Selamat membaca!
Setelah tak menemukan siapa pun di ruangan itu, Alan pun kembali lebih dulu ke taman untuk menikmati sarapan paginya yang sempat tertunda. Sementara Laura, masih tak beranjak dan terus memanggil salah satu pelayan di rumahnya.
"Iya, Nona," jawab Emily seorang pelayan muda yang baru hari ini bekerja di rumah kediaman Laura karena menggantikan pelayan sebelumnya yang memutuskan untuk tak lagi bekerja karena faktor usia.
"Em, tolong bersihkan pecahan vase ini ya!"
"Baik, Nona. Saya bersihkan." Emily pun mulai berlutut dan mengumpulkan puing-puing pecahan vase dengan hati-hati agar tak melukai jemarinya.
"Oh ya, apa kamu tahu siapa yang menyenggol vase ini, Em?" tanya Laura.
"Waduh, kata Nyonya Diana tadi aku tidak boleh memberitahu Nona Laura. Jadi sebaiknya apa aku berbohong saja ya," gumam Emily yang merasa tak nyaman jika harus mengatakan yang tak sesuai dengan kenyataan.
"Em, bagaimana? Apa kamu tahu sesuatu?" tanya Laura kembali, saat tak mendapati jawaban dari Emily yang malah hanya diam mematung.
"Saya tidak lihat, Nona. Maaf ya, Nona. Tadi tiba-tiba saya teringat dengan film drakor yang semalam saya tonton. Ceritanya sedih, Nona." Emliy coba mengalihkan pembicaraan, walau awalnya sangat gugup karena ini pertama kalinya wanita itu sampai berkata bohong untuk menuruti perintah Diana.
"Ya sudah kalau begitu, tolong dibersihkan saja ya!" titah Laura yang mulai melangkah kembali ke taman. Meninggalkan Emily dalam perasaan bersalah.
"Aduh, baru saja bekerja di rumah ini sudah harus bohong. Lagian juga kenapa sih Nyonya Diana enggak mau mengakui kalau dia sudah memecahkan vase bunga ini. Apa dia tidak mau ketahuan sudah menguping pembicaraan Nona Laura dan pacarnya? Tahulah, dasar orang kaya! Tingkahnya aneh-aneh," gerutu Emily dalam hatinya sambil terus memunguti semua pecahan vase yang berserakan di lantai.
***
Sekembalinya ke taman, Laura langsung menempati kursi yang semula didudukinya.
"Sepertinya Diana sudah mendengar semua pembicaraan kita tadi," ucap Alan.
Jika sebelumnya Alan tersedak makanan yang sedang dikunyahnya, kali ini giliran Laura yang sampai tersedak salivanya sendiri karena begitu kaget mendengar perkataan Alan. "Kamu jangan bercanda, Alan. Terus bagaimana kalau dia sampai bilang ke Daddy?" Laura pun mulai menampilkan raut cemas di wajahnya.
"Apa yang mesti kamu takutkan? Bilang saja kita itu sedang akting karena persiapan untuk pentas seni di kampus. Pasti Tuan Jeff juga tidak akan percaya dengan cerita Diana yang tidak masuk akal itu. Lagipula jaman sekarang ini, mana ada orang yang percaya tentang reinkarnasi, kehidupan kembali, dan sebagainya. Aku sendiri saja benar-benar ragu, tapi ternyata ini aku alami sendiri. Sesuatu yang konyol dan sulit dipercaya, tapi ternyata terjadi padaku," ungkap Alan dengan santai sambil melahap sandwich yang masih tersisa di atas piring.
Sejenak Laura berpikir. Raut cemasnya sekita hilang. Berubah lebih tenang dari sebelumnya. "Ya, apa yang kamu katakan itu ada benar juga dan ide untuk berbohong soal pentas seni adalah hal yang sangat pintar. Apa di kehidupanmu yang lalu kamu sering berbohong seperti ini?"
Perkataan itu terdengar sangat menggelitik hingga membuat Alan terkekeh. "Tidaklah. Aku itu pria jujur yang sangat mencintai istri dan anakku. Jadi aku sama sekali tidak pernah berbohong!"
"Aku tidak yakin kamu seperti itu." Sambil bersedekap Laura menampilkan raut penuh keraguan.
"Terserah saja. Kamu mau percaya syukur, kalau tidak percaya pun bukan masalah. Sekarang aku mau lanjut latihan dulu. Oh ya, besok sepulang dari kampus tolong temani aku untuk latihan menembak ya! Kamu pasti tahu kan, tempat latihan menembak di kota ini di mana?" pinta Alan diakhiri sebuah pertanyaan.
"Iya, besok aku akan menemanimu. Kebetulan tempat menembak tidak terlalu jauh dari kampus," jawab Laura mengiyakan permintaan Alan.
Alan terlihat menanggak secangkir air sebelum beranjak pergi untuk kembali berlatih. Meninggalkan Laura yang hanya menatapnya sambil merasakan sebuah getaran aneh dalam hatinya..
"Sudah begitu banyak hal yang aku lewati bersamanya. Apa aku tidak akan menangis saat pria itu benar-benar pergi dari tubuh Andrew?" batin Laura bertanya pada dirinya sendiri.
Di saat Laura masih terus bicara dalam hatinya, Alan terlihat mulai serius melatih tubuh Andrew agar terbiasa dalam menghadapi sebuah pertarungan. Beberapa gerakan mulai Alan peragakan. Pukul kiri dan kanan, lalu tendang kiri juga kanan, menjadi gerakan dasar yang coba dilakukan Alan untuk pertama kalinya. Setelah beberapa menit melakukan gerakan dasar memukul dan menendang berulang kali, Alan kini mulai berpikir untuk melatih Laura agar dapat menjaga dirinya di saat ada yang mengancam.
"Laura, bagaimana jika aku mengajarimu untuk menjaga diri?" tanya Alan dengan suara terdengar keras agar Laura dapat mendengarnya. Maklum saja, kini posisi Alan sudah bergeser lebih jauh dari tempatnya semula, saat mengawali latihan.
"Aku?" Laura tampak bingung. Antara ragu dan ingin, saling sikut dalam dirinya sebelum menjawab pertanyaan Alan.
"Iya kamu, sudah sini! Latihan ini pasti sangat berguna untukmu," tukas Alan meyakinkan Laura.
Merasa apa yang dikatakan oleh Alan ada benarnya, Laura pun mulai beranjak dari posisi duduknya.
"Apa itu sulit?" tanya Laura sambil terus melangkah menghampiri Alan.
"Tidak sulit. Aku akan mengajarimu beberapa gerakan simpel dan tidak sulit untuk kamu tiru."
"Baiklah. Kita mulai dari mana?" tanya Laura kembali. "Tapi benar ya jangan terlalu sulit," imbuhnya merasa ragu apa bisa mengikuti gerakan Alan atau tidak.
"Tenang saja, Nona Laura. Ini pasti mudah untuk kamu lakukan. Oke, sekarang untuk gerakan pertama adalah menendang. Kalau aku kan bisa menendang setinggi ini, kamu tidak perlu setinggi ini. Cukup sebatas ini saja, tapi kamu harus mengincar area sensitif lawan bertarungmu."
"Apa area sensitif?!" Laura tampak terkejut mendengarnya. "Bisa tidak skip gerakan ini, apa tidak ada gerakan lain?" imbuhnya menolak untuk melakukan gerakan yang baru saja Alan tunjukkan.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau yang itu. Kita lanjut pada gerakan lain." Alan pun mulai merapatkan jarak pada Laura yang masih terus memperhatikan apa yang ingin dilakukan Alan. Membuat wanita itu merasa mulai gugup dengan detak jantung yang semakin cepat.
"Maaf ya Laura jika aku harus menyentuhmu. Jadi di saat ada pria yang ingin menangkapmu dari belakang, pasti tanganmu akan terus coba melepaskan tangan pria itu. Nah, lihat gerakan ini! Majukan kepalamu, lalu hentakkan dengan sangat keras ke belakang. Harus sekuat tenaga agar ketika kepalamu membentur rahangnya, pria itu akan melepaskan tangannya karena kesakitan. Apa kamu mengerti?" Alan memberi penjelasan sambil menjadikan dirinya seolah-olah sebagai pria yang akan Laura serang.
Mendengar penjelasan Alan, Laura masih bergeming dalam lamunannya. Merasakan debar jantungnya yang sejak tadi mulai tak seirama. Terlebih sejak Alan mulai mendekap tubuhnya dari belakang, kala itu perasaannya semakin tak karuan hingga membuat keringat dingin mulai melembabkan telapak tangannya.
"Ya Tuhan, perasaan apa ini? Perasaan yang berbeda ketika Alan menyentuhku. Apa mungkin karena aku tahu jika pria ini bukanlah Andrew? Makanya, saat dia menyentuhku rasanya jadi sangat berbeda sekali, walau sebenarnya tangan ini adalah tangan yang sama yang memang sering menyentuhku," batin Laura dalam lamunannya. Antara bimbang dan ragu, menyatu bersama rasa nyaman yang ternyata mampu menggetarkan hatinya.
Bersambung✍️