Mama Ditemukan

1553 Kata
"Aku menemukan identitas ibumu di samping sebuah jenazah!" ucap Fauzi dengan suara berat. Bola mata Nezwa seketika membelalak sempurna, jantungnya berdegup kencang. Benarkan Fauzi menemui identitas ibunya? Apakah itu artinya…. "Ini, coba periksa," ucap Fauzi membuyarkan lamunan Nezwa. Pikiran Nezwa seketika kacau balau memikirkan kemungkinan terburuk dari berita yang dibawa Fauzi. Dengan tangan gemetar Nezwa menerima sebuah tas terbalut lumpur yang sudah hampir mengering. Ia ragu untuk membukanya, takut kalau sampai kekhawatirannya jadi kenyataan. Bagaimana kalau ternyata benar milik ibunya? Bagaimana kalau ibunya benar-benar telah pergi untuk selamanya? "Ayo, buruan buka, Nez, supaya aku bisa memastikan kalau itu memang milik ibumu dan kamu bisa menguburkan ibumu dengan selayaknya," ujar Fauzi. Nezwa membuka tas itu dengan d**a bergemuruh. Bayang-bayang ibunya tersenyum, berbicara dengan lembut, membela tatkala ia membuat ulah, semakin membuat Nezwa kesulitan menggerakkan tangannya sendiri. Melihat Nezwa tampak tertekan, Fauzi membantu membukakan karena resleting tas itu sudah terbuka oleh para tim relawan yang menemukan tadi. Nezwa semakin gemetar melihat barang-barang di dalam tas itu memang milik ibunya. Dompet kulit terbaik dengan harga fantastis, beberapa katalog fashion dan kosmetik, ponsel, dan masih ada beberapa pernak-pernik lain yang sangat ia kenali. Air mata Nezwa mulai menetes, mengalir di pipinya yang sudah kusam oleh debu. Ya, inilah yang ditakutkan benar-benar menjadi kenyataan. Ibunya telah ditemukan, tapi bukan untuk menemaninya, melainkan telah meninggalkannya, tak akan pernah ada di sampingnya lagi, tak akan pernah dilihatnya lagi di dunia ini. "Mama," isaknya pilu. "Mama di mana? Nezwa takut sendirian," bisiknya lagi. Bu Sri yang sudah berada di belakangnya segera mengusap lembut punggung Nezwa, seketika membuat gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Bu Sri. "Sabar, Nak. Kamu tidak sendirian di sini, ada banyak orang bersamamu, terutama ada Allah bersamamu," hibur Bu Sri. "Kenapa Mama meninggalkan aku? Aku tidak bisa hidup tanpa Mama. Mama pasti masih hidup, Bu, itu pasti bukan jenazah mama," ucap Nezwa di sela isak tangisnya yang semakin pilu. Fauzi menatap Nezwa dengan perasaan iba, pasti sulit untuk gadis itu menerima kenyataan bahwa ibunya telah tiada. Masih teringat jelas bagaimana perjuangan mereka mencari ibunya di bawah terik matahari ke berbagai posko pengungsian, namun semuanya nihil. Kini ketika sudah ditemukan, ternyata telah pergi untuk selamanya. "Jangan bilang begitu, ucapkan innalilahi wa innailaihi raji'un. Hidup ini milik Allah dan apa pun yang ada di dunia ini pasti akan kembali pada pemiliknya. Kamu tau barang pinjaman kan? Nggak akan selamanya ada bersama kita, suatu saat kita harus mengembalikan barang pinjaman itu. Begitu juga dengan kita sebagai manusia, kita hanyalah milik Allah yang pasti akan diambil kembali oleh-Nya." Bu Sri memberikan kalimat-kalimat yang bisa menguatkan Nezwa. Nezwa masih terisak, punggungnya bergetar hebat. Seumur hidupnya ia tidak pernah ditinggalkan oleh orang tuanya, mereka memanjakannya dengan sempurna, dan kini, tiba-tiba saja, ibunya telah pergi, tentu hatinya menolak hal itu, tidak percaya pada kenyataan itu. "Maafkan aku tidak bisa menghibur yang selayaknya, Nez. Ayo, kita ke sana, temui ibumu," ucap Fauzi dengan wajah menyesal. Nezwa cepat-cepat menyeka air matanya, menatap Fauzi dengan pandangan penuh harap. Kini ibunya sudah tidak ada lagi, yang perlu dilakukannya adalah menguburkan dengan layak. Memberi perpisahan terakhir dengan sebaik-baiknya. *** Nezwa dan Fauzi tiba di lokasi ketika hari sudah sepenuhnya gelap. Suasana sangat mencekam, banyak kantong-kantong jenazah berwarna oranye berjejer di atas tanah berlumpur yang masih empuk ketika terinjak, tanah bekas likuifaksi yang menenggelamkan ratusan rumah-rumah dan penghuninya. Para relawan sigap mengangkat kantong-kantong jenazah itu setelah ditemukan oleh alat berat. Isak tangis para keluarga korban terdengar memilukan ditambah suara lolongan anjing menjadikan suasana mencekam dan menyayat hati yang komplit. Di sana sudah ada keluarga Nezwa yang berdiri di samping sebuah kantong jenazah. Pastilah itu jenazah ibunya Nezwa. Nezwa dan Fauzi mendekati dua orang pria yang berdiri di sana, dan benar saja, mereka adalah paman Nezwa. "Om," panggil Nezwa dengan suara serak. Dua pria itu langsung menoleh mendengar seseorang memanggil dengan sebutan 'Om'. Dan mereka langsung terkejut melihat Nezwa ada di dekat mereka. Dalam situasi bencana seperti itu, melihat keluarga yang hilang kabar beritanya adalah sebuah kejutan besar dan hal yang menggembirakan. Sebab, sangat banyak orang yang hilang dan belum berhasil ditemukan hingga detik itu. "Nezwa? Kamu kemana saja? Om cari-cari nggak ketemu," ucap Om Arifin dengan wajah terkejut sekaligus senang. Nezwa memeluk pamannya erat-erat tangisnya kembali pecah. "Om, apa mana sudah tidak ada?" Om Arifin mengusap punggung Nezwa dengan lembut, ia sangat mengenal keponakannya itu, pasti berat untuk Nezwa menerimakan kenyataan pahit ini. Gadis manja dan suka berbuat semau-maunya, tak suka ditegur, dan paling sulit didekati dari semua keluarganya, kini sedang menangis di pelukannya. Hal yang selama ini tidak pernah terjadi dalam kehidupan Nezwa. "Sabar, Nez, ikhlaskan mama kamu, ya. Insya Allah mama husnul khatimah." Om Arifin menghibur. Nezwa mengangkat kepalanya, menyeka air matanya, lalu beralih menatap kantong jenazah yang tergeletak di atas tanah. Di dalam sana ibunya sedang berbaring, terbujur kaku, tentu penuh lumpur. Ya Allah, sungguh akhir hidup yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Selama hidup, ibunya selalu bersih, tak pernah dilihat Nezwa ibunya bergelut dengan lumpur dan debu, bahkan mereka selalu mengutamakan kebersihan dalam segala hal. Tapi siapa yang menyangka, takdir telah mendahului bahwa akhir hidup ibunya berakhir seperti itu. "Insya Allah korban bencana alam husnul khatimah, kita berdoa yang terbaik saja, Nez, jangan terlalu bersedih, kasihan ibumu di alam sana tersiksa liat kamu sedih begini," ucap Om Rusdi menenangkan. Akhirnya jenazah ibunya dibawa ke rumah Om Arifin untuk dikuburkan sebagaimana layaknya. Nezwa turut serta mengikuti pamannya. Sebelum pergi, ia berpamitan pada Fauzi yang telah banyak membantunya. "Makasih banyak atas bantuan kamu, Zi. Aku pasti balik ke posko kamu lagi," ucap Nezwa. "Tinggallah di rumah keluargamu, Nez. Tenda pengungsian nggak cocok buat kamu," tukas Fauzi sambil tersenyum. Nezwa hanya tersenyum masam, lalu bersiap untuk pergi. "Aku pergi dulu, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan, Nez. Kalau butuh bantuan jangan segan beritahu aku." Nezwa mengangguk samar, lalu beranjak dari hadapan Fauzi. Nezwa tidak lagi menoleh ke sekitar, terus berjalan menyusul pamannya yang sudah beranjak lebih dulu, lantas masuk ke dalam mobil Arifin. Tidak lama kemudian, mobil itu melaju meninggalkan lokasi Perumnas Balaroa yang sudah rata dengan tanah. *** Nezwa duduk di samping pusara ibunya yang tanahnya masih merah. Matanya sembab, namun ia tidak lagi menangis. Ia sudah berjanji pada ibunya dan dirinya sendiri akan kuat menghadapi hari tanpa ibunya. Masih ada harapan ayahnya bisa ditemukan dalam keadaan hidup. Semalam pengurusan jenazah ibunya dilakukan di rumah Om Arifin, lalu pagi ini langsung dikuburkan. Orang-orang mulai beranjak meninggalkan area pemakaman itu, tapi Nezwa masih betah duduk di sana. Rasanya sangat berat meninggalkan ibunya sendirian di dalam tanah. Dalam hati Nezwa menyesali kenapa dia tidak mati saja? Kenapa dia harus lari saat gempa terjadi dan merobohkan kafe tempatnya bersantai dengan teman-temannya? Kalau ia mati, tidak akan merasakan kesedihan sedalam ini, ia juga akan bertemu dengan ibunya, mungkin saja akan berkumpul dengan ibunya. "Sudah, jangan melamun terus, ayo," ajak Om Arifin merangkul bahunya. Membuyarkan lamunan Nezwa yang sudah kemana-mana. Nezwa mendongak, menatap pamannya dengan penuh kebimbangan. Namun pada akhirnya ia bangkit, menatap lekat-lekat pusara itu sebelum melangkahkan kaki meninggalkannya. Kini Nezwa sudah resmi menjadi yatim, tinggal menunggu kabar tentang ayahnya. Ia masih berharap ayahnya masih hidup sehingga ia tidak sendirian di dunia ini. "Kamu waktu gempa pertama itu di mana, Nez? Om cari-cari malam itu ke kafe dan ke rumah kamu di perumnas tapi kamu tidak ada," tanya Arifin. "Aku di kafe, Om. Pas gempa datang, aku lari sama teman-teman ke bukit, terus aku ke perumnas, tapi rumahku sudah nggak ada. Syukur ada orang yang nolong aku, dia bawa aku ke poskonya." Nezwa menjawab tanpa semangat, suaranya juga serak dan parau. Arifin tidak lagi bertanya, mengerti kondisi keponakannya. Mereka masuk ke dalam mobil dan meninggalkan area pemakaman. Nezwa menatap pusara yang masih merah tempat ibunya di semayamkan. Dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu. Ibu yang selama ini sangat menyayanginya kini terbaring di bawah tanah, tidak akan ada yang menyayangi Nezwa lagi sebagaimana ibunya menyayanginya. Rumah Om Arifin berada di Kalukubula, kabupaten Sigi. Berbeda kabupaten dengan kota Palu, namun wilayahnya masih bersebelahan. Di sana tidak seramai di kota Palu, rumahnya juga tidak sebesar rumah Nezwa dulu. Memang, di antara keluarga Nezwa hanya keluarga Om Arifin yang paling dekat, namun bagi Nezwa tetap saja berbeda karena gadis itu tidak pernah dekat dengan keluarga-keluarganya. Mereka tiba di rumah menjelang siang. Nezwa turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Para tamu dari kalangan keluarga sebagian masih ada di sana, mereka menyambut Nezwa dengan ramah untuk menghibur gadis itu. "Kak Nezwa, sini," panggil Farah, anaknya Om Arifin yang paling besar, usianya terpaut dua tahun di bawah Nezwa. Nezwa mendekat, lalu duduk di sebelah Farah. "Sabar ya, Kak. Tinggal sini saja, Kak, sama aku," ucap Farah. Nezwa hanya tersenyum simpul, belum ada planning apa pun di kepala Nezwa tentang hari-hari esok. Nezwa hanya memikirkan dirinya hanya untuk saat ini saja. "Nanti diliat, Fa, aku belum memikirkan soal itu." Meski orang-orang menghibur Nezwa, Fara mengajaknya berbicara, tante Chia menyuguhkan makanan lezat dan teh hangat, hati Nezwa terasa kosong, hidupnya terasa hampa. Tiba-tiba saja ia merasa terasing dari segalanya. Ia merasa sedang sendirian, tidak punya siapa-siapa, hingga sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Maka, ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Entah akan seperti apa hari-hari yang akan dilaluinya esok dan setelahnya. Bersambung... ============ Terima kasih masih setia menunggu... Jangan lupa tap love dan ikuti akun Innovel/Dreame aku ini ya... Dan tekan komentar supaya aku lebih semangat update
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN