Bukan Tempat Nyaman

1271 Kata
Rupanya Tuhan belum memberikan kabar baik untuk Nezwa. Hingga pengungsian terakhir yang ia dan Fauzi datangi belum menemukan keberadaan orang tua Nezwa. Ia duduk berselonjor di bawah pohon rindang, Fauzi masih sibuk dengan ponsel di atas motor. Hari semakin terik, panas mentari kota Palu membuat tubuh bermandi peluh dan wajah serasa terbakar. Saking panasnya kota ini, hingga muncul istilah unik; Palu memiliki dua matahari. Meski matahari telah condong, tapi panasnya masih sama dengan waktu tengah hari, ditambah lagi jumlah pepohonan yang sangat kurang membuat kota itu terasa gersang. "Ikutlah ke pengungsian kami, setidaknya kamu punya tempat berteduh," ujar Fauzi dari atas motornya. Mungkin dia sudah lelah menemani perjalanan Nezwa sejak pagi tadi. Tidak ada pilihan untuk menolak penawaran Fauzi. Nezwa tidak memiliki tempat untuk pergi. Rumahnya telah ditelan bumi, entah bagaimana nasib satu-satunya toko spareparts di jalan Setiabudi, ia belum berpikir untuk mencari tahu. Akhirnya Nezwa mengikuti Fauzi menuju pengungsian yang ditawarkan tadi. Dalam perjalanan menuju pengungsian itu, mereka melewati jalan Setiabudi. Ia kembali terpekik kaget saat mendapati toko milik ayahnya telah rata dengan tanah. Ia membenamkan wajahnya dalam-dalam, tidak ingin menyaksikan pemandangan memilukan itu. Orang tuanya belum ditemukan dan sekarang toko kebanggaan mereka juga telah tiada. "Kenapa?" tanya Fauzi sambil menoleh ke belakang, khawatir terjadi sesuatu dengan Nezwa. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Ya, tidak perlu menjelaskan tentang kemalangannya pada Fauzi. Ia masih meyakini semua ini hanya mimpi, suatu saat akan kembali seperti semula lagi. Motor Fauzi memasuki halaman kantor RRI kota Palu. Di sana sudah berjejer tenda-tenda milik pengungsi. Nezwa masih mematung di tempatnya mengamati tenda-tenda berwarna-warni itu dengan perasaan pilu. Seumur hidupnya belum pernah ia tidur di tempat seperti itu. Bahkan saat pergi berkemah, ia akan menggunakan tenda terbaik dengan fasilitas lengkap, jendela, pintu, bahan tebal sehingga tidak panas, kasur, bantal, dan lain sebagainya. "Ayo." Suara Fauzi kembali menyadarkan dirinya bahwa sekarang bukan waktunya untuk bernostalgia. Yang paling penting adalah memiliki tempat sementara untuk berteduh dari panas dan hujan. "Ini tenda untuk perempuan yang belum ketemu sama keluarga. Kamu bisa tinggal di sini, kalau ada perlu beritahu saja aku," ucap Fauzi sambil mengantarnya ke sebuah tenda berwarna cokelat. "Ina*, titip adikku, ya?" 'Adik? Heh, sejak kapan aku jadi adikmu?' batin Nezwa memprotes keras, tapi mulutnya tetap terkunci. Fauzi tersenyum pada seorang wanita setengah baya yang duduk paling depan dari tenda. Wanita itu tersenyum ramah, lalu mengangguk dengan cepat. "Aku pergi dulu. Baik-baik di sini," ucap Fauzi, lalu beranjak meninggalkan Nezwa seorang diri. Setelah kepergian Fauzi, Nezwa merasa kehilangan segalanya, menjadi orang asing di tanah Kaili. Ia memandang ke dalam tenda sederhana itu, tampak di dalam para wanita duduk berdesakan. Ada ibu-ibu bersama empat orang anaknya yang semuanya menangis merengek, ada anak-anak usia SMP tengah mengobati luka di kakinya, dan lain sebagainya. Pemandangan yang membuat hati Nezwa mencelos berkali-kali, jelas ia tak akan sanggup berada di tempat itu meski hanya beberapa menit saja. 'Fauzi, bisa-bisanya dia titipkan aku di tempat seperti ini?' bisik hati Nezwa kesal. "Tinggal di mana, Nak?" Wanita setengah baya tadi menyapa Nezwa dengan ramah. Nezwa pun akhirnya duduk di luar tenda, menjauh dari kerumunan orang-orang di dalam tenda. "Di Balaroa, Ina," jawan Nezwa singkat. "Berarti rumahnya ikut kena tanah bergerak itu, ya?" tanya wanita itu lagi, Nezwa hanya mengangguk mengiyakan. "Iya, keluargaku juga rumahnya masuk ke dalam tanah di Balaroa, satu lagi di Petobo. Yang sabar," ucap wanita itu sambil mengusap punggung Nezwa. Sebenarnya Nezwa juga penasaran tentang asal-usul wanita itu, tapi ia masih belum ingin membahas atau bercerita tentang banyak hal. Pikirannya masih terfokus pada orang tuanya yang belum ditemukan, mungkinkah ikut terkubur di dalam tanah? "Tidak! Tidak!" Tiba-tiba Nezwa berteriak histeris sambil menangis dan menutup wajahnya membuat wanita tadi terkejut juga para penghuni tenda, bahkan orang-orang dari tenda-tenda lain mulai berdatangan dengan wajah-wajah penasaran. "Kenapa, Nak? Istighfar! Tenangkan dirimu," ucap wanita tadi sambil memeluk Nezwa yang terus menangis terisak-isak. Orang-orang di sekitar saling berbisik-bisik, bertanya-tanya tentang sikap Nezwa. "Sudah, sudah, tidak apa-apa. Ayo, semuanya kembali ke tempat masing-masing!" perintah seorang pria menghalau para pengungsi yang penasaran itu. Nezwa masih terus menumpahkan segala gejolak hatinya di bahu wanita tadi, tangan lembut wanita itu dengan penuh kasih membelai rambut Nezwa yang terurai. "Sabar, ini semua hanya ujian dari Yang Maha Kuasa untuk meningkatan keimanan kita kepada-Nya. Mengajarkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kekayaan, jabatan, kekuasaan, semuanya akan sirna kalau Yang Kuasa sudah mengambilnya," nasihat wanita itu penuh kelembutan. Mendengar tutur kata dan sentuhan lembut wanita itu membuat hati Nezwa sedikit lebih tenang, perlahan tangisnya mereda. Ia merasa berada di dekapan ibunya yang begitu menyayanginya. Rasanya sangat menyakitkan berpisah dari orang-orang yang ia sayangi begitu cepat dan tiba-tiba. "Kalau kita kehilangan sesuatu, pasti Yang Kuasa akan mengganti dengan yang lebih baik asalkan kita ikhlas dan sabar. Ina tau, kamu pasti kuat. Siapa namamu?" Wanita itu turut mengusap air mata Nezwa dengan jemarinya. "Nezwa," jawabnya di sela isak tangisnya. "Nezwa, nama yang cantik seperti orangnya. Kamu tidak ke rumah keluarga atau kenalan mungkin?" Nezwa menggeleng, ia tidak pernah hidup menumpang pada orang lain, justru rumahnya lah yang selama ini sering ditumpangi orang lain. "Ina namanya siapa?" Akhirnya Nezwa tertarik untuk mengenal wanita baik hati itu lebih jauh. "Panggil saja Bu Sri," jawabnya sambil tersenyum. Nezwa mulai menerima kehidupan barunya yang serta terbatas itu berkat sentuhan mutiara kalimat-kalimat penuh hikmah dari mulut wanita bernama Sri itu. Usianya yang sudah lanjut membuatnya terlihat begitu kuat, menerima dengan lapang d**a kehilangan seluruh keluarganya dihempas tsunami petang itu. Bahkan Nezwa merasa Bu Sri seolah tidak bersedih dengan berita duka itu, sangat berbeda dengan dirinya yang sangat terpukul dan bersedih berlarut-larut. *** Gempa susulan masih terus terasa hingga sore menjelang. Setiap kali gempa susulan dengan kekuatan yang cukup besar datang, semua penghuni tenda akan berlarian keluar sambil berteriak histeris. Tak terkecuali Nezwa dan Bu Sri, mereka saling berpegangan tangan dengan erat setiap kali kepanikan melanda. Fauzi belum menampakkan diri lagi di pengungsian itu, Nezwa sudah lelah menunggunya. Setidaknya dengan kehadiran Fauzi akan memberikan sebuah angin segar tentang berita-berita para korban bencana. Ia juga masih berharap mendapat tempat mengungsi yang lebih layak dan nyaman. "Ayo, makan! Sudah masak makanan!" seru pengungsi yang bertugas memasak. Serentak orang-orang berdiri dan meninggalkan tenda untuk mengambil makanan. Nezwa memandangi mereka dengan perasaan sedih, apakah ia juga akan mengantri makanan seperti mereka? Nezwa tertawa tanpa suara merenungi nasibnya yang benar-benar jatuh ke lubang paling dasar dalam hidupnya. "Kamu tidak makan?" tanya Bu Sri yang sudah bersiap untuk berdiri. Meski perut terasa keroncongan, melihat antrian panjang para pengungsi yang mengambil jatah makanan membuatnya enggan untuk makan. "Nanti aja, Bu. Aku belum lapar, Ibu duluan saja," jawabnya sambil tersenyum masam. Bu Sri mengangguk, lalu beranjak keluar dari tenda menyusul ke dalam antrian panjang untuk mendapat makanan. Entah sudah berapa lama Nezwa duduk sendiri hingga tubuhnya terasa lelah, tapi Bu Sri dan para penghuni tenda belum juga kembali. "Apa selama itu untuk mendapat satu piring makanan?" Nezwa bertanya-tanya seorang diri. Ia beranjak, keluar dari tenda untuk mengurai gelisah hatinya. Suasana mulai gelap, ia menatap langit, bertanya-tanya sendiri mungkinkah langit petang hari ini telah berbeda dengan langit petang hari-hari sebelumnya? "Nez!" Suara teriakan seorang pria mengagetkan Nezwa. Ia segera menoleh dan mendapati Fauzi berjalan dengan tergesa, pakaiannya lebih berlumpur dari sebelumnya, juga aroma tidak sedap menguar dari tubuhnya. Tapi Nezwa tidak peduli dengan semua itu, ia yakin kali ini Fauzi membawa sebuah berita, terlihat dari raut wajahnya yang serius. "Aku menemukan identitas ibumu di samping sebuah jenazah!" ucapnya dengan suara berat. Bersambung... Cat : Ina dalam bahasa kaili adalah panggilan untuk wanita yang sudah tua. ===== Maaf ya kalau bikin hati kamu jadi sedih... Semoga suka... Jangan lupa tap LOVE dan FOLLOW akun aku...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN