Sesuai rencana yang telah disusun oleh Dyah. Hari ini, Edwin akan mengajak Ayunda berlibur ke daerah pegunungan. Mereka akan memesan paviliun untuk acara liburan mereka.
"Sudah siap, Sayang?" tanya Edwin yang sudah rapi hanya dengan memakai kaos oblong ditutup kemeja pendek tanpa dikancing dipadukan dengan celana pendek berwarna putih.
"Sudah Mas. Kita mau berangkat sekarang kan?" tanya Ayu lagi sambil menggapai lengan Edwin lalu berdiri tepat disamping Edwin.
"Kita nunggu Al selesai mencuci mobil dulu. Kita nunggu dibawah saja," titah Edwin dengan nada lembut yang membuat Ayu selalu berbunga -bunga. Ayu mengangguk dan ikut berjalan menuju ke lantai bawah.
Kata orang, cinta pertama itu tidak dapat dilupakan. Memang benar, tidak ada yang bisa menandingi rasa cinta dari cinta pertama.
Apalagi, Edwin adalah ssok suami yang begitu sempurna. Tidak satupun ada cacat di dalam diri Edwin.
"Mas ... Ayu sering kesepian. Kita harusnya lebih fokus dengan program memiliki anak. Ayu sudah beli s**u ini dan itu dari berbagai merek. Tetep saja zonk. Padahal sejak menikah, Ayu tidak pernah memakai KB," jelas Ayu merasa aneh.
"Sabar ya, Sayang. Suatu hari kita pasti punya anak kok," jawab Edwin begitu datar.
Edwin selalu nampak tenang dan santai. Langkahnya pasti dan penuh semangat.
"Tuan ... Ada Nona Dyah, sekertaris tuan. Katanya, mau ada hal yang dibicarakan soal kontrak kerja sama," ucap pelayan yang memang ingin memberitahu Edwin.
Ayu melirik ke arah Edwin yang raut wajahnya biasa saja dan datar.
"Memang Mas Edwin gak bilang kalau kita mau liburan? Kenapa harus diganggu dengan pekerjaan sih?" tanya Ayu dengan nada tak suka.
"Sayang ... Pekerjaan itu lebih penting bagi Mas. Karena dengan bekera, Mas bisa mendapatkan semuanya. Kita tetap liburan, walaupun harus tetap mengurus pekerjaan kan?" ucap Edwin mulai memancing Ayu.
"Maksud Mas Edwin? Dyah bakal ikut kita gitu?" tanya Ayu dengan cepat.
"Gak masalah kan? Dia dan Al bisa kita pesankan paviliun lain," jelas Edwin dengan nada membujuk.
"Oke. Gimana Mas aja," jawab Ayu singkat.
"Istri pintar," puji Edwin lagi.
Ayu masih mengalungkan tangannya dilengan Edwin yang terus berjalan ke arah depan.
Dyah sedang dudk sambill menikmati teh manis buatan pelayan. Pakaiannya begitu seksi dan menampakkan beberapa lekukan tubuhnya. Padahal, dulu sewaktu mendaftar menjadi seorang sekertaris, Dyah masih lugu dan bahkan bis adibilang pakainnay sangat kampungan sekali.
"Dyah? Ada apa?" sapa Edwin yang baru masuk ke ruang tamu. Dyah menatap lekat ke arah Edwin dan berakhir pada tangan Ayu yang terus merangkul mesra lengan Edwin.
Raut wajah Dyah yang tadi berbinar pun langsung terlihat sinis.
Edwin yang sadar akan perubahan sikap Dyah pun langsung menurunkan tangan Ayu agar tidak terus menerus menggandengnya.
"Kenapa sih? Pakai diturunkan segala?" bisik Ayu bingung sambil menatap Edwin yang terus menatap Dyah tanpa berkedip.
"Malu ada Dyah," jawabnya lirih sekali. Suaranya datar dan terdengar dingin.
Satu tahun terakhir ini, Edwin memang agak aneh. Aksinya di atas ranjang tak sehangat dulu. Sekarang Edwin tak membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan benihnya dengan alasan tubuhnya sudah lelah. Malahan terkadang tidak sampai mengeluarkan benih sudah kembali berbaring karena semangatanya hilang. Kok bisa? Bukankah laki-laki itu mudah terpacu adrenalinnya. Apalagi Ayu selalu pintar menggoda Edwin.
Edwin duduk di sofa yang berbeda dengan Dyah. Namun, keduanya terlihat sangat akrab dan dari manik mata mereka menyalurkan rasa cinta yang begitu besar.
Ayu ikut duduk di sofa yang berbeda dan menatap keduanya dengan perasaan campur aduk.
***
Edwin sudah membagi paviliun. Paviliun ditengah untuk dirinya dan Ayu. Lalu di sebelah kanan, Edwin pesan khusus untuk Dyah dan Al hanya dipesankan kamar hotel yang tak jauh dari paviliun mereka.
"Mas ... Kenapa Al gak satu paviliun aja sama Dyah? Kan Dyah lajang, Al juga lajang. Al bis atidur di sofa, sedangkan Dyah di kamar," tanya Ayu lembut membuat Edwin tertawa kecil.
"Mereka kan bukan muhrimnya, Sayang. Nanti kalau terjadi sesuatu, gimana? Kita juga yang repot," jawab Edwin santai sambil melepas pakaiannya dan beringsut naik ke atas ranjang.
Ayu juga melepas piyama berbahan satin dan menampakkan bagian tubuhnya yang mulus tanpa cacat. Edwin sempat berdecak kagum dan meraih tubuh istrinya yang sengaja menjtuhkan diri ke atas Edwin.
Ayu terlihat senang dan sangat bahagia. Akhirnya mereka memiliki waktu untuk bersama. Edwin menatap Ayu yang cantik dan begitu sempurna.
Edwin tak pernah menyadari kalau tindakan yang ia lakukan bersama Dyah itu adalah kesalahan fatal.
Ayu mulai nakal mencium bibir Edwin terlebih dahulu. Edwin terpancing dengan sikap mesra nan manis dari sang istri. Cukup lama, pemasanan keduanya. Namun, Ayu melihat ada kejanggalan.
"Mas ... Kenapa sih? Gak pernah mau berdiri kalua lagi sama Ayu," cicit Ayu kesal sendiri.
Beribu cara Ayu lakukan untuk mmebangkitkan gairah Edwin yang sepertinya hampa saat bersama Ayu. Berbeda jika, Edwin sedang bersama Dyah. Kepemilikannya bisa berdiri dengan cepat dan nafsunya begitu liar. Bahkan, Edwin kuat berjam -jam untuk olah raga di atas kasur bersama Dyah. Rasa lelah dan capek itu hilang dengan sendirinya.
Edwin menghembuskan napasnya dengan pelan. Lalu meraih kepala Ayu dan dikecup lembut kening istrinya itu.
"Maaf ya, Sayang. Mungkin Mas edang banyak pikiran," jelas Edwin merasa bersalah.
"Kayak begini tuh, gak sekali dua kali, Mas. Bahkan berkali-kali setiap kita ingin bercinta," sesal Ayu dengan raut wajah kecewa.
Tubuh Ayu yang polos tanpa pakaian pun sengaja berbaring di atas kasur yang luas itu. Edwin melirik ke arah Ayu yang tak memiliki hasrat sedikit pun. Nafsunya benar-benar mati terhadap istrinya sendiri.
"Gimana mau punya anak? Kalau begini terus," ucap Ayu meluapkan rasa kecewa yang begitu besar terhadap Edwin.
"Sayang ... Mas harus gimana?" tanya Edwin lembut sambil mengusap rambut Ayu.
"Mas coba minum suplemen atau jamu kuat. Mumpung kita sedang liburan, Mas," pinta Ayu manja.
"Iya udah. Nanti kita cari. Kalau gitu, Mas mau kerja dulu," ucap Edwin pada Ayu.
"Kerja dulu? Mas mau keja dimana?" tanya Ayu setengah menegakan tubuhnya dna menatap Edwin yang sdah memakai kembali pakaiannya.
"Diruang depan, Sayang. Kamu mau minuman?" tanya Edwin lagi.
"Boleh," jawab Ayu singkat dan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Ayu memejamkan kedua matanya dan meneawang jauh menepis pikiran buruk di dalam kepalanya.
Edwin bergegas ke arah dapur membuatkan minuman untuk Ayu.
"Mas ..." panggil Dyah yang ternyata juga ada di dalam paviliun miliknya.
"Dyah! Ngapain kamu kesini?" tanya Edwin dengan raut wajah cemas. Takut saja, kalau Ayu melihat keduanya ada didapur yang sama.
"Aku kangen tahu. AKku gak suka lihat Mas berduaan sama Mbak Ayu," cicit Dyah begitu manja dan langsung merangkul Edwin tanpa rasa berdosa.
"Sayang ... Lepas dulu. Nanti kita kangen-kangenannya. Kita bisa puas menikmati malam ini. Mas mau urus Ayu dulu," titah Edwin yang langsung menurunkan tangan Dyah dari bahunya.
"Ini udah aku buatkan minuman untuk Mas Edwin dan Mbak Ayu. Mas Edwin minum dulu, nnati baru antar ke Mbak Ayu. Ini cuma obat tidur kok. Biar gak ada yang ganggu kita," jelas Dyah dengan senyum penuh arti.
Edwin mengangguk dan langsung meneguk minuman yang dibuat oleh Dyah lalu mengantarkan minuman jeruk untuk Ayu, istrinya.