Guncangan Petang

1290 Kata
Brak-brak-brak!!! Guncangan sangat keras menggoyang bumi Kaili petang itu, 28 September 2018 sekitar pukul 18.00, tepat ketika azan maghrib dikumandangkan. Nezwa yang sedang duduk-duduk bersama teman-temannya di kafe miliknya yang berada di tepi pantai, segera berdiri dan berlari mencari jalan keluar yang sudah dipadati oleh banyaknya orang yang saling berdesakan. "Gempaaa!!! Astaghfirullah, laa ilaaha ilaallaah, Allaahu akbar!" Pekikan istighfar, tahlil, dan takbir membahana menghiasi bibir tiap-tiap orang di yang berada di sekitar pantai. Orang-orang dengan wajah penuh ketakutan sudah berhamburan di tempat-tempat terbuka menghindari bangunan. "Nez! Cepat! Bangunan ini mau rubuh!" teriak Diva, salah satu teman duduknya di kafe itu. Nezwa mempercepat gerakannya, baru saja hendak berdiri, ia kembali ambruk, tidak kuasa menahan tubuhnya menerima guncangan gempa bumi yang sangat dahsyat. Ia melihat tiang-tiang kafe miliknya itu berderit dan berayun, mulai terlepas satu dari yang lainnya. Barang-barang sudah berhamburan, terjatuh dari atas meja dan lemari, menghalangi jalan. Piring, gelas, dan semua peralatan yang terbuat dari kaca pecah berkeping-keping berserak di lantai kafe. Ia dan beberapa orang yang masih di dalam kafe segera merangkak di sela-sela timbunan barang-barang, meja, dan kursi untuk mencapai pintu keluar. Luka di telapak tangan akibat tergores pecahan beling, tak lagi dihiraukan. "Ayo, cepat, kita harus segera meninggalkan tempat ini!" seru Virly menarik tangan Nezwa dan Diva agar mempercepat langkah ketika berhasil keluar dari kafe. Setelah mencapai tempat terbuka yang jauh dari bangunan, mereka berdiri gemetaran akibat dahsyatnya guncangan gempa barusan. Sesaat kemudian, gempa susulan kembali mengguncang. Meski getarannya tidak sedahsyat sebelumnya, Nezwa dan orang-orang di sekitarnya tetap panik dan kembali berteriak histeris lalu berlari tanpa arah dan tujuan. Nezwa masih sempat menyaksikan, tiang-tiang listrik, bangunan kafe miliknya, dan bangunan lainnya ambruk rata dengan tanah. Beruntung ia berhasil keluar sebelum bangunan itu rubuh, ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika masih tertahan di dalam dan tertimpa reruntuhan bangunan itu. "Tsunami!!! Tsunami!!!" Teriakan berikutnya membuat Nezwa semakin panik. Gemuruh takbir dan tahlil kembali memenuhi jalan raya, setiap orang melantunkan kalimat mulia itu, kendati yang tidak pernah mengucapkan sebelumnya, seperti Nezwa. Pada saat itulah ia terpisah dari Virly dan Diva. Ia sudah tidak mempedulikan lagi di mana teman-temannya dan ke mana mereka pergi. Yang ia pikirkan hanyalah berlari sejauh mungkin menyelamatkan diri. Getaran gempa susulan masih terus mengguncang dengan skala yang tidak beraturan, kadang keras dan kadang pelan. Byurrrr!!! Byurrr!!! Byurrr!!! Nezwa sangat terkejut dengan hantaman air laut mengenai kaki hingga betisnya. Hantaman yang sangat keras dan seolah-olah ada yang menariknya untuk mengikuti arus air itu. Nezwa menangis histeris, ketakutan akan kematian seketika menghantui hatinya. 'Apakah ini kiamat? Tuhan, aku belum siap jika sekarang kiamat datang,' bisik hati Nezwa penuh ketakutan. "Mamaaa, papaaa, tolong aku," isaknya sambil terus berlari menjauhi air yang semakin lama semakin meninggi. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, ia berhasil mencapai dataran yang lebih tinggi. Di tempat itu sangat banyak orang yang turut melarikan diri. Tidak ada yang saling peduli satu sama lain, bahkan Nezwa tidak pernah tahu siapa gerangan yang berjalan bersamanya dalam kegelapan itu. Hari semakin gelap. Tidak ada lagi penerangan, listrik padam sejak pertama kali bumi diguncang. Setiap orang berlari mengikuti insting ke mana kakinya akan menjejak. Ramai manusia yang panik terasa sunyi dalam hati Nezwa, seolah dia hidup di bumi seorang diri. Akhirnya ia berhasil mencapai daerah perbukitan. Di sana banyak orang yang telah sampai terlebih dahulu. Nezwa terduduk lemas saking panik dan takutnya. Ia tidak memiliki apa-apa lagi, ponsel dan uangnya tertinggal di dalam kafe yang sudah rubuh. Bahkan mungkin sudah tersapu oleh tsunami. "Bagaimana keadaan mama dan papa?" bisiknya. Ia sangat haus, tapi tidak ada air minum. Lalu menoleh sekeliling, semua orang sibuk dengan diri sendiri dan keluarganya. Ia sendirian, kesepian, ketakutan, semua bercampur aduk menjadi satu. Teman-temannya, di mana mereka? Apakah mereka selamat? Virly dan Diva yang sempat menyelamatkannya di dalam kafe apakah mereka selamat? Ia melihat beberapa orang melaksanakan shalat di bukit yang terbuka itu. Apakah ia akan ikut shalat seperti mereka? Jujur, seumur hidup Nezwa, ia hanya shalat saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha saja. Dulu ketika masih di bangku SMA, jika tiba kelasnya mendapat giliran shalat, ia akan berpura-pura halangan sehingga terbebas dari ritual satu itu. Alasannya sederhana, repot karena harus menghapus make up dan memakainya lagi setelah shalat. Nezwa merasa ditampar melihat orang-orang yang shalat dengan khusyuk itu, menangis dengan penuh takut dan harap kepada Rabb Yang Maha Agung. Sedangkan dirinya? Kepada siapa ia akan mengadu? Siapa yang akan ia harapkan untuk menolongnya sekarang, di saat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing? Mama dan papa yang selama ini dengan setulus hati memberikan segala keinginannya, ia bahkan tidak tahu bagaimana nasib mereka. Ia tidak yakin apakah masih mengingat bacaan surat Al-Fatihah atau tidak. Tiba-tiba ia merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Rasanya sangat menyesal sudah hidup selama dua puluh dua tahun dan belum mampu menghafal bacaan paling mendasar bagi setiap muslim itu. Perlahan ia beranjak, menghampiri para jamaah shalat itu. Dia tidak memiliki jilbab atau mukena, lalu mengamati sekeliling yang remang-remang. Bukan hanya dia yang akan shalat dengan kepala terbuka, beberapa wanita lain juga berdiri di belakang jamaah ala kadarnya. Itu untuk pertama kalinya Nezwa melaksanakan shalat empat rakaat, shalat Isya. Sayangnya dalam kondisi yang demikian memilukan, tanpa mukena atau sekadar penutup kepala meski yang paling sederhana. Padahal ia ingat, di rumah ia punya banyak mukena mahal dengan model terbaru, berbahan sangat nyaman ketika disentuh. Sayangnya benda itu hanya menjadi penghuni abadi di dalam lemari mewahnya. Nezwa menangis sesenggukan, menumpahkan segala kemelut hatinya. Kala getaran gempa kembali terasa, ia hanya bisa berdoa dan berharap agar waktu kematiannya diundur beberapa saat saja agar ia bisa bertobat dan melakukan banyak kebaikan yang selama ini ia lewatkan begitu saja. Usai shalat, pria yang bertindak sebagai imam shalat itu berdiri dan berjalan berkeliling sambil berkhutbah. Mengingatkan dan menyentuh hati orang-orang untuk segera kembali kepada Sang Pencipta. Nezwa terpekur mendengarkan setiap untaian kalimat penuh makna itu, berjanji dalam hati untuk memperbaiki diri setelah kejadian ini. "Mau minum?" Nezwa tersentak dari duduknya saat seorang ibu menyodorkannya segelas air mineral, ia menerima tanpa menoleh. Lalu meneguknya hingga habis tak bersisa. Semakin malam suasana semakin ramai. Orang-orang berkumpul dan bercerita, memberikan berbagai informasi berharga tentang gempa bumi dan tsunami yang melanda sore tadi. Rasa dingin akibat celananya basah terkena air laut tak dihiraukan Nezwa, ia hanya ingin malam segera berganti pagi. Dari berita-berita yang beredar ia bisa mengetahui bahwa tsunami menggulung tiga kali. Menghancurkan bangunan-bangunan di sekitar pantai, banyak orang-orang yang terjebak dan terseret arus air, dan masih banyak lagi. "Ya Allah, aku bersyukur masih selamat, ternyata di belakangku masih banyak orang yang terjebak di sana," gumam Nezwa. Sepertinya bakal tidak akan tidur malam itu. Setiap ada pengungsi yang baru bergabung, mereka membawa informasi baru. Nezwa harap-harap cemas menanti kabar orang tua dan keluarganya yang lain. "Hamak! Kamu tau? Di Balaroa dan Petobo, di sana lumpur naik ke atas, tanah jadi lembek. Rumah-rumah tenggelam, masuk dalam lumpur! Eee, liat ini videonya, rumah-rumah bajalan di kayak di air!" seru seseorang sambil memperlihatkan tayangan video berdurasi kurang dari satu menit. Tampak rumah-rumah dan pepohonan berjalan layaknya perahu berlayar di atas air. Seketika Nezwa terhenyak, rumahnya ada di Balaroa, orang tuanya juga di sana, apakah semuanya baik-baik saja? Bagaimana ia bisa menghubungi orang tuanya, ponselnya sudah tidak ada lagi? Bagaimana pula ia akan pulang ke rumahnya, kendaraannya juga tidak ada lagi? Bersambung... ====== Selamat datang di cerita terbaru aku, ikuti terus kelanjutannya ya. Jangan lupa tekan LOVE dan follow akun aku, sekarang udah 3 cerita aku yang on going... Berikan komentar kamu, agar aku semakin semangat update. Kisah ini terinspirasi dari kejadian nyata 28 September 2018 di kota Palu, Sulawesi Tengah. Adapun penamaan tokoh dan sebagian alur ceritanya hanya fiktif belaka. Ikuti sss dan Ig aku ya @winafaathimah untuk dapat udpate berbagai info dan ngobrol bareng aku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN