Sepasang anak muda itu masih betah dalam diam, seperti kehabisan kata-kata, atau justru seperti bisa bertelepati satu sama lainnya. Hingga Fandy yang lebih dulu kembali bersuara, ia sadar waktunya tidak banyak untuk berduaan di kamar seorang gadis. Apa yang ingin ia utarakan harus segera tersampaikan.
Fokus Fandy kembali tersita pada luka di dahi Amira yang menganga, berdarah, dan terlihat cukup dalam. Fandy menahan diri agar tidak meringis, bagaimanapun ia harus menjaga perasaan Amira. Sedangkan Amira yang tahu bahwa Fandy sedang menatap lukanya, dalam hati ia bertaruh bahwa pria itu pasti akan mengejeknya. Fandy memang sudah terbiasa melihat paras buruk rupanya, namun ditambah hiasan luka itu, mungkin saja Fandy akan sepenuhnya ilfeel.
“Lukamu... Apa tidak sebaiknya diobati? Sini aku bantu pakein obat merah.” Ujar Fandy menawarkan bantuan.
Amira menggeleng cepat sebagai penolakan, “Nggak usah, nggak apa-apa kok. Biarin juga sembuh sendiri.” Tegas Amira. Gadis itu merasakan debaran kencang di dadanya, ternyata dugaannya meleset, pria itu tidak terlihat akan mengejeknya, malah tampak prihatin. Tatapan Fandy menjelaskan betapa khawatirnya dia pada Amira, tatapan yang teduh dan tulus seperti yang terpancar dari mata ayah dan ibunya.
Fandy menghela napas, ia tak mungkin memaksa Amira untuk menerima perhatiannya. “Okelah, sorry kalau aku rada ngegas bikin kamu nggak nyaman.” Jelas Fandy.
“Nggak kok, selow aja.” Jawab Amira singkat. Bolehkah ia merasa senang mendapatkan perhatian dari Fandy? Hanya dia satu-satunya selain kedua orangtuanya yang begitu peduli pada dirinya. Amira jadi berpikir, pertemanan mereka ini atas dasar apa? Fandy perhatian hanya sekedar rasa kasihan atau ada alasan lain? Kendati rasa ingin tahunya cukup besar, namun Amira tak punya nyali untuk mempertanyakan itu.
“Jadi apa rencanamu sekarang? kamu masih mau lanjut sekolah di sana, atau....” Fandy tak mau meneruskan lagi, ia menyembunyikan pandangannya dengan menunduk. Ada rasa takut dalam hatinya untuk mendengar jawaban Amira. Ia merasa tak mampu mendengar, andai gadis itu menjawab akan pergi dari sekolah itu.
“Belum tahu... Lihat nanti gimana.” Jawab Amira cepat.
Helaan napas Fandy terdengar Amira, berat dan terasa menyesakkan, itulah persepsi Amira. “Aku harap kamu tetap lanjut sekolah di sana, tapi kalau kamu emang udah ngerasa nggak nyaman, ya udah jangan dipaksakan. Yang penting, di manapun kamu pindah, kita tetap kontak ya.” Pinta Fandy, ia memberanikan diri menatap penuh harap pada Amira.
Amira menyunggingkan senyuman, “Hmm... Aku nggak berencana pindah sekolah kok, tenang saja. Yang belum kepikiran itu harus ngapain dalam waktu dekat ini. Ya, Aku belum siap sih ketemu mereka.” Jelas Amira, setelah mengucapkan itu barulah ia merasa ada sedikit penyesalan. Seharusnya ia tidak perlu seterus-terang itu pada Fandy, hanya karena takut mengecewakan pria itu. Amira semakin tidak mengerti dirinya, ia tak punya tanggungan untuk menjaga hati Fandy yang hanya sekedar temannya. Kecuali... Amira mulai menyukai Fandy?
Tidak mungkin! Aku jelas-jelas masih suka sama Aldo, dan sakit hati dengan kelakuannya. Jadi tidak mungkin aku juga suka pada Fandy. Amira membantah perasaannya dalam hati.
“Syukurlah, aku plong dengernya. Anytime kamu butuh bantuan, aku selalu siap buat kamu.” Seru Fandy penuh semangat.
Kamu salah menilai aku, Fandy. Aku nggak sebaik yang kamu kira, aku bukan Amira yang polos dan b**o dibully lagi. Kalau kamu tahu, aku yakin kamu juga bakal ninggalin aku. Gumam Amira dalam hatinya.
**
Lastri mondar mandir di depan kamar Amira, setelah Ardi berangkat ke kantor lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda kemarin, rumah langsung terasa sangat sepi, ditambah lagi Amira yang sejak kemarin enggan keluar dari kamar.
“Nak... Amira... Ibu boleh masuk?” Lastri mengetuk pintu kamar Amira, ia sudah tak sabar hanya berdiam diri. Amira melewatkan makan malam, ia dan Ardi masih bisa memaklumi hingga enggan mengganggunya. Namun hari sudah berganti, Amira tetap betah dalam kamarnya. Lastri bisa maklum kalau Amira masih berat hati untuk berangkat sekolah, namun jika terus-terusan bersembunyi hingga mengabaikan diri sendiri, Lastri tak akan tinggal diam.
Tak ada jawaban, pun pintu masih tetap sama tak terbuka. Lastri melewatkan bagian permisi lagi, ia mencoba meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Ternyata tidak dikunci, Lastri bergegas masuk untuk mengecek keadaan Amira. Kamar yang agak berantakan, di lantai berserakan baju kotor Amira, bahkan seragamnya kemarin masih tergeletak di sana. Lastri menyipitkan matanya, merasa asing dengan kebiasaan Amira yang aneh itu. Kendati putrinya terlahir dengan wajah kurang menarik, tetapi gadis itu sangat menjaga kebersihan dan kerapian kamarnya. Tetapi yang terlihat oleh Lastri sekarang, seperti melihat orang lain dalam diri putrinya.
Lastri tak mendapati Amira, suara guyuran air di kamar mandi menjadi jawabannya. Amira masih belum selesai mandi, dan Lastri menunggunya keluar sembari duduk di atas kasur. Begitu gadis itu keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuknya, Amira terkesiap lantaran tak menyangka sudah ditunggu ibunya.
“Ibu udah lama nunggu Amira?” Tanya Amira was-was, ia takut kalau Lastri sejak tadi di sini dan mengobrak-abrik barang-barangnya. Bisa apes kalau ibunya menanyakan perihal bedak ajaib itu, karena selama ini peralatan makeup Amira dibelikan ibunya. Ia merutuki dirinya yang lupa mengunci pintu sebelum mandi.
“Barusan masuk setelah kamu nggak menjawab ibu. Rupanya lagi mandi ya, habis ini sarapan yuk. Ibu udah siapin masakan kesukaanmu loh, kita sarapan bareng ya.” Ajak Lastri, ia harus berpuas diri menahan rasa penasaran dengan raut wajah canggung putrinya. Seperti ada sesuatu yang dirahasiakan dan takut ketahuan. Yang penting saat ini, Amira mau diajak makan bersama.
Amira mengangguk pelan, “Baiklah, sebentar ya bu. Amira pakai baju dulu.”
Lastri tersenyum senang, tetapi ia malah mendapat lirikan dari Amira yang terkesan risih dilihat saat memakai baju. “Nggak apa-apa ya nak, ibu tunggu di sini saja. Kan sama-sama wanita, nggak perlu malu.” Ujar Lastri yang mengerti rasa tak nyaman putrinya.
Amira diam saja, ia pun memilih baju rumahan yang longgar dan nyaman dipakai. Lastri terus memperhatikan gerak-gerik Amira, hingga gadis itu sisiran di depan cermin. “Udah gitu aja? Nggak pake bedaknya dulu, nak?” Lastri spontan bertanya saat melihat Amira melewatkan bagian merias diri.
Setelah menaruh sisir, Amira lantas menghampiri ibunya. “Nggak perlu, bu. Di rumah aja, ngapain makeup.” Jawab Amira.
Lastri tersenyum lalu berdiri, kini ibu dan anak itu saling berhadapan. Dengan lembut, Lastri meraih rambut Amira yang masih basah. Perlahan ia meraih tangan putrinya lalu menuntunnya duduk di meja rias. “Sini, ibu bantu keringkan rambutmu.”
Tanpa menunggu persetujuan, Lastri sudah sibuk menyalakan hairdryer lalu mulai mengeringkan rambut Amira. Perhatian tulus itu membuat Amira sedikit terbebani, ia tak pernah menyembunyikan sesuatu dari kedua orang terdekatnya, tapi sekarang ia begitu takut pada mereka. Takut kalau mereka tahu bahwa Amira menyimpan sebuah rahasia besar, yakni memiliki bedak ajaib dari seorang nenek misterius.
***