. “Ga gimana-gimana,” dia bahkan nyumpahin gue sama lo, tambah Ucup dalam hatinya dan meninggalkan UKS. “hoi calon pacar!” panggil Ucup dari ambang pintu, rupanya cowok itu kembali. “mulut lo, Cup! Kalau ada yang dengar gimana,” teriak Vani. Ucup mengendikkan bahu kemudian dengan gerakan tangannya memerintahkan Vani agar ikut dengannya. >>>  Kito Hanan Wirasena menangkap tangan Dea dan Ayi yang dari tadi selalu menganggunya mengerjakan PR. Kedua temannya makin brutal karena tidak ada orang yang biasa mereka bully. Ketidak hadiran Vani diantara mereka benar-benar menjadi petaka bagi Kito. “Selamat datang Vanesha,” ucap Kito penuh semangat saat matanya tertuju ke pintu kelas dan disana muncul Vani dan Ucup. “Emang gue baru dari mana?” tanya Vani langsung memisahkan jalur dengan Ucup, ia menghampiri ketiga temannya yang selalu heboh. Kito mengeluarkan lima buah roti pada Vani dan mengatakan kalau dia sedih karena teman kesayangannya hampir pingsan gara-gara lupa sarapan. “Gue yakin lo belum makan makanya tadi sebelum masuk, gue beliin roti favorite lo Van, baik kan gue?” ucap Kito, Vani melirik Ucup yang sudah sibuk bicara dengan Robi. Dalam hatinya ia mengatakan bahwa yang baik itu adalah Ucup karena cowok itu bahkan menemaninya sarapan. Ralat, membelikan sarapan lengkap dengan memastikan agar makanan itu habis. “Dimakan dong!” “Gue udah makan tadi, ntar aja ya” ucap Vani dengan senyum manisnya namun ia tetap menerima roti pemberian Kito. “Dapat makan dari mana coba? Lo pasti cuma dikasih teh anget” tanya Dea. Kini kedua orang yang tadinya mengganggu Kito sudah mengalihkan perhatiannya. Kito berharap Ayi-Dea lupa padanya dan guru yang sedang briefing makin lama rapatnya supaya PR nya selesai. “Aduh, De.. makanya lo sering-sering sakit, pelayanan UKS kita makin hari makin Te O Pe.” >>>   Vani ditinggal teman-temannya saat istirahat karena ia belum menyelesaikan catatan kimia minggu kemaren. Saat ia tenggelam dengan suara yang dihasilkan oleh goresan pena pada kertas Vani mendengar ketukan pintu. Vani kaget melihat siapa yang mendekatinya saat ini. Fiki mendatanginya adalah hal yang luar biasa karena selama ini dirinyalah yang selalu singgah ke kelas temannya itu. Dalam hati Vani menyadari bahwa tampaknya taruhan ini benar-benar penting bagi kedua cowok itu. “lagi kerjain apa?” “Catatan, lo kenapa nyamperin gue?” “Emang ga boleh?” kekeh Fiki dan duduk memutar bangku milik Lala dan duduk disana sambil menopang dagu. Vani benar-benar ingin memuji temannya itu, ia mampu bersikap biasa saja? Vani bersumpah ia akan memenangkan Ucup jika Fiki tidak memberitahunya perihal taruhan sialan itu. “Boleh aja sih.. tapi agak aneh aja. Lo mau ngomongin sesuatu yang rahasia ya sama gue?” Fiki menoyol kepala Vani sambil berkata kalau dirinya bukan tukang gossip seperti Vani. Vani kembali diam dan mengabaikan keberadaan Fiki, kediaman bersama Fiki sangat disukainya. Cowok itu pintar dalam segala hal, belajar dan menghadapi wanita. Makanya banyak yang suka padanya, tak heran cewek yang bernama Anggun jadi lengket sama Fiki. Sedangkan bagi Vani, berteman dengan Viki menimbulkan suasana lain yang juga menyenangkan, tidak seperti berteman dengan teman-teman lamanya ataupun Kito,Dea dan Ayi. Tidak mendapati komentar-komentar Fiki mengenai kelakuannya sehari-hari membuat Vani merasa hidupnya hampa. “Cha.. bagi roti tadi pagi dong,” ucap Ucup yang berjalan mendekati dua sejoli yang tidak akan pernah ia biarkan untuk bersatu, enak saja. Ucup melewati Fiki seolah mereka tak pernah bertemu dan saling emosi beberapa hari lalu. Vani mengeluarkan lima roti miliknya dan menyuruh Ucup untuk memilih. Vani tidak sedang memulai sandiwara mereka, sungguh, hanya saja jika sudah urusan makanan ia dan Ucup memang tak ada control. Ucup akan meminta apa saja makanan miliknya sedangkan Vani cukup sering merebut makanan milik cowok itu bahkan mereka juga sering ngantin bareng walaupun ujung-ujungnya Vani gabung kembali dengan ketiga temannya. “Lo yang paling suka rasa apa?” tanya Ucup. Vani menjawab bahwa ia suka yang coklat dan Ucup memutuskan untuk mengambil sesuai selera Vani. Setelah itu ia kembali ke mejanya dan mengerjakan catatan. Jika Vani tidak mengerjakan catatan karena main dirumah Putra maka Ucup tidak mengerjakan karena memang tidak berniat. Waktu cowok itu dirumah lebih berharga untuk sekedar mengerjakan PR. “Rambut baru lo?” tanya Ucup. “Iya, gimana? Cantik?” “Cantik?” “Syukurlah, jadi kalo nanti Putra protes gue bisa jadiin pendapat lo sebagai tameng.” “Emang pacar lo larang motong rambut?” tanya Ucup sementara keduanya masih sibuk dengan catatan masing-masing. “Ga larang. tapi ngancam kalo jadinya ga cantik.” Keduanya terus bicara tanpa menoleh satu-sama lain, mengabaikan keberadaan Fiki. Fiki sendiri tampak sudah sangat kesal karena Ucup mampu mengambil perhatian Vani darinya begitu banyak. Dan lagi, mendengar Vani seolah mengakui bahwa Putra memang pacarnya membuat Fiki ingin menonjok cowok yang namanya Putra. “Yang, gue balik dulu deh,, hari ini lo bisa cari tebengan lain dulu?” tanya Fiki. Ia ingin memamerkan pada Ucup bahwa ia sudah sangat leluasa memanggil Vani dengan kata 'sayang'. “Oh.. ga papa, gue balik sama Ucup kok hari ini,” ucap Vani menghentikan pekerjaannya dan memberikan senyum lebarnya pada Fiki. Ia sengaja mengucapkan kalimat itu karena menyadari Fiki tidak akan cerita apa-apa tentang taruhan itu. “Oke deh.. besok gue janji kita pulang bareng,” Vani hanya menganggukkan kepala sambil memberikan dua buah roti pada temannya itu. “Yang satunya buat pacar baru lo,” ucap Vani saat Fiki hanya mengambil satu roti. Vani teramat sangat mengetahui perubahan mimik Fiki. Cowok yang sudah menghilang dari balik pintu kelasnya itu kembali memberikan ekspresi asing pada Vani, seolah ia kaget ekali mendengar bahwa Vani mengetahui dirinya memiliki pacar baru. Vani merasa tersinggung saat Fiki memberikan sikap seolah ia tidak usah ikut campur urusan pacarannya melalui kalimat yang cowok itu tinggalkan. “Gue bisa jajanin pacar gue sendiri kok, lo ga usah kasih apa-apa. Yang ada dia bisa curiga.” “Lo kecewa?” tanya Ucup yang sepenuhnya sudah menghadap pada Vani “Kecewa soal apa?” tanya Vani, ia tidak ingin membahas lebih lanjut. Ia memang kecewa tapi bukan tempatnya untuk bercerita pada Ucup. >>>   “Kalian?” Bu tari tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Anaknya yang kemaren-kemaren keras kepala tidak menyukai Vanesha justru sedang membantu cewek itu naik ke motornya dengan sebelah tangan. Vanesha tidak jadi menaiki motor Ucup dan melepaskan tangannya yang berpegangan pada tangan calon pacarnya itu. “Eh- ibu mau pulang sama Ucup?” tanya nya segan. “Oh, engga kok. Lanjut aja.. ibu punya banyak siswa yang bisa disuruh nganter pulang,” ucap bu Tari dan tersenyum penuh arti pada anaknya. “Duluan bu,” ucap Vani yang kembali pada tangan Ucup dan berusaha naik. Ia setengah menggerutu pada kendaraan yang dimiliki cowok itu. “ini motor atau apa sih?” gerutunya. >>>>   Mereka berhenti di depan pagar rumah mewah milik pak Teja Mahardika. Ucup untuk pertama kalinya mengetahui alamat teman yang sebentar lagi akan jadi pacarnya itu. “Gimana? Kita jadi pacaran?” tanya Ucup tanpa menoleh pada Vani. “Lo liat gue lah! gitu amat cara lo ngajak pacaran,” gerutu Vani, harusnya pengalaman pacaran pertamanya ini adalah hal yang manis dan bisa dikenang sepanjang masa. Tapi ini?? Ucup menuruti perkataan Vani untuk menoleh ke belakang tapi cewek itu hanya diam sambil menatapnya. Saat ucup mengembalikan posisi kepalanya ia malah di hardik Vani. “Pegel leher gue,” ucap Ucup kesal. “Berjuang dikit buat bisa jadian sama gue apa salahnya sih, Ccup?” tanya Vani sewot. Ucup turun dari motornya membuat Vani teriak. Sekarang Vani duduk seperti patung, ia tidak ingin bergerak sedikitpun karena bisa-bisa ia jatuh. Jatuh kan sakit. “Nah ini sekarang gue udah ngeliat elo, jawaban buat gue mana?” tagih Ucup. “Oke kita pacaran asal-” “-gue ga terima syarat Cha, kita pacaran. Titik.” “Fine.. tapi gue masih akan nagih gimana soal Putra. Lo ga boleh terlibat apapun sama dia, ngerti? Dia temen gue-” “-tapi gue pacar beneran elo,” sela ucup mengingatkan. “Lo pikir gue peduli?” ucap Vani sambil memberi isyarat agar Ucup mendekat dan membantunya turun. Ucup dengan ogah-ogahan mengulurkan tangannya agar pacar barunya itu bisa turun. Catat ya, pacar baru. Jika Ucup mendapat keuntungan dari pacaran beneran mereka ini maka Vani juga harus memanfaatkan pacaran pertamanya ini. Ia berjanji akan membuat Fiki sadar bahwa tidak seharusnya ada yang disembunyikan dalam sebuah pertemanan, terlebih Fiki berteman dengannya. Lain halnya jika Fiki berteman dengan orang lain. Selain itu ia ingin mengetahui apa sebenarnya pacaran.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN