SAKIT HATI PEMICU AMBISI

1130 Kata
“Kau akhirnya percaya, aku tidak salah menilainya. Jadi kita harus gimana ini, pa?” Tanya Lastri sedih, firasatnya sebagai orangtua memang peka mengetahui perubahan anaknya walau hal sepele sekalipun. Belum juga Ardi mengemukakan pendapatnya, suara bel di luar memecahkan fokus mereka. Lastri dan Ardi saling bertatapan heran, siapa yang datang sekarang? Bunyi bel beberapa kali dan intens itu membuat kedua orangtua Amira saling pandang. “Aku lihat siapa yang datang dulu, pa.” Ujar Lastri yang berinisiatif membukakan pintu untuk tamu yang belum ia ketahui itu. Ardi membiarkan istrinya berlalu, ia sendiri segera membuka lemari es lalu mengeluarkan sebotol air dingin. Gelas kosong yang terletak di dekat kitchen set pun diraihnya, ia meneguk satu gelas penuh air dingin untuk melepas dahaga. Seingatnya, terakhir ia minum saat sarapan di rumah, saking paniknya mendapat kabar tentang Amira, membuat ia lupa akan kebutuhan tubuhnya. Lastri mengintip dari jendela, tatapan penasarannya berubah seketika melihat wajah tamu yang ia kenali. Segera ia bukakan pintu untuk menyambutnya, mungkin ada baiknya tamu itu datang saat ini. “Selamat siang tante, apa Amira sudah pulang?” Fandy langsung mengangguk dan tersenyum begitu melihat ibu Amira yang membukakannya pintu. Lastri pun membalas senyuman teman sekelas Amira itu, “Eh, nak Fandy... Ayo masuk dulu.” Jawab Lastri mempersilahkan tamunya masuk dulu, bagaimanapun kurang nyaman harus bicara di depan rumah. Fandy sedikit menundukkan badannya ketika masuk, ia berlaku sopan pada orang yang sepatutnya dihormati, apalagi mereka adalah orangtua Amira. “Amira sudah kembali, terima kasih ya nak Fandy sudah ikut pusing mencarinya.” Sambung Lastri menjawab pertanyaan Fandy yang tertunda, ketika memastikan tamunya duduk dengan tenang, barulah Lastri bersedia membahasnya. Fandy lega seketika, kabar yang ia dengar langsung dari ibu Amira begitu melegakannya. “Syukurlah... Boleh saya temui Amira sebentar, tante?” Tanya Fandy hati-hati. Lastri agak ragu memberikan jawaban, ia tampak berpikir. “Ng... Dia sejak pulang terus di kamar, mungkin masih lelah. Tante sih tidak keberatan kamu temui dia, asal Amira mau.” Jawab Lastri dengan jujur. Fandy tampak mengerti, namun tak dipungkiri bahwa hatinya sedikit kecewa. Jika Amira sungguh tak mau menemuinya, ia tak bisa tenang sekalipun tahu gadis itu sudah kembali ke rumah. Rasa bersalah ini, harus segera diluruskan agar persahabatan mereka tidak terasa canggung. *** “Bolehkah saya mencoba memanggil Amira, tante?” Pinta Fandy dengan sopan. Lastri mengangguk setuju, “Terus terang saja, tante justru senang kamu perhatian pada Amira. Siapa tahu dia nyaman bicara sama kamu. Makasih ya nak Fandy, kamu masih punya kepedulian sama anak tante.” Fandy tersenyum tipis lalu mengangguk, “Sama-sama tante, dan maafkan saya yang hari ini terlambat menolong Amira. Jika saja saya datang lebih awal....” Sesal Fandy lalu menundukkan wajahnya. “Jangan menyalahkan diri sendiri, kami tidak menyalahkanmu nak. Justru sangat berterima kasih, di antara teman-temannya yang tega membully, ternyata masih ada kamu yang mengerti kesulitan Amira.” Ucap Lastri tulus. Lastri mengantarkan Fandy sampai di depan pintu kamar Amira, bahkan Lastrilah yang mengetukkan pintu kamar gadis itu. Fandy agak gugup, namun Lastri mengisyaratkannya agar bersuara. Ia mengangguk pelan sebagai respon pada wanita itu. “Amira... Mira... ini aku, Fandy... Boleh ketemu bentar nggak?” Lirih Fandy di depan pintu, di sela ketukan pintu yang intens dilakukan Lastri. Di dalam kamar, Amira terkesiap saat mendengar suara Fandy. Baru beberapa menit yang lalu, ayahnya meninggalkannya, bahkan Amira belum sempat beranjak mandi, tetapi sudah ada tamu susulan. Kali ini justru tamu tak terduga, ia tak menyangka Fandy yang selama ini hanya bertemu dengannya di sekolah, ternyata berani datang demi menemuinya. Amira agak gugup, ia bingung harus bersikap apa. Haruskah ia terima kedatangan Fandy? Tetapi ini kamarnya, tidak pernah ada orang luar yang masuk. Jika disuruh menemuinya di ruang lain, Amira masih belum punya mood untuk melangkah keluar dari kamarnya. “Amira... Kamu tidur ya? Aku cuman mau lihat kamu sebentar, aku nggak bisa tenang sebelum mastiin kondisimu. Plis... Bukain pintunya dong.” Rengek Fandy, ia benar-benar tidak gentar membujuk hati Amira. Amira gelagapan dalam kamarnya, ambisi besar untuk balas dendam pada teman-teman kelasnya ternyata sempat membuatnya melupakan sosok Fandy. Masih tersisa satu orang baik yang Tuhan pilihkan untuknya, orang yang sejak awal bersikap baik dan hampir selalu ada di sampingnya saat di sekolah. Orang yang berani mengambil resiko menjadi bahan ejekan lantaran bersedia dekat dengannya, tetapi sekarang Amira justru dibuat bingung dengan kebaikan Fandy. Ketukan pintu yang kembali terdengar, membuyarkan pikiran Amira. Ia harus segera memberikan keputusan, dan tampaknya ia sudah tahu apa yang harus ia perbuat. Amira meraih bedak pemberian Mbah Wanti lalu terburu-buru mengusapkan di wajahnya. Bedak itu tak akan menunjukkan keistimewaannya seperti kata si Mbah, sebelum ada yang mengejeknya. Dan Amira perlu mengetes hati pria itu, setelah ia melihat luka di jidat Amira, apa mungkin Fandy akan berubah pikiran lalu mengejeknya? “Amira... Buka....” Belum selesai Fandy bicara, tiba-tiba pintu sudah dibuka dari dalam. Senyum Fandy spontan melebar saat mendapatkan respon positif itu. “Tante tinggal dulu ya, masuk saja ngobrol di dalam.” Ujar Lastri begitu melihat putrinya berdiri menatap mereka dalam diam. Ia segera pergi dari hadapan Amira, memberi sedikit ruang untuk dua anak muda itu. Mungkin hanya anak muda yang bisa memahami perasaan sebayanya. Fandy terkesiap saat melihat luka di jidat Amira, hanya saja ia berhasil menahan diri untuk tidak berkomentar, apalagi bertanya tentang luka itu. Lebih baik menunggu situasi yang tepat agar gadis itu tidak menolaknya. “Masuklah.” Ujar Amira melebarkan pintu kamarnya. Setelah Fandy masuk, ia kembali menutup pintunya namun tidak rapat. Bagaimanapun Amira tetap merasa sungkan dan malu karena seorang pria baru saja masuk dan melihat isi ruang pribadinya. “Ng, kamu bisa duduk di mana aja, senyaman lu.” Lanjut Amira dengan kikuk setelah melihat Fandy yang berdiri canggung juga, entah harus berbuat apa. Fandy langsung menarik kursi di samping meja belajar lalu duduk di sana, sementara Amira menjaga jarak dengan duduk di atas kasurnya. Mereka saling diam beberapa saat, ada banyak pertanyaan di benak Fandy tetapi ia malah bingung harus mulai bertanya dari mana. “Ng... Aku minta maaf sama lu, Aku... Harusnya aku lebih awal datang tadi. Nggak nyangka kalau lu bakal ngalamin insiden ini.” Lirih Fandy meskipun dengan terbata-bata. Amira tak memberikan respon, tatapannya malah fokus menatap sprei kasurnya yang bercorak hello kitty. Dalam benaknya berpikir, apa ia perlu menyalahkan Fandy atas apa yang menimpa dirinya? Emosi Amira sebenarnya terpancing saat melihat Aldo ikut-ikutan menghinanya. Itu saja, jadi ada atau tanpa Fandy saat itu, Amira tetap akan panas hati gara-gara Aldo. “Nggak perlu minta maaflah, bukan salahmu juga kok. Lagian, bukan kewajibanmu juga buat selalu lindungi gue. Jadi... Jangan merasa bersalah ya.” Jawab Amira lirih. Jawaban yang terlontar itu sebenarnya tak salah, tetapi terasa salah dan menyakitkan di hati Fandy. Terlebih kata ‘kewajiban’ melindungi Amira itu disebutkan, hati kecil Fandy merasa perih, ia sakit karena kata-kata itu. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN