Brubh-brubh!
Gedoran pintu terdengar berisik membuat Karin yang masih tidur terganggu. Dia melirik jam dan terkejut. Ternyata Karin telat bangun.
"Ughh! Sssttt ...."
Karin mendesis sakit, begitu dia hendak bangkit. Bersamaan dengan itu, ingatan Karin pada kejadian malam langsung terbayang. Mengakibatkan hatinya terasa habis dipukul keras. Karin lemas dan tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Buka pintunya, pemalas!!!" teriak seseorang yang Karin kenal suaranya.
Itu Rini, ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu paling tidak bisa melihatnya tenang walau sekejap. Mendengar itu, Karin pun terpaksa bangkit, dan berjalan terseok-seok.
Cklekk!!
"Pintunya dikunci, Tan. Aku tidak bisa membukanya dari dalam. Di sini nggak ada kunci sama sekali," jelas Karin akhirnya membuat gedoran Rini berhenti.
"Alasan saja. Kau pasti sengaja supaya bisa bermalas-malasan hari ini! Buka cepat, aku tak mau tahu. Kau harus keluar, dan segera mengerjakan semua pekerjaan rumah!!" omel Rini.
Karin segera mendesah kasar. Dia tak habis pikir dengan ibu mertuanya itu. Padahal Karin sendiri juga bingung bagaimana pintu kamarnya dalam keadaan terkunci begitu.
"Awas saja, jika kau berani untuk tidak menurut. Hari ini aku tidak akan memberimu makan wanita miskin!!" lanjut Rini mengomel keras.
Karin yakin, wajah ibu mertuanya pasti sudah merah dan otot-otot tubuhnya menegang lantaran marah-marah. Akan tetapi, Karin tidak memusingkannya. Pikirannya penuh dengan keadaannya sekarang. Wanita Adrian, rasanya hal itu sulit diterima Karin.
Tak lama berselang, ibu mertuanya yang rewel dan tempramen itu, akhirnya pergi dari sana. Namun, sekarang masalah Karin bertambah lagi. Sebuah telepon masuk dari sahabatnya yang mengingatkan Karin soal jadwal bimbingannya.
"Dosen pembimbingmu sudah datang, Rin. Kamu sudah di mana? Cepatlah, bukankah kamu bilang hari ini punya jadwal bimbingan," ujar Mila sahabatnya.
"Baiklah, Mil. Aku akan ke sana secepatnya," jawab Karin memberitahu.
Namun selesai bicara di telepon, Karin malah bolak-balik dan sangat terlihat kebingungan. Dia pusing tak tahu caranya keluar kamar. Mau turun dari balkon, Karin terlalu parno untuk melakukan aksi nekat. Akhirnya dia memberanikan diri menghubungi suaminya.
"Ternyata kamu tahu juga untuk bangun. Pukul sepuluh pagi, artinya satu jam setelah aku berangkat kerja. Apa mommy mengganggumu, menggedor kamar kita dan berteriak kencang?" tebak Adrian tepat sasaran.
Dia paling tahu bagaimana ibunya itu, dan pintu kamar memang ulahnya. Adrian sengaja menguncinya.
"Kau bisa menggunakan penutup telinga, abaikan saja mommy. Beristirahatlah di sana, aku sudah membuatmu tenang hari ini!"
"Hari ini aku punya jadwal bimbingan. Tolong buka pintunya. Aku harus kuliah," jelas Karin penuh harap.
"Istirahat! Apa kau tidak mengerti ucapanku! Tenagamu sangat penting. Jadi kau harus mengumpulkan sebanyak mungkin!" tegas Adrian.
Meski di telepon, suara pria itu terdengar kesal dan tak suka dengan penjelasan Karin. Namun, Karin juga sama kesalnya dan bahkan muak dengan suaminya itu.
"Kau sudah merampas segalanya, apa masa depanku juga ingin kau hancurkan!" bentak Karin dengan suara yang bergetar. "Aku harus bimbingan, brengs*k!! Jika kamu tidak membuka pintunya dan membiarkan aku keluar, aku bisa melompat dari balkon. Kamu tahu setelahnya, jika aku sampai mati, kamu dan keluargamu bisa mendapatkan masalah besar!!"
"Jangan nekat, dan tunggulah. Aku akan pulang sekarang juga!" jelas Adrian datar dan setelahnya telepon di matikan.
Selagi menunggu Adrian, Karin membersihkan tubuhnya dan bersiap secepatnya. Dia selesai tepat saat Adrian tiba dan membuka pintu kamar.
"Sudah siap?" tanya Adrian.
Dia sedikit tercengang menatap Karin. Tidak ada yang salah. Wanita itu berpakaian seperti sebelumnya, tapi Adrian sepertinya mengubah pandangannya pada perempuan itu, sejak statusnya menjadi wanitanya.
"Ayo, aku antar, sekalian makan siang!" ujar Adrian.
Karin langsung mengekor dibelakangnya dan mengikuti suaminya. Namun, saat di ruang tengah Rini tiba-tiba menghadangnya.
"Mau kemana kalian?" tanya Rini penasaran.
"Makan siang," jawab Adrian singkat dan seadanya.
Rini langsung cemberut, seolah tak suka dengan jawaban itu. "Karin sedang Mommy hukum, karena dia sudah melakukan kesalahan. Dia memfitnah Mommy di depan daddy-mu, dan Mommy sampai tidak makan malam."
Mendengar itu, Adrian langsung melirik istrinya dan Karin langsung menghela nafasnya kasar. Ibu mertuanya itu memang pintar sekali memutar balikkan fakta atau memfitnahnya demi keuntungan pribadi.
"Pembantu ini terlambat masak makan malam semalam, maaf Nyonya besar, saya tidak bermaksud melakukannya!" ketus Karin dengan geram, lantas berlalu dari sana dengan cepat.
"Jadi Mommy marah karena hal sepele itu?" tanya Adrian.
"Menurutmu? Kau pikir gara-gara siapa daddy-mu marah pada Mommy? Itu semua karena kesalahan istrimu yang tidak tahu diri itu!!!" geram Rini.
Perempuan paruh baya itu pun pergi setelah menyelesaikan ucapannya, membuat Adrian jadi pusing sendiri, tapi kemudian diapun menyusul Karin.
*****
"Sudah aku katakan, aku akan mengantarmu!" geram Adrian.
Ternyata di depan Karin sudah memesan ojek online untuknya dan sudah tiba. Adrian kesal, tapi tetap saja mengeluarkan uang untuk membayar sekaligus mengusir ojek online tersebut.
"Pergilah dan lain kali jika menemukan nama istriku, tolak dan jangan pernah terima!" tegas Adrian.
Dengan hal itu, pengemudi ojek online tersebut pergi dengan patuh. Mengemudikan motornya tanpa melakukan tugas.
"Apa-apaan, sih?! Kamu selalu saja semena-mena!" geram Karin protes.
Adrian tak menjawab, melainkan menarik Karin dengan paksa dan mendorongnya masuk ke mobil. Adrian mengitari mobil, kemudian masuk dari pintu lain dan duduk di kursi pengemudi.
"Pelan-pelan," nasehat Karin saat merasa kecepatan laju mobil cukup cepat.
Adrian tidak mendengarkan dan malah menambah kecepatan. Membuat Karin kesal dan membuang muka.
"Terserah, lakukan saja semaumu. Hidupku sudah hancur, tidak ada tujuan pasti, dan mati mungkin akhir yang baik untukku," ceplos Karin sembarang.
Mendengar itu, Adrian langsung mengurangi kecepatan mobilnya. Dia sadar caranya memperingatkan Karin, sepertinya tidak berguna.
*****
"Aku mau ke kampus, kenapa berhenti di sini?!" tanya Karin setengah melotot.
"Kita makan siang dulu. Sejak pagi kamu pasti belum makan," jelas Adrian. Sepertinya pria itu mulai menaruh perhatian pada istrinya sendiri.
"Aku tidak butuh, dan tidak usah sok perhatian. Perhatikan saja adikmu yang gila itu, atau nikahkan dia secepatnya dengan Brian, sebelum dia melakukan kekacauan dan menghancurkan dunia ini!" omel Karin.
Adrian menarik pergelangan tangan Karin dan menyeretnya masuk. Ternyata mereka berhenti di sebuah resto. Dia segera membawa Karin ke sebuah meja kosong dan duduk di sana.
"Aku bisa terlambat, apa kau tahu itu?!" geram Karin memperingatkan.
"Makan dulu atau lebih baik tidak usah pergi!" jawab Adrian seenaknya.
Selanjutnya Karin cuma terdiam, enggan memesan dan membuat Adrian sendiri yang memesan menu untuknya. Pria itu bahkan memaksanya makan, dan Karin dengan terpaksa mengikuti maunya.
*****