Bab 10. Berubah

1000 Kata
"Sudah berapa kali saya katakan? Perjelas latarbelakang masalahmu, sesuaikan dengan judul! Kenapa tidak paham-paham? Latarbelakangmu ini tidak sesuai dengan judulmu, apa kau tidak pikirkan apa yang saya sampaikan minggu lalu?" bentak dosen pembimbingnya, membuat Karin kalut. Dia tak berani menatapnya, lantaran beliau tampak menyeramkan. Padahal sebenarnya kalimat "minggu lalu" yang dia katakan, sama sekali tidak pernah terjadi, sebab bagaimana bisa. Karin sendiri karena menikah tidak ke kampus hampir dua minggu. Jadi sudah dipastikan kalau kalimatnya bukan pada Karin, melainkan mahasiswanya yang lain, tapi beliau lupa. "Tapi Pak, saya--" "Cukup! Jangan membuat saya bertambah emosi. Bawa skripsimu dari sini dan pelajari lebih lanjut. Cari referensi di perpustakaan atau toko buku. Saya sudah pusing melihat kamu!" ujar dosen pembimbingnya membuat Karin menghela nafasnya kasar. Hal itu pun menambah kesialan dalam hidup Karin, meski kali ini dia salah. Namun, tekanan demi tekanan membuat dirinya semakin tidak berdaya. "Nggak usah sedih, soal di bentak sama dosen. Aku juga mengalaminya, atau teman-teman kita yang lain," ujar Mila tiba-tiba menghampirinya. Gadis itu sahabatnya, mereka seperjuangan dan saling mendukung satu sama lain. "Jangankan ACC, kita malah di bentak dan skripsi dicoret-coret, tapi itu bukan masalah besar. Justru masalah ini menyadarkan kita, agar bersenang-senang sekarang juga!" ungkap Mila bersemangat. Ah, ya. Sahabatnya itu agak gila. Dia hampir tidak pernah sedih dan paling ceria. Namun, pepatah bilang, orang yang paling banyak tertawa adalah orang yang paling banyak menangis, dan Karin tahu bagaimana buruknya hidup Mila. "Ayo kita bersenang-senang. Kamu memang paling bisa memperbaiki suasana hati," ungkap Karin. "Yah, kamu benar, tapi sayang hanya hati. Harusnya aku bisa memperbaiki suasana dompet. Kasihan dia kering terus," ceplos Mila sedikit bercanda. Karin sampai tersenyum melihatnya. Namun, tiba-tiba saja Mila berhenti. "Tunggu, kaki kamu kenapa? Kok jalannya seperti itu?" Degh Karin langsung menegang, tapi kemudiaan dia memilih bercerita. Bukan untuk mendapatkan solusi, tapi untuk meringankan sedikit bebannya dengan berbicara. Mila menegang mendengar hal itu dan juga marah. Dia tak habis pikir dengan nasib sahabatnya itu sekarang. Sangat miris dan juga memprihatinkan. "Tapi kamu nggak boleh lemah gitu, Rin. Mau-mau aja ditindas ibu mertua jahat! Itu bukan Karin yang aku kenal. Terlalu lemah," ungkap Mila serius. "Terus gimana lagi, kamu sudah tahu sekarang, walau pernikahan ini rencana Thania dan kakaknya, aku tetap nggak berdaya. Mereka mempunyai kekuasaan, uang dan bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara aku bisa apa, Mil? Salah sedikit, ayahku yang dijadikan tumbal atas rencana mereka itu, bisa masuk penjara!" ungkap Karin serius. "Sekarang aku juga mengerti, bagaimana ayah yang menghindari berhutang, justru mempunyai banyak hutang. Aku yakin, itu juga rencana suamiku," jelas Karin. Mila terdiam dan berpikir keras. Teringat nasibnya sendiri, ibunya yang menikah dengan orang kaya dan menjadi istri kedua. Hal itulah yang kemudian baik dia atau ibunya selalu mendapat tekanan di kedua keluarganya. "Aku punya ide, kemarilah aku bisikkan!" ujar Mila langsung mengatakan rencananya. "Kamu yakin, tapi gimana kalau suamiku marah? tanya Karin. Mila tersenyum. "Sekalipun marah dia tidak akan macam-macam padamu. Tenang saja!" "Baiklah aku akan mencobanya," jawab Karin setuju. ***** Malam itu, Karin terlambat pulang lagi. Dia keluyuran seharian dan kali ini memang sengaja melakukannya. Dia bersenang-senang bersama Mila, makan, jalan-jalan, dan bahkan ke taman hiburan untuk menyenangkan diri. "Dasar menantu miskin tidak tahu diri, dari mana saja kamu? Seharian tidak kembali dan tidak melakukan tugas apapun!!" bentak Rini marah-marah. Karin melirik sekitar, dan melihat Adrian dari jauh mendekat. Mungkin dia mendengar keributan dan tertarik memeriksanya. Karin teringat dengan ucapan sahabatnya dan bermaksud mencobanya. "Aku habis senang-senang, Tan. Oh, bukan Tante lagi sih, tapi Mommy. Sekarang kan kamu ibu mertuaku," jawab Karin berani. "Aku tidak sudi kau panggil begitu. Aku tidak pernah mengakuimu sebagai menantuku!" bentak Rini. Tapi kali ini Karin nampak tak tersinggung. Dia bahkan mengulas senyumnya. "Tidak masalah, siapa juga yang mau punya mertua bagaikan nenek sihir sepertimu, tapi sayangnya aku harus punya!" Karin sengaja melakukan itu untuk membuat Rini semakin marah. Brubh!!! Adrian langsung menghampiri keduanya dengan buru-buru, dan membantu Karin untuk berdiri. "Aku tahu Mommy sangat membenci Karin, tapi haruskah sekasar ini? Istriku juga manusia, Mom dan dia wanita. Aku awalnya diam saja saat Mommy menyiksanya dengan serangkaian pekerjaan berat, tapi tidak dengan kekerasan seperti ini. Haruskah Mommy melukainya?" Karin tersenyum mendapatkan pembelaan itu, tanpa sepengetahuan keduanya. Sebenarnya yang dibisikin Mila adalah apa yang dialaminya sendiri. Agar tidak disiksa berlebihan, dia sering terlihat lemah juga tak melawan, saat dihadapan ayah kandungnya, dan hal itulah yang disarankannya pada Karin. "Tidak apa-apa, ak--ku memang miskin dan tidak pantas jadi menantu keluarga ini. Aku hanya cocok menjadi pembantu," jelas Karin lirih dan enggan menatap keduanya. Dia menundukkan kepala, seolah-olah ketakutan saat menyampaikan ucapannya. "Aku sudah bilang sama, Mommy, tadi pagi. Agar berhenti mengganggu Karin dan memaksanya bekerja, tapi Mommy memang egois. Selalu melakukan sesuatu dengan seenaknya," ungkap Adrian kecewa. Dia kemudian menggendong Karin dan membawanya ke kamar. ***** "Kamu juga, kemana saja seharian? Keluyuran tidak jelas, telepon tidak diangkat dan baru pulang jam segini!" omel Adrian geram. "Aku cuma capek dan nggak sanggup melakukan pekerjaan rumah. Seandainya rumah ini kecil tak masalah, seandainya hanya dua porsi, aku juga tak keberatan memasak. Bukan cuma itu, aku bahkan mencuci pakaian, ini dan itu. Semuanya aku yang melakukannya," jelas Karin keberatan. "Jadi maksudmu kau keberatan?" Karin berdecak kesal. "Pembantu saja melakukan tugas yang jadi bagian mereka, bukan semuanya, dan semalam kau sudah merenggut keperawananku. Hutang antara kau dan ayahku, lunas!" ungkap Karin dengan berani. Adrian mengerutkan dahi, "apa kau sudah gila. Hargamu satu miliar untuk satu malam?" "Ya, kau tidak terima, aku tidak perduli. Menyingkir, aku mau mandi sekarang!" bentak Karin semakin berani. Dia mendorong suaminya menyingkir dari jalannya, tapi kemudiaan berhenti untuk mengatakan sesuatu. "Kau ingin adikmu bahagia, ingin dia bersama Brian? Baiklah, aku tidak akan menghalangi mereka, tapi dengan satu syarat. Berikan separuh hartamu untukku!" tegas Karin membuat Adrian terkejut. "Kau pikir kau itu siapa? Berani sekali berkata seperti itu kepadaku!" balas Adrian tak mau kalah. "Terserah kamu saja. Lakukan ucapanku, atau besok aku akan menggoda Brian sampai kami balikan!" balas Karin sambil berbalik dan masuk kamar mandi seraya membanting pintu. Blam! "Dasar wanita sialan!!" *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN