Di dalam kelas Ye Shao, seorang dewi cantik menunggu dengan gelisah, kakinya tidak dapat berhenti menghentak lantai, matanya pun terus melirik pada jam. “Kenapa Ye Shao lama sekali? Biasanya juga dia datang lebih awal. Lalu..., kenapa perempuan itu tidak ada disini?” kata Xia Ning Chan dalam hatinya melihat kedua bangku di belakangnya.
“Aku melihat Ye Shao dan Dewi Meng keluar dari mobil yang sama. Jadi mereka berangkat sekolah bersama, ya. Apa mereka sudah pacaran? Aku juga melihat Kakek Dewi Meng tidak keberatan dengan itu,” kata seorang teman sekelas yang baru masuk ke dalam.
“Iya, perlakukan Kakek itu terhadap Ye Shao terlalu ramah. Bisa jadi dia memang pria yang di siapkan untuk cucunya. Ah..., beruntungnya Ye Shao,” balas teman yang datang bersama dengan orang yang barusan.
Telinga Xia Ning Chan langsung panas mendengar hal itu, begitu Ye Shao dan Meng Bing Bing masuk ke kelas, gadis itu telah menyiapkan celotehnya.
“Murid baru, kau rupanya melanggar ketentuan dari pertaruhan kita, ya! Beraninya kau, kelihatannya aku terlalu lunak sampai harus bersikap jujur dan adil, tapi kau malah memanfaatkan itu dariku,” Xia Ning Chan berjalan mendekat menghampiri keduanya.
Kemudian dengan sangat cepat Xia Ning Chan raih tangan Ye Shao dan menariknya ke samping dirinya.
“Sudah ku duga ini akan terjadi,” ucap Ye Shao dalam hati, dirinya sudah begitu pasrah sejak masuk ke dalam kelas. Ye Shao melihat jam tangannya, “Sepertinya masih ada waktu untuk mendengar perseteruan mereka. Menyebalkan,” pikir Chen.
“Ketua Xia, ini bukan seperti yang kau pikirkan. Kami tidak berangkat sekolah bersama, kami hanya kebetulan bertemu di jalan. Mungkin itu takdir,” dengan sebelah bibir terangkat, Meng Bing Bing yang terlihat sombong mengatakannya.
“Hah??!” dengan nada sedikit tinggi Dewi Xia membalasnya. Orang-orang di kelas pun dapat melihat percikan listrik yang di hasilkan dari ajang saling tatap itu.
“Pertarungan antara dua Dewi akan di mulai,” ucap salah seorang teman sekelas.
“Dan itu demi merebutkan seorang kasim,” imbuh lainnya menyinggung Ye Shao.
“Aku melihatnya di jalan, kemudian aku mengajaknya naik ke mobilku, bukankah aku teman sekelas yang baik? Aku tidak meninggalkan temanku yang lain dan membiarkannya telat,” kata Dewi Meng.
“Telat? Selama tiga tahun aku mengenalnya, Ye Shao bukanlah orang yang suka telat, aku bahkan membaca catatan absensinya, dia tidak pernah mendapat keterangan telat sekalipun,” balas Dewi Xia.
Ye Shao menepuk dahinya sendiri sambil menggeleng kecil, “Dia tidak sadar kalau yang barusan ia katakan itu sesuatu yang cukup memalukan.”
“Dewi Xia diam-diam memperhatikan Ye Shao sejak lama?”
“Tidak, dia terdengar seperti diam-diam menguntitku,” jawab Ye Shao dalam hatinya.
“Ye Shao itu jalan kaki, aku membawanya masuk ke dalam mobilku supaya kita bisa berangkat lebih cepat.”
“Omong kosong, larinya bahkan lebih cepat dari Bus Sekolah,” sahut Xia Ning Chan.
Semua orang di kelas mengangguk, karena mereka juga tau Ye Shao itu seperti apa.
“Mengesampingkan soal dirinya yang tidak pandai dalam bidang akademis, Ye Shao ini memiliki bakat atletis selevel monster.”
“Kau benar, ingat kejadian Guru Shun itu tidak? Waktu Ye Shao menarik peluit Pak Guru, dia membuat lehernya memar karena tali peluit yang putus, setelah itu Guru Shun pun mengejarnya keliling sekolah.”
“Iya ya, sesuatu seperti itu pernah terjadi. Bahkan Guru Shun yang seorang Atlet sprint tingkat nasional tidak dapat mengejar Ye Shao. Saat guru Shun kehabisan nafas juga Ye Shao hanya menertawakannya.”
“Eh? Sesuatu seperti itu pernah terjadi?” pikir orang yang di bicarakan.
“Ingat juga kejadian di Game Center itu tidak?”
“Mana mungkin bisa lupa, skornya bahkan tidak pernah berganti sejak tahun lalu. Ye Shao melawan mesin pukulan arcade di Game Center, bobot pukulannya 3332 point. Sepuluh pointnya setara satu kilogram, jadi sekitar 333 kg. Satu pukulan setara satu hantaman mobil.”
“Aku juga ingat saat dia berteriak Space Partial Singgle Punch!”
“Ah iya! Itu juga sulit untuk dilupakan, hahaha!”
“Terlambatkah aku menyesali kebodohanku di masa lalu? Wajar mereka tau, mereka adalah orang yang memanfaatkan uangku untuk bermain di Game Center, tapi sampai sekarang tidak satupun dari mereka yang benar-benar menjadi temanku,” si pengidap Sindrom kelas delapan itu mengatakannya dalam hati.
Bel masuk pun berbunyi, Ye Shao langsung merasa lega. Namun ketegangan antara dua gadis itu tidak juga hilang.
“Aku tak akan biarkan kau punya kesempatan lagi,” ucap Xia Ning Chan membentangi tangannya pada Ye Shao.
“Kita lihat saja setelah hari ujian tiba, kami akan memiliki waktu kencan romantis seharian,” sahut Meng Bing Bing tak mau kalah bengah dari Xia Ning Chan.
Dan hari yang di tunggu pun akhirnya tiba, kelas mereka di acak sehingga tak satupun dari Xia Ning Chan, Meng Bing Bing dan Ye Shao saling melihat satu sama lain.
“Aku akan tunjukkan kemampuanku, bahkan di ujian kali ini pun. Aku akan pastikan namaku tetap pada peringkat pertama,” tegas Xia Ning Chan dalam hati.
“Tak akan ku berikan Ye Shao padamu!” imbuh Dewi Xia.
Semua orang di dalam kelas Xia Ning Chan merasa gugup, karena hanya di Ujian Nasional mereka memiliki kesempatan untuk duduk di kelas yang sama dengan Dewi mereka.
“Ya ampun, Dewi Xia berada satu kelas dengan kita. Sungguh terberkati diri kita.”
“Kelasku tidak pernah sewangi dan sehangat ini, hanya kehadirannya yang dapat mengubah segalanya.”
Saat wajah orang-orang penuh dengan rona merah, Xia Ning Chan yang duduk di sana sama sekali tidak memperhatikan itu dari mereka. Di kelas lain pun suasananya tak jauh berbeda.
“Dewi Meng! Oh... Dia ada disini, Jadi ini yang di rasakan murid kelas 3-1 saat Dewi Meng di kelas mereka. Kecantikannya yang cerah menggetarkan hati.”
Ye Shao di kelasnya, berbeda dengan kedua dewi, pria ini sadar dengan berapa banyak mata yang mengawasinya.
“Apa-apaan ini? Kenapa di kelasku hanya ada sekumpulan siswi saja? Kemana di tempatkannya para laki-laki itu?”
“Ye Shao dari kelas 3-1 sangat tampan ya, terlebih karena sikapnya yang akhir-akhir ini mulai terlihat seperti manusia pada umumnya.”
“Oke, aku terima pujian tulus darimu, Nona. Tapi entah kenapa itu tadi terdengar menyakitkan,” sahut Ye Shao dalam hati.
“Sepertinya tidak aneh kalau dua Dewi sekolah kita mulai memperebutkannya.”
“Hei..., apakah kita punya kesempatan juga?”
Tatapan gadis-gadis di dalam Ye Shao semakin menusuk ke arahnya, terlebih dengan senyum melengkung yang cukup membuat tubuh bergidik, Ye Shao merasa seperti seekor kelinci putih di tengah kumpulan para rubah.
“Oh... Ayo selesaikan saja Ujiannya.”