6

1744 Kata
Reuni SMA BB biasanya tidak menganggu sedikitpun proses belajar–mengajar. Tapi untuk kali ini berbeda. Kebanyakan guru ternyata adalah alumni yang sedang mengadakan reuni. Jadilah sebagian besar kelas di minta belajar mandiri dulu. Dan semua orang tau, hanya kelas unggul lah yang akan akan mematuhi aturan itu, itupun tidak semuanya. Buktinya semua siswa sedang berkeliaran di koridor lantai satu sampai lantai empat baik di gedung utara maupun selatan. “Gue mau ngomong,” ucap Ucup yang berdiri tepat di depan meja Vani. “Gue ga mau ngomong,” ucap Vani tanpa melihat orang yang kemaren membuatnya emosi. Gadis itu lebih tertarik mengawasi Alif-Imam yang sedang menulis. Tadi saat kembali dari kantin Vani berpapasan dengan mama tirinya dan sikembar. Lalu mereka dititipkan pada vani karena bocah-bocah itu akan mati kebosanan dan berakhir dengan menangis kencang karena tidak bisa kemana-mana. “Kita butuh ngomong, Vanesha Biandra Mahardika” ucap Ucup geram. “Gue lagi jagain adik tiri kesayangan gue. Menurut lo pentingan elo apa mereka?” tanya Vani dan menyumpal telinganya dengan headset. Bukan, Vani tidak sedang melanggar peraturan dengan membawa ponsel ke sekolah. Yang di dengarkannya saat ini adalah lagu dari tablet milik adik tirinya. Ya walaupun kebanyakan dari lagu yang ada disana adalah lagu anak-anak. “Gue minta maaf,” ucap Ucup kekeuh ingin bicara berdua dengan Vani. “Lo salah apa emangnya?” tanya gadis itu. “Gue salah udah curigaan sama lo dan larang dekat sama bu tari, jadi bisa kita ngomong bentar?” “Besok,” ucap Vani cuek. “Besok libur.” “Ya besok-besoknya lagi kan kita masih bisa ketemu,” ucap Vani nyolot. Ia memandang Yusuf Fairuz Amzari dengan tampang muaknya. Ucup yang tau jika ia tidak akan bisa mendapatkan perhatian Vani hari ini kembali ke tempat duduknya. Vani mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas karena merasa ditatapi. Ia merasa bahwa perkataannya tidak terlalu menyalahi norma yang ada sehingga semuanya harus melihat padanya seperti ini, ternyata teman-temannya melihat pada sikembar yang sangat fokus menggambar abstrak dan berhenti mengoceh seperti tadi. “Waktunya habis anak-anak,” ucap Vani sambil melirik jam tangannya. Kedua bocah dengan wajah yang sulit dibedakan itu mengangkat kepala dan mengumpulkan kertasnya pada sang kakak seolah mereka sedang mengikuti ulangan harian. Semua orang terpana melihat kejadian satu ini. “Wahh.. lo emang jago me-manage anak-anak ya, Van” ucap Dea tergelak. Vani hanya memutar mata bosan, dan segera mengemasi bukunya yang masih berantakan. Sedangkan Alif dan Imam membantu mengumpulkan pensil warna yang dipinjamnya dari sang kakak. Kali ini Vani menyandang tasnya dengan benar, tidak menyampirkan pada salah satu bahu saja karena ia harus memegang kedua tangan adik tirinya. Gadis itu memegang Imam di kanan sedangkan Alif di kiri, mereka berjalan dengan langkah pasti menuju satu-satunya pintu yang bisa menghubungkan ruangan kelas dengan koridor. Saat hampir di bibir pintu Vani berhenti dan menoleh pada teman-temannya, mata mereka masih tertuju pada ketiga kakak-beradik itu termasuk Ucup. Jelas sekali bahwa mereka sangat tidak terbiasa melihat manusia kembar identik. “Gue balik guys,” ucap Vani dan kembali melangkah. Sikembar bukanlah bocah yang terlalu peduli, buktinya mereka diam saja saat tadi ditanya-tanyai. Bahkan untuk mengatakan bahwa dia terganggu karena pipinya ditarik-tarik saja, Imam hanya merengek sambil memanggil kakaknya. Kemudian Vani dengan sigap memperingatkan teman-temannya agar segera menjauh dari adiknya Ketiganya berjalan dalam diam karena mereka memang tidak terlalu sering berinteraksi. Mereka hanya biasa pada kondisi dimana ketiganya berada pada tempat yang sama dengan Vani yang bertugas mengawasi adik-adiknya sedangkan si kembar yang bermain sesuka hati. Saat sampai di dekat lapangan, kakak tiri Alif dan Imam itu tersenyum lebar melihat siapa yang berjalan kearahnya. “Abang,” teriak Alif-Imam serentak dan menarik kakaknya agar segera mendekati Rian. Vani mendengus melihat kedua adiknya juga senang melihat Rian. “Padahal gue sengaja jemput buat ajak lo jalan.” “Ikuuut,” teriak kedua bocah nakal itu. Vani bertemu Fiki saat melewati parkiran dengan seorang cewek manis yang memegang helm yang biasa dipakai Vani. Temannya itu kembali bertindak aneh. Tatapannya seolah mengatakan tidak suka tapi Vani tidak tau apa yang ada didirinya yang tidak disukai Fiki. Alif membuyarkan lamunan Vani dengan bertanya bukankah abang itu teman kakaknya? “Iya, abang ini namanya bang Fiki. Ki, gue pulang sama Rian yah.” “Lo ga bilang.” “Ini kan bilang?” tanya Vani bingung, bagaimana caranya Fiki mengantar dirinya pulang jika cowok itu mengajak cewek yang mungkin berstatus pacarnya? Vani tetap melanjutkan langkahnya karena telah tertinggal beberapa langkah oleh Rian, mengabaikan wajah protes Fiki. >>>>  Vani memperhatikan Rian makan dengan menopang dagu, kedua adiknya sama seperti Rian , menunduk kalau sudah bertemu makanan. Saat ini mereka berada di tempat favorit Vani. Tak hanya Vani yang menyukai makanan ataupun minuman di fly high karena hampir semua remaja menjadikan tempat itu destinasi pertama untuk kencan. “Ga sama cowok yang biasa?” tanya seorang perempuan dewasa pada Vani. Vani sering menyapa pemilik café yang bernama tamara itu. Orang yang dipanggilnya dengan kata sapaan kakak itu sangat cantik dan ramah padanya. Salah satu alasan kenapa Vani suka tempat ini. “Cowok boleh banyak kan kak? Suami baru satu” guyon Vani sambil mengedip pada tamara “Bolehlah.. mereka adik kamu?” “Iya.. ini Imam dan ini Alif,” tunjuk Vani pada kedua adik tirinya, “kalo yang ini Rian.” “Hai Imam-Alif.. ante punya kenalan anak kembar kayak kalian, tapi yang satu cewek dan satu lagi cowok. Kayaknya kalian seumuran, semoga takdir mempertemukan kalian,” ucap Mara ramah sedangkan si kembar hanya mengangguk-anguk. “Lo tau ga, kalo lo itu agak munafik?” tanya Vani pada Rian yang malah mendiamkannya. “Gara-gara janjian yang kemaren itu?” tanya Rian berhenti memegang sendok. “Kemaren-kemarennya lagi,” ucap Vani membenarkan karena Rian baru menganti janjinya yang batal beberapa hari yang lalu. “Gue lupa kalo ada tugas kelompok Van,” Vani mendengus mendengar alasan itu lagi, apakah Rian benar-benar tidak niat dengan sekolahnya sampai-sampai selalu melupakan belajar kelompok? 'Ya.. yang penting dalam hidupnya hanyalah makanan' ucap Vani membatin sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sebelum Rian kembali pada rutinitasnya beberapa menit lalu Vani segera menyuarakan pertanyaan asal, apakah Rian menilainya bengkak sama seperti Putra dan Fiki. Temannya itu menjawab dengan, 'ga kok, mereka bilang begitu mungkin karna ga suka cewek agak gemuk. Gue oke aja, lagian lo kan bukan pacar mereka jadi ga usah dibawa serius omongannya'. Vani girang sekali mendengar ada yang memihaknya, Rian emang yang terhebat. Sisa sore itu mereka habiskan dengan main di salah satu taman, kedua teman lama itu menggunakan kesempatan langka mereka untuk bicara banyak hal sambil mengawasi Alif dan Imam. >>>   “Ta..” ucap Vani jengah karena Cinta hanya menopang dagu sambil melihat Deva yang sedang belajar. Saat ini mereka sedang berada dirumah Putra karena artis sok tenar itu lagi meriang. Meriang dalam artian yang sebenarnya, bukan merindukan kasih sayang. “Hm.” “Lo temenin gue motong rambut aja deh.” “Lo suka banget ganggu kesenangan gue ya, Van..” ucap Cinta dan mengambil tas selempangnya dan mendekati Vani. Kedua cewek yang selalu diawasi oleh Putra, Deva dan Rian itu berangkat ke salon langganan mereka setelah memutar mata terlebih dahulu mendengar perkataan Putra. “Awas kalo ga cantik,” begitu tutur cowok yang sedang terbaring lemah itu. Keduanya sampai di tempat tujuan dan langsung melaksanakan niatnya. Cinta dengan setia duduk di kursi dekat Vani sambil memperhatikan wajah tenang orang yang sudah dianggapnya sebagai kakak tapi tidak dengan panggilan kakak itu sendiri. “Van.” “Hm?” “Lo ngerasa ga kalo Putra itu serius sama pacaran kalian?” tanya Cinta , sebenarnya ia ingin mengatakan pada Vani 'lo ngerasa ga kalo Putra emang beneran pengen jadi pacar lo?' hanya saja karena Putra sedang menjadi salah satu public figure yang cukup di kenali karena ledakan beberapa filmnya, ia harus berhati-hati dalam bicara apalagi saat disekitar mereka ada orang lain. “Ngomongin dia lagi awas lo! Mending lo potong itu rambut supaya gue ga gerah tiap ngeliat lo,” gertak Vani, sekarang wajahnya sudah tidak setenang tadi. “Enak aja.. Deva sukanya cewek rambut panjang. Potong rambut sama aja bunuh diri. Emang lo mau liat gue galau karna Deva nyari cewek cantik lain selain gue?” tanya Cinta sewot. “Pede banget lo, Cin,” Vani langsung mendapat tatapan tajam dari Cinta karena cewek itu tidak suka jika dirinya dipanggil 'cin', katanya ia berasa b*****g. Setelah selesai dengan rambutnya Vani mengajak Cinta untuk singgah di pasar –benar-benar pasar yag bisa ditawar-tawar–  ia ingin membelikan buah untuk Putra. Mereka meminta supir Cinta untuk tidak mengikuti ke dalam pasar. Berbeda dengan Vani yang selalu kemana-mana dengan Putra ataupun Fiki, Cinta yang anak semata wayang justru selalu bersama supirnya. Cinta sangat ingin Deva selalu bisa ada untuknya seperti putra pada Vani, tapi cewek yang sedang dalam tahap pubertas itu hanya memendam keinginannya. Sebenarnya jika Cinta ingin mengatakan itu ia bisa memperkuat alasannya dengan mereka yang berada dalam satu sekolah, tapi ia ingin Deva sendiri yang berinisiatif untuk selalu bersamanya. Walaupun Vani dan Putra tidak terlibat perasaan satu-sama lain, Cinta iri pada temannya itu. Mereka bisa perhatian, marah bahkan jika memungkinkan Vani bisa mencekik Putra jika temannya itu sudah meminta perhatian berlebihan. Semua yang ingin Cinta lakukan dengan Deva justru Vani dan Putralah yang melakukannya. “Wwuihh.. uang jajan lo bisa menipis nih,” goda Cinta karena Vani membelikan bermacam-macam buah dengan kualitas super. “Lo kayak ga tau dia aja, Putra suka semua buah dan kalo gue beli buah satu macam aja bisa kena cerca satu minggu dong gue. Apalagi dia pasti bakal mamerin buah ini ke semua orang lewat instagramnya dan gue ga mau dicap sebagai pacar kere,” terang Vani. “Terus jajan lo gimana?” tanya Cinta karena semua orang tau meskipun Vani berasal dari keluarga Mahardika yang terkenal itu, ia tidak pernah hidup dalam balutan kemewahan. Papanya sangat menjunjung tinggi kesederhanaan. Tapi sadar atau tidak, sang papa hanya memberlakukan itu pada dirinya seorang buktinya sikembar bahkan sudah memiliki gadget di umur mereka yang masih lima tahun. “Ada Kito, Fahri, Dea, Ucup sama Fiki,” ucap Vani enteng. “Ucup?? Itu cowok baru gue denger namanya. Lo naksir? Tapi dari denger namanya kok kaya cupu abis ya?” tanya Cinta dengan semangat. “Ga sih, cuma Ucup itu sering dikasih bekal sama gebetannya dan gue sering nyicip,” ucap Vani dengan tenang, ia tidak habis pikir kenapa nama Ucup bisa keluar dari mulut cantiknya. Setelah selesai belanja keduaya kembali ke rumah Putra dan menghabiskan waktu seperti biasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN