"Brian, aku mohon ...." Karin melirih sedih, memohon mendengar keengganan mantan tunangannya.
Dia saat ini di balkon, kembali ke kamar dengan cepat untuk menghubungi Brian. Bermaksud untuk memberinya penjelasan.
"Aku tidak butuh penjelasanmu. Cukup, jangan bicara omong kosong lagi. Aku menjawab telepon ini, cuma untuk mengatakan padamu untuk jangan menggangguku lagi. Aku sudah muak denganmu, dan baiklah. Sepertinya lebih baik memblokir nomor teleponmu!" balas Brian mengomelinya.
Perasan Karin terguncang dan merasa sesak luar biasa. Bicara langsung dan menghubunginya di telepon sama saja. Karin tidak mendapatkan apapun selain kecewa.
"Brian, dengarkan aku. Ku moho--"
Tutttttttttt!!!!!
Sambungan telepon terputus begitu saja, tepat di saat yang sama, Adrian tiba-tiba datang dan merampas teleponnya. Adrian geram memeriksa siapa yang baru saja dihubungi Karin.
"Kau menggoda laki-laki itu lagi?" tanya Adrian dingin.
"Bukan urusanmu!" ketus Karin sambil berlalu melewati Adrian.
Dia tak mempedulikan ponselnya yang masih bersama Adrian, sementara itu Adrian jadi kesal dan menjatuhkan ponsel Karin. Di mengejar gadis itu dan menangkap pinggangnya dengan cepat.
"Baiklah, aku tidak perduli. Lagipula kalian hanya bicara di telepon dan tadi pagi dia sudah menolak, jadi tidak mungkin berubah secepat itu," jelas Adrian.
Ucapan itu tak selaras dengan prilakunya, karena caranya memperlakukan Karin justru sebaliknya. Dia posesif, mengapit Karin dan mengunci pergerakannya.
Brubh!!
"Lepaskan aku!! Lepas, brengs*k!!!" umpat Karin.
Adrian menyeringai, tersenyum puas menatap ketidakberdayaan Karin. Dia segera menindih gadis itu dan menatapnya penuh minat. Sial, bahkan Adrian masih ingat jelas bagaimana istrinya membuka pakaian dihadapannya beberapa jam lalu, dan hal itu selalu mengganggunya. Bahkan saat makan malam, pikiran Adrian selalu terbayang akan hal itu.
"Tidak! Sudah seminggu tertunda, malam ini kita akan bersenang-senang istriku!" ungkap Adrian terdengar menyeramkan.
Air mata Karin seketika meluncur tanpa tertahankan, gadis itu terus geleng kepala menghindari serangan Adrian.
"Ak--u mohon, jangan lakukan hal ini padaku," lirih Karin dengan suara terbata dan kini terdengar serak.
Adrian terdiam sejenak meski tak melepaskan, dia terpengaruh oleh air mata itu. Namun, kejadian di kelab malam saat wanita dihadapannya merayakan sesuatu di tempat itu, ucapan Karin masih bergema dengan jelas.
'Jangan khawatir, kalau Thania berulah lagi, aku akan memberinya perhitungan. Akan aku pukul kepalanya dengan keras supaya dia sadar, atau ku lempar saja ke laut sekalian biar tenggelam!' suara Karin yang terekam dalam ingatan Adrian.
"Aku akan melakukan apapun, menjadi pembantu, atau bahkan menghabiskan makanan sisamu. Aku akan melakukannya, tapi kumohon jangan seperti ini, jangan melakukannya padaku!" ujar Karin akhirnya menyadarkan Adrian dari lamunannya.
Tanpa menunjukkan perubahan raut wajah, laki-laki itu berdiri. Hampir saja membuat Karin menghela nafasnya dengan lega, sampai tiba-tiba Adrian kembali memonopoli dirinya.
"Entah kamu mau jadi pembantu atau apapun itu, aku tidak perduli. Kau yang memulai ini Karina Larasati, dan aku hanya mengikuti permainanmu!!" tegas Adrian meruntuhkan harapan Karin.
Malam itu dia benar-benar kehilangan segalanya, laki-laki yang dicintainya juga statusnya sebagai gadis. Kini Karin menjadi wanita, wanitanya Adrian--ah, tapi bukan itu. Dia cuma penghangat ranjang, dan sekarang statusnya telah diperjelas.
"Kau tahu setelah malam ini, aku sepertinya tidak menyesal sudah menikah denganmu. Yah, walaupun awalnya itu demi Thania," ungkap Adrian sambil mengusap puncak kepala Karin.
Wanita itu menghadap ke arah lain, wajahnya sembab, dan meski diam tanpa suara sebenarnya Adrian tahu wanita itu sedang dalam kehancurannya. Adrian prihatin, tapi dia tak menyesal sama sekali.
"Ternyata kau itu nikmat, dan aku mungkin sudah ketagihan pada tubuhmu. Sayang sekali ini pertama kalimu, walaupun aku beruntung mendapatkannya, tapi aku juga jadi tak bisa melakukan berlebihan," jelas Adrian melanjutkan.
Dia terus mengusap puncak kepala Karin dan seperti ketagihan melakukannya. Menatapnya dan terus memperhatikan istrinya dengan lekat. Sebenarnya ini bukan pertama kali untuk Adrian, dia beberapa kali mencobanya dengan wanita lain, saat merasa stress dan juga banyak masalah.
Namun, entah mengapa dia merasakan hal aneh dengan Karin. Perasaan itu tidak sama dengan yang dirasakannya pada wanita lain. Akan tetapi Adrian segera menepisnya, menganggap hal itu karena dia adalah pria pertamanya Karin.
"Istirahatlah, dan mulai besok jangan melakukan pekerjaan rumah apapun. Aku akan bicara pada Mommy jika dia memaksamu," jelas Adrian membuat Karin menoleh dan menatapnya.
Adrian mengerti maksud Karin tersebut, wanita itu pasti menuntut penjelasannya. Mengingat dia tak mungkin melakukan kebaikan dengan cuma-cuma.
"Aku serius, dan kau tahu itu semua karena aku sadar. Tenagamu lebih baik dipakai di atas tempat tidur ini dan menyenangkan aku," jelas Adrian santai.
Brubh!!
"Brengs*k!! Sejak tadi kamu terus membahas itu. Apa kamu benar-benar tidak punya hati, sampai setelah memaksaku, bukannya menyesal malah merencanakan hal selanjutnya?!"
Akhirnya Karin bicara. Dia menatap nanar suaminya, lalu dengan pertahanan yang runtuh. Kedua tangannya yang awalnya sama lelahnya dengan seluruh anggota tubuhnya, mendadak mendapatkan tenaganya. Karin menyerang Adrian dan memukulnya membabi buta.
"Kamu kejam!! Laki-laki biad*p! Tega sekali Kamu melakukan itu padaku, hiks-hiks!!"
Namun, Adrian tak tersinggung sama sekali. Dia bahkan membiarkan Karin memukulnya sampai puas, dan menunggu sampai pukulan itu melemah.
"Kau tahu Karin, pukulanmu itu tidak sakit. Justru hal itu membuatku menginginkanmu sekarang!" ujar Adrian menarik Karin.
Mendapat perlakuan seperti itu, Karin kembali merasa cemas dan ketakutannya. Terlebih lagi saat terbayang bagaimana posisi mereka di atas ranjang. Dia dan Adrian bahkan sama-sama masih tanpa sehelai benang, terkecuali selimut yang menutupi keduanya.
"Jangan khawatir, selagi kau tidak mengulanginya atau tetap diam dan tidak bergerak. Aku mungkin bisa menahan diri!" ungkap Adrian serius.
Hal itu membuat tubuh Karin membeku, tapi Adrian tidak tahan dan mendekapnya.
"Jangan berontak, aku cuma ingin menjadikanmu guling. Tidak lebih dari itu," jelas Adrian.
"Kau berengs---"
"Sssttt ... bahkan suaramu membuatku ingin. Diamlah jika kau tidak mau kita mengulanginya!" ancam Adrian.
*****
"Ternyata begini rasanya mempunyai istri," ujar Adrian sambil memandangi wajah lelap Karin.
Setelah seminggu lebih menikah dengan wanita itu, Adrian baru menyadari perubahan statusnya. Hal itupun karena mengingat kejadian semalam, lalu mengaitkannya dengan Karin yang masih tidur sekarang.
Dia tersenyum singkat dan keluar dari kamar. Akan, tetapi di depan pintunya sudah ada Rini yang terlihat gusar.
"Di mana istrimu yang tidak tahu malu itu? Sudah miskin, tidak punya bakat apapun, dan sekarang berani sekali dia bangun terlambat. Gara-gara dia tidak ada sarapan apapun yang bisa di makan pagi ini!" omel Rini dengan suara keras.
"Karin ... Karin! Bangun pemalas!!" teriak-teriak Rini.
Dia akan melewati Adrian, dan berniat membangunkan paksa menantunya itu. Namun, tiba-tiba saja Adrian mencegatnya.
"Biarkan Karin tidur, Mom," jelas Adrian.
"Tapi kenapa, bukankah seminggu ini kau tidak pernah protes? Dia pantas diperlakukan seperti ini Adrian. Sadarlah, Karin sudah merebutmu dari Daisy!"
Adrian jadi pusing sendiri. Dia sebenarnya bukan membiarkan, hanya saja pria itu tak mau merepotkan diri melawan ibunya yang suka mengomel juga sering kali seenaknya itu, demi membela Karin.
Akan tetapi, setelah semalam bagaimana mungkin sama lagi. Sekali lagi, bukan kasihan, tapi Adrian butuh Karin untuk membuatnya puas, dan itu tak mungkin terjadi jika istrinya itu sampai kehabisan tenaga akibat merangkap jadi pembantu.
"Dia kurang sehat hari ini, biarkan Karin beristirahat, Mom. Aku mohon juga mulai sekarang tolong jangan paksa Karin melakukan pekerjaan rumah atau yang berat," jelas Adrian
"Tapi kenapa?" tanya Rini heran.
"Dia istriku dan Karin bukan pembantu!"
*****