10. Berbicara

1003 Kata
Kayra sadar tidak seharusnya ia mendiamkan Rama. Pernikahannya berantakan juga bukan karena sahabatnya itu. Semua memang karena Abid yang b******n. Laki-laki b******k yang telah membohonginya. Tengah malam ia terbangun dan melihat Rama yang tidur diatas kasur lipat. Pandangannya tertuju pada Rama yang tertidur pulas. Dalam diam ia bertanya kenapa Rama mau sampai menikahinya? Apakah jawabannya seperti apa yang ia pikirkan, kalau Rama menikahinya karena rasa kasihan. Seharusnya Rama tidak perlu menikahinya. Kenapa juga ia mempertaruhkan masa depannya untuk menikahinya. Apakah Rama tidak ingin menikah dengan wanita yang ia cintai? "Maaf, Rama. " Lirihnya. Rama terbangun ketika jam dinding kamar Kayra menunjukkan pukul lima pagi kurang. Saat pandangannya tertuju ke ranjang dia tidak menemukan Kayra di sana. Ia pun celingak-celinguk mencari istrinya. Tak lama suara pintu kamar mandi terbuka dan Kayra muncul dari sana dengan rambut yang agak basah. Pandangan mereka bertemu beberapa saat sampai Rama yang memutus pandangan terlebih dahulu. Kayra terlihat cantik dengan rambut basah yang terurai, aroma shampoo yang mengelitik indra penciuamannya, di tambah degup jantungnya yang tidak bisa di kondisikan. Rama bangun dari duduknya. Mengembalikan bantal ke ranjang, melipat selimut, begitu juga dengan kasur. "Kamu sudah bangun? " Tanya Kayra. Rama agak terkejut karena Kayra mengajaknya bicara. Padahal dia berpikir istrinya itu akan mendiamkannya, tidak mengajaknya berbicara sampai berminggu-minggu, bahkan dalam hitungan bulan. "I-iya, " Jawab Rama canggung. Rama sendiri merasa aneh kenapa dia malah jadi canggung seperti ini. "Kamu nggak sholat? " Kayra sendiri bingung harus berbicara apa. Semuanya terasa canggung. "Ah, iya. " Rama berjalan menuju keluar kamar dan itu membuat Kayra heran. "Kamu mau kemana? " "Pulang. Aku mau sholat di rumah. Sekalian siap-siap berangkat kerja. " "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Kayra. *** ketika mandi Rama senyum-senyum sendiri karena mengingat Kayra yang mengajaknya berbicara tadi. Apakah ini sebuah kemajuan dan pertanda baik? Padahal dia tidak melakukan usaha apa-apa. Namun pemikiran Rama yang lain melarangnya untuk jangan terlalu senang. Bisa saja ini adalah awal Kayra ingin mengajaknya berpisah. Astaga... Haruskah mereka berpisah? Membayangkannya saja sudah membuat Rama takut. Ketika selesai mandi Rama kembali ke kamarnya, betapa terkejutnya dia saat menemukan Kayra duduk di tepi ranjangnya. Rama kembali keluar kamar karena malu hanya memakai handuk putih yang di lilitkan di pinggangnya. Kayra sendiri heran dengan tingkah Rama. Tak lama suaminya itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar yang terbuka. "Kamu... Ngapain di kamar aku? " Tanya Rama. "Eee... " Tidak tau kenapa Kayra jadi blank. Padahal tadinya ia ingin menemui Rama karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. "Kamu habis mandi? " Hanya itu yang meluncur dari bibir Kayra. "Iya, " Jawab Rama. Hening sesaat. Rasanya aneh. Biasanya mereka bisa berbicara bebas, terutama Kayra. Tapi sekarang lidah Kayra kelu, biasanya banyak obrolan yang bisa ia lontarkan namun sekarang deretan kata di benaknya tiba-tiba menghilang. "Kamu... Bisa ambilin baju itu. " Tunjuk Rama pada tumpukan baju yang tidak jauh dari Kayra. "Itu baju kerja aku. Aku mau ganti baju dulu di kamar mandi. " "Oh." Kayra mengambil baju itu lalu memberikannya pada Rama. Rasanya benar-benar canggung. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua kenapa jadi aneh seperti ini. Kalaupun Rama berganti baju didalam kamar dan ada Kayra juga tidak masalah sebab mereka adalah suami istri. Tapi Rama tidak akan melakukannya. Dia malu. Pastinya Kayra juga akan ngamuk-ngamuk bahkan mengusirnya keluar kalau melakukan hal itu. Rama kembali ke kamar setelah selesai berganti baju. Kayra masih setia menunggunya di tepi ranjang. "Hai, " Sapanya saat masuk kedalam kamar. "Hai." Balas Kayra. Rama duduk disebelah istrinya. "Eemmm, ada apa kamu ke sini? " Kalau biasanya Kayra mendapat pertanyaan seperti itu gadis itu akan membalasnya dengan balasan 'Emangnya nggak boleh? ' tapi sekarang untuk menjawab pertanyaan itu dia harus di buat cukup berpikir. "Eeee... Itu." Kayra mengumpati mulut dan otaknya yang sepertinya janjian membuatnya kehilangan kata-kata. "Aku... Sebenarnya ada yang mau aku omongin sama kamu. " Akhirnya Kayra bisa mengeluarkan apa yang ingin ia sampaikan. "Oh, ngomong aja. " Rama sendiri sudah was-was jika Kayra akan meminta cerai. Tidak, dia tidak mau bercerai. "Maaf sudah diemin kamu dari kemarin. Aku nggak marah sama kamu. Aku cuma marah sama diri aku sendiri. " "Aku tau kamu lagi sedih. " "Aku menyedihkan, kan? Aku bodoh banget sampe nggak tau kalau Abid udah punya istri. Selama ini dia bohongin aku. " Kayra mulai menangis dan itu membuat Rama tidak tega. "Itu bukan salah kamu. " "Tapi aku bodoh banget sampek nggak tau apa-apa. " "Jangan berpikiran seperti itu. Jangan merasa diri kamu itu bodoh. Semuanya udah takdir. " Kayra menghapus air matanya lalu memandang Rama yang duduk di sebelahnya. "Terus kamu sendiri, kenapa kamu nikahin aku?" Rama langsung bingung harus menjawab apa? Dia tidak sanggup harus jujur jika ia mencintai Kayra selama ini. "Ya... Nggak apa-apa, " Jawab Rama. "Kamu kasihan, kan, sama aku?" "Aku nggak kasihan sama kamu." "Tapi kenapa kamu nikahin aku?" Rama memilih diam. Haruskah dia jujur sekarang? Kalau jujur ia malah takut Kayra akan kaget karena tahu perasaannya yang sebenarnya. Terdengar suara perut keroncongan. Itu adalah suara perut Rama. Dalam hati ia bersyukur perutnya berbunyi seperti itu. Setidaknya ia bisa menghindari percakapan ini. "Kamu lapar? " Tanya Kayra. "Iya. Sepertinya aku harus makan. Aku juga harus pergi kerja. " "Ah, iya." "Ayo turun kita sarapan. Atau kamu mau sarapan di rumah kamu. " Kayra menggeleng. "Aku nggak mau makan. " Tolak Kayra. "Kenapa? Kamu harus makan, Kay. Kalaupun kamu masih mau bersedih, kamu juga butuh makan buat tenaga." Kayra memandang Rama sekilas, dari dulu Rama selalu menasihatinya. Tidak pernah marah-marah apalagi mengurui. "Kamu harus makan. Jangan sampai kamu sakit. Nanti kasihan papa sama mama, mereka pasti khawatir sama kamu." Lanjut Rama. Dahi Kayra berkerut saat mendengar Rama menyebut kedua orang tuanya dengan sebutan mama dan papa. Rasanya aneh sekali mendengarnya. " Om, di panggil nenek di suruh sarapan, " Kata Daffa yang tiba-tiba muncul didepan pintu. Rama memang membiarkan pintu kamarnya terbuka. "Iya." Balas Rama. "Hallo tante baru. Istrinya om Rama..." Sapa Daffa sambil melambaikan tangan. Ucapan bocah itu mengingatkan Kayra jika laki-laki di sampingnya bukan lagi teman atau sahabat, melainkan suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN