Latihan Perdana

1210 Kata
Selamat membaca! Alan masih menggenggam ponsel milik Andrew sambil terus melangkah mencari sosok Diana di sekitarnya. "Kenapa dia bisa secepat itu pergi? Apa jangan-jangan wanita itu mengetahui keberadaanku?" Tak ingin kehilangan jejak Diana, pria itu semakin mempercepat langkah kakinya hingga saat berbelok, secara tidak sengaja ia bertabrakan dengan Laura hingga membuat ponsel yang ada dalam genggamannya terlepas bersamaan dengan tubuh Laura yang hampir saja ikut jatuh ke lantai. Beruntung sebelum hal itu terjadi, Alan berhasil meraih tangan Laura. Keduanya pun saling menatap dalam, di mana sebelah tangan Alan melingkar pada pinggang Laura dan sebelah tangan lainnya menggenggam erat lengan kiri wanita itu. "Alan," ucap Laura hanya di dalam hati. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Alan yang seketika menyadarkan keterkagumannya akan sosok Alan dalam tubuh Andrew, kekasihnya. Laura pun tersadar. Ia seketika membenarkan posisi berdirinya sambil melepas tangan Alan dengan raut wajahnya yang mulai merona. "Iya aku baik-baik saja. Maaf Alan, aku tidak melihatmu tadi." "Ini bukan salahmu, tapi salahku. Maaf karena tadi aku terburu-buru." Alan pun mulai meraih ponsel milik Andrew yang terjatuh di lantai. "Memangnya kamu mau ke mana? Kok sampai terburu-buru seperti ini." Laura kembali bertanya. Membuat Alan seketika berpikir sebelum menjawabnya. "Sebaiknya aku rahasiakan hal ini dari Laura dulu. Setidaknya sampai aku mendapatkan bukti yang benar-benar bisa aku tunjukkan padanya. Aku hanya takut jika Laura tidak percaya dengan apa yang aku katakan," batin Alan memutuskan setelah sempat bimbang dengan pilihannya. "Hai, Alan. Kenapa kamu diam?" tanya Laura mengulanginya lagi. "Iya, aku itu mau ke taman belakang rumahmu. Aku ingin mulai latihan." "Latihan apa? Apa kondisimu sudah membaik?" tanya Laura menanggapi apa yang Alan sampaikan. "Aku sudah jauh lebih baik." "Benarkah begitu?" "Seperti yang kamu lihat, aku sudah lebih baik. Ya sudah, sekarang aku mau ke taman dulu." Alan pun mulai melangkah melewati tubuh Laura yang hanya mematung sambil terus menatap kepergian pria itu dengan tersenyum. Senyum yang mulai mengembang di saat Laura kembali mengingat momen yang baru saja terjadi. Momen di mana ia hampir saja jatuh dan Alan berhasil meraih tangannya hingga membuat wajah mereka menjadi begitu dekat. "Kenapa aku hanya diam di sini? Aku kan ingin menemui Alan untuk membicarakan rencananya ke London?" Laura pun mulai menyusul langkah Alan yang sudah jauh meninggalkannya. Di saat keduanya pergi, sosok Diana pun keluar dari sebuah ruangan yang ada di dekat sana. "Kenapa Laura memanggil Andrew dengan nama Alan? Kenapa bukan Andrew? Terus apa yang maksud Laura tentang rencana ke London itu? Aku harus mencari tahu apa sebenarnya mereka rencanakan." Diana pun mulai melangkah. Tujuannya adalah ke taman belakang agar ia dapat mendengar pembicaraan antara Andrew dan Laura di taman belakang. *** Suasana pagi kala itu tampak begitu cerah. Suara kicau burung pun terdengar saling bersahutan. Menambah kesan asri yang membuat udara pagi kian terasa sejuk. "3 hari hanya di dalam kamar, benar-benar menjemukan," keluh Alan sambil melakukan gerakan ringan untuk mulai berlatih sesaat setelah tiba di taman yang berada di belakang kediaman Laura. Sebuah taman luas dengan suara riuk air dari sebuah kolam ikan yang terdapat di sudut kanan taman. Baru saja Alan memulai latihannya, Laura terlihat datang dengan membawa sebuah nampan yang berisikan sarapan pagi. Ya, sebelum memutuskan untuk ke taman, Laura ternyata lebih dulu ke dapur dan meminta kepada salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya untuk membuat sarapan pagi yang akan dibawanya ke taman. "Alan, sebaiknya kamu sarapan dulu sebelum mulai berlatih!" titah Laura sambil meletakkan nampan yang berisikan makanan itu di atas meja yang berada dekat dengan kolam ikan. Sebuah meja yang terdapat 4 buah kursi di sekelilingnya. "Padahal aku baru saja akan memulai latihanku, tapi perut ini sepertinya tidak bisa menahan lapar saat melihat makanan yang kamu bawa itu." Alan pun menghampiri Laura dan menarik satu kursi untuk didudukinya. "Yang benar itu kamu makan dulu baru latihan. Bagaimana bisa kamu latihan sedangkan perutmu itu kosong." "Baiklah, kamu memang benar. Oh ya, ngomong-ngomong tadi di atas kamu sebenarnya ingin ke kamarku ya?" tanya Alan baru teringat untuk menanyakan hal tersebut. "Iya, aku memang ingin menemuimu. Lagipula tempat yang aku tuju itu kan hanya ada dua kamar tamu. Jadi tidak mungkin aku akan menemui orang lain." "Mungkin saja kau ingin menemui Diana. Soalnya tadi itu aku melihatnya sedang menghubungi seseorang di kamar tamu yang kosong itu." Laura mulai berpikir dengan kedua alisnya yang saling bertaut dalam. "Sedang apa dia di sana? Kenapa dia harus menelepon di kamar tamu?" Laura terlihat heran. "Mungkin karena dia tidak mau jika ayahmu sampai mendengar pembicaraannya. Bukankah ini hari Minggu, ayahmu pasti belum bangun karena libur bekerja hari ini." "Iya kamu benar sekali, Alan. Sepertinya aku harus menanyakan hal ini pada Diana, tapi sudahlah! Sekarang yang penting kita makan dulu nanti keburu adem makanannya." Alan pun sepakat dengan perkataan Laura. Kini mereka mulai menyantap makanan yang ada di atas meja. "Oh ya, Alan. Kira-kira kapan rencanamu pergi ke London? Tidak dalam satu Minggu ini, kan?" tanya Laura. "Sepertinya tidak. Soalnya, aku harus melatih tubuh ini dulu agar terbiasa dengan pertarungan. Belum lagi, aku juga harus latihan menembak," jawab Alan sambil melahap sepotong roti sandwich yang sejak tadi sudah tampak menggugah seleranya. "Baguslah, tapi sepertinya kamu juga harus mulai masuk kampus besok!" Perkataan Laura seketika membuat Alan tersedak hingga pria itu pun langsung meraih segelas air putih dan langsung meminumnya. "Kenapa aku harus ke kampus? Aku itu kan harus latihan Laura. Apa kamu tahu siapa yang akan aku hadapi nanti? Aku itu akan menghadapi orang-orang yang sudah membunuhku. Membunuh seorang Alan Walker, salah satu agen MI6 terbaik di kota London." Terdengar penuh penekanan, Alan mengatakan itu dengan sorot matanya yang menajam. Selesai mengatakan hal itu, tiba-tiba terdengar bunyi pecahan dari dalam rumah. Membuat Alan dan Laura seketika saling menatap penuh tanya, lalu melihat ke arah ke arah sumber suara sambil beranjak dari posisi duduk mereka dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Di saat keduanya sudah berada di dalam rumah, Alan mendapati sebuah vase bunga yang ada di sisi kirinya tampak berantakan. "Apa ada orang ya tadi di sini? Apa jangan-jangan orang itu mendengar apa yang aku katakan?" tanya Alan pada Laura yang juga masih memperhatikan pecahan vase di lantai sambil melihat sekitarnya yang tak menunjukkan ada orang lain selain mereka berdua di sana. "Tapi sepertinya tidak ada siapa-siapa, Alan. Apa mungkin hanya angin saja ya?" "Angin yang bagaimana sampai bisa menggerakkan vase bunga yang ukurannya lumayan besar ini. Kamu tahu sendiri dari tadi tidak angin sama sekali." Laura pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Mengusir apa yang baru saja dikatakannya dan terdengar sangat bodoh menurutnya. "Iya, ya. Kamu benar. Tapi, kira-kira siapa yang tadi mendengar pembicaraan kita?" Alan mengedikkan bahunya, tanda bahwa ia tidak tahu. "Kalau aku tahu, pasti aku tidak bertanya sama kamu, Laura." Lagi dan lagi, Laura jadi salah tingkah dibuatnya. "Kenapa sih aku selalu salah bicara sama kamu, Alan?" gerutu Laura sambil menatap wajah Andrew dengan rasa malu. Namun, Alan tak menanggapinya. Pria itu kini masih sibuk melihat sekeliling ruangan hingga pandangan matanya mulai terhenti di satu titik di mana sosok Diana terlihat baru aja selesai menaiki anak tangga dan sudah berada di lantai 2. "Apa jangan-jangan Diana sudah mendengar semua yang aku katakan? Tapi sepertinya itu bukan masalah yang besar, sekalipun dia sampai tahu tentang siapa aku sebenarnya," batin Alan yang tak ingin ambil pusing jika rahasianya sampai diketahui oleh Diana. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN