Likuifaksi

1103 Kata
"Silakan diminum airnya, Mbak." Suara berat seorang pria mengagetkan Nezwa yang sedang duduk termenung di ujung jalan yang terputus akibat tanah mengalami penurunan. Semalam ia hanya tertidur sekitar satu atau dua jam saja karena pikirannya begitu khawatir memikirkan kabar orang tuanya. Semua orang yang datang ke pengungsian yang ia tempati, menceritakan tentang tenggelamnya perumahan warga di kelurahan Balaroa dan Petobo. Kejadian yang belakangan ia ketahui bernama likuifaksi; suatu fenomena alam pascagempa akibat tanah ikut terlarut dan hanyut bersama air tanah. Jadi, setelah gempa bumi yang sangat dahsyat kemarin petang disusul tsunami, di tempat berbeda lagi sedang terjadi likuifaksi. Tiga kejadian dalam satu waktu membuat Nezwa semakin ketakutan. Mungkinkah dunia akan berakhir dalam waktu dekat? Padahal ia belum bertemu dengan orang tuanya. Dan tadi pagi-pagi sekali, ia ikut dalam rombongan yang diangkut oleh seorang bapak-bapak menggunakan mobil pick up menuju Balaroa, salah satu lokasi terjadinya likuifaksi. Seumur hidupnya, baru kali itu ia menumpang mobil pick up dan bukan duduk di depan, melainkan berdiri di bak belakang, berdesakan bersama puluhan penumpang lainnya! "Makasih," ucap Nezwa menerima air mineral tanpa menoleh pada pria baik hati itu. Ia sedang tidak ingin berbicara atau berdekatan dengan siapa pun. Hatinya masih belum siap menerima kenyataan bahwa Perumnas tempatnya tinggal bersama orang tuanya sudah berubah menjadi tanah lapang, tak ada lagi satu pun rumah berdiri di atasnya. Padahal, Perumnas Balaroa adalah salah satu kompleks perumahan yang padat bangunan dan penduduk. Kurang lebih luas wilayahnya 2,3km dengan jumlah bangunan berkisar 1.400an rumah dan 11ribu lebih jumlah penduduknya. Dan kini... bangunan-bangunan di atasnya telah rata dengan tanah, menyisakan puing-puing tak berbentuk lagi. "Apakah keluarga Mbak ada di Perumnas Balaroa ini?" tanya pria itu lagi. Nezwa mengira pria itu sudah pergi, ternyata masih berdiri di sana. "Ya, rumahku dan orang tuaku ada di sana," jawabnya sendu, memandangi ekskavator yang sedang bekerja keras menggali ke dalam tanah mencari para korban. Ia berharap orang tuanya telah pergi melarikan diri dan masih hidup, tidak ada di antara para korban itu. Tanpa dapat ditahan lagi, bulir-bulir bening telah berjatuhan dari pelupuk mata lentiknya. "Maaf," ucap pria itu menyerahkan sekotak tisu. Nezwa menerimanya masih tanpa melihat pria itu. Terlalu menyedihkan kejadian di depan matanya itu, ia sudah tidak berselera lagi untuk melihat siapa pun di sekitarnya. Di seberang sana, kantung-kantung jenazah telah berjejer menunjukkan sebagian korban telah berhasil di evakuasi. Di sebagian tempat lain banyak orang-orang yang tengah menolong dan mencari keluarga masing-masing. Nezwa masih merasa semua kejadian itu hanyalah mimpi yang akan berlalu ketika ia terbangun dari tidurnya. Bagaimana tidak, kemarin ia masih bercengkerama dengan ayah dan ibunya, merasakan makanan enak buatan ibunya, berpamitan untuk berangkat menuju kafe yang mereka kelola di tepi pantai. Lalu semuanya tiba-tiba berubah hari ini, tak ada lagi hunian mewah nan nyaman tempatnya berpulang untuk berisitirahat. Ia kembali mengingat segala memorinya menjelang kejadian luar biasa itu. Kemarin petang dilaksanakan pembukaan Festival Palu Nomoni yang merupakan festival tahunan dirangkaikan dengan acara ulang tahun kota Palu. Ia sudah berjanji dengan teman-temannya untuk mengikuti pembukaan acara itu dan nongkrongnya di kafenya. Nahasnya, sebelum pembukaan itu dimulai, gempa bumi super dahsyat mengguncang, setelah itu disusul tsunami menerjang. "Sabar, Mbak. Mudah-mudahan keluarga Mbak dalam keadaan baik-baik saja. Saya sudah di sini sejak semalam menolong korban bencana. Sebagian sudah dievakuasi ke pengungsian aman, mungkin keluarga Mbak ada di pengungsian," ucap pria itu berusaha menenangkan. Seketika, Nezwa menoleh ke arah pria yang berdiri tidak jauh darinya itu. Ternyata pria itu bertubuh tinggi dan kekar, wajahnya tidak jelas bagaimana bentuknya karena belepotan dengan lumpur, seluruh pakaiannya kotor penuh bekas-bekas tanah, di kepalanya terlilit scraf melindungi kepalanya. Sekarang ia punya harapan untuk menemukan kedua orang tuanya, semoga mereka masih hidup, sehat selamat. "Di mana tempat warga sini mengungsi? Tolong, tolong bantu aku cari orang tuaku!" pinta Nezwa memelas dengan sungguh-sungguh, bahkan ia serta merta memegang lengan pria itu yang kotor penuh lumpur. Air mata Nezwa semakin deras mengalir, ia sangat berharap pemuda itu mau menolongnya. Akhirnya pria yang Nezwa belum ketahui namanya itu mengambil sepeda motornya, lalu berangkat bersama meninggalkan Perumnas Balaroa yang menyedihkan itu. Nezwa berjanji, setelah menemukan kedua orang tuanya barulah ia akan mencari jejak bekas rumahnya terkubur. Sepanjang perjalanan, Nezwa terus menangis, air matanya seakan enggan untuk meninggalkan pipinya yang sudah berminyak dan berdebu akibat belum mencuci muka sejak kemarin. Mereka tiba di tanah lapang dekat menara Indosat. Di sana sudah dibangun tenda-tenda tempat para warga beristirahat dan berteduh. Jantungnya berdegup kencang tatkala turun dari motor dan melangkah mulai memasuki sebuah tenda. "Eemm, Mbak namanya siapa? Biar aku gampang nanya ke warga," tanya pemuda itu canggung. "Nezwa. Nezwa Syarabila. Ayahku Anwar Lahamido dan ibuku Heni Datutinggi," jawab Nezwa gemetar saking gugupnya membayangkan pertemuannya dengan orang tuanya. Pemuda itu mulai memasuki satu tenda ke tenda lain, menanyakan nama orang tua Nezwa, mungkin berada di salah satu tenda-tenda itu. Nezwa dengan setia mengikuti di belakangnya. Hatinya begitu cemas setiap kali keluar dari satu tenda dan tidak menemukan sosok orang tuanya. Hingga selesai penelusuran di seluruh tenda, tidak di temukan kedua orang tua Nezwa. Dengan tubuh lesu dan kepala terkulai Nezwa keluar dari tenda terakhir, harapannya untuk bertemu kedua orang tuanya perlahan menipis. "Tenang, Mbak, masih ada pengungsian lain. Mari aku antar ke sana," hibur pemuda itu. "Namaku Fauzi," imbuhnya lagi memperkenalkan diri. Kini sebuah ketakutan mulai merayapi hati Nezwa, bagaimana kalau seandainya orang tuanya tidak ditemukan di seluruh pengungsian, bagaimana nasibnya? Akan hidup dengan siapa dia tanpa orang tuanya? "Nez!" Suara berat Fauzi lagi-lagi mengagetkan gadis itu. Entah berapa lama Fauzi memanggilnya, yang pasti ia hanya mendengar panggilan terakhir tanpa menggunakan embel-embel 'mbak' lagi. Mungkin pemuda itu sudah kesal karena Nezwa terlalu sering melamun sejak tadi. "Ayo," ajak Fauzi. Nezwa segera naik ke atas boncengan motor matic merah hitam itu. Lalu motor itu pun melaju meninggalkan pengungsian pertama yang telah mereka datangi barusan. Nezwa terus berdoa sepanjang jalan agar di pengungsian berikutnya bisa menemukan orang tuanya sehingga tidak lagi harap-harap cemas sepanjang waktu. Ia sudah tidak mempedulikan pemuda di depannya masih dengan tubuh dan pakaian penuh lumpur, bahkan kini tangan dan pakaiannya juga sudah turut memiliki bercak-bercak noda. Bersambung... ====== Terima kasih sudah membaca part kedua ini... Jangan lupa klik LOVE dan follow, dan komentarnya ya... Salam hangat dariku Wina Faathimah Ikuti sss, Fp, IG : winafaathimah Sebenarnya ada sedih di hatiku saat nulis kisah ini, karena aku mengalami kejadian 28 September 2018 itu. Kisah ini sebagai pengingat, bahwa hidup di dunia ini nggak selamanya aman, adakalanya Yang Maha Kuasa ngasih kita cobaan yang nggak pernah kita bayangkan sebelumnya. Teman-teman banyak yang kehilangan harta dan keluarga. Bersyukur aku dan anak-anakku semuanya selamat, karena waktu itu memang suami sedang ke luar kota. Semua atas izin Allah aku baik-baik saja sampai sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN