“Emm … saya mau ngambil ransel, Nona,” jawab Rahes dengan tenang.
Sementara Melisa bersembunyi di balik mobil sambil menunduk.
“Oh, iya. Aku belum kasih tau kamar kamu. Ikut aku!” ucap Anna kemudian.
Rahes mengangguk. Gegas ia menyahut ransel yang ada di atas jok motornya yang terparkir dan mengekor pada anak sang majikan. Anna menunjukkan jalan menuju ke paviliun samping rumah di mana para ART dan karyawan akan tinggal. Ada beberapa kamar berjejer di sana dan Anna membawa Rahes pada kamar paling ujung. Bekas kamar Darman.
“Ini kamar kamu. Ini kuncinya. Sudah ada kamar mandi di dalam,” jelas Anna.
“Baik, Nona. Terima kasih.”
Rahes pun masuk, sedangkan Anna hendak kembali ke kamar. Namun, gadis itu lupa jika besok jadwalnya akan lebih pagi karena ia harus mampir ke suatu tempat sebelum ke kampus. Jadi, ia kembali ke kamar Rahes dan tanpa permisi membuka pintunya yang tidak terkunci.
“Rahes, besok ….”
Suara Anna tercekat di tenggorokan ketika melihat pemandangan di dalam ruangan itu. Rahes sedang membuka kausnya hingga otot-ototnya terlihat sempurna. Anna jelas terkesiap karena ini kali pertamanya melihat tubuh pria yang begitu mempesona.
“Nona Anna. Apa ada yang ketinggalan?” tanya Rahes kemudian.
“Emm … enggak ada. Aku … aku cuma mau bilang kalau besok kita harus berangkat lebih pagi,” ucap Anna tergagap.
“Siap, Nona,” jawab Rahes sambil tersenyum.
Pria itu mengabaikan majikannya yang terkesima melihat tubuhnya yang keras. Ya, tentu saja. Bukan hanya Melisa, Anna juga gadis yang sangat normal. Ketika melihat otot-otot itu tampak keras, darah mereka berdesir kencang.
Anna lantas kembali ke kamarnya dengan tatapan linglung. Masih jelas diingatannya bagaimana padatnya perut dan d**a Rahes. Oke, ia tak boleh seperti ini. Akan sangat riskan jika tiba-tiba ia mempunyai perasaan lebih pada sopirnya. Terlebih, Rahes baru sehari bekerja.
“Ayolah Anna, waraskan pikiranmu,” bisik gadis itu pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Melisa yang masih ada di garasi melihat dari kejauhan bagaimana raut wajah sang putri usai masuk ke kamar Rahes. Pria berondongnya mungkin tidak tertarik dengan sang putri. Namun, bagaimana jika Anna menaruh perasaan lebih pada pria itu.
“Enggak. Anna pasti punya standar tinggi untuk jatuh cinta. Dia enggak mungkin tertarik pada Rahes,” bisiknya meyakinkan dirinya sendiri.
Melisa membuang napasnya dengan gusar. Lalu memejam sesaat. Sentuhan Rahes tadi membuatnya panas dingin. Namun, menyusul pria itu ke kamarnya bukankah keputusan tepat. Sebab, sang suami juga sedang berada di rumah saat ini. Jadi, ia memutuskan kembali ke kamarnya saat itu juga.
Sementara di kamarnya, Rahes mengambil duduk di tepi ranjang. Ia menatap seisi ruangan yang dulu pernah ia kunjungi ketika kecil. Ini masih sama. Bahkan rumah ini juga tidak berubah.
Rahes memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Dengan berbantal lengan, pria itu mulai menyusun rencana. Yang pertama harus ia lakukan adalah menghancurkan pernikahan Melisa dan Sanjaya. Kedua orang itu harus sampai berpisah agar ia lebih mudah membalas dendam atas semua yang telah terjadi. Jadi, ia harus menunjukan perasaan tertariknya pada Melisa hingga ia lupa diri dan meninggalkan suaminya.
Rahes mengambil ponselnya. Ia hendak mengirim pesan pada Melisa ketika satu pesan masuk dari nomer tak dikenal. Gegas ia membaca pesan tersebut.
[Rahes, ini Anna. Simpan nomerku agar mudah menghubungimu]
Rahes terdiam. Ia membuang napasnya dengan kasar karena dari semua hal yang akan ia lakukan ini, Anna yang akan menjadi korbannya. Lantas, apa yang harus ia lakukan pada gadis itu?
[Baik, Nona]
Rahes meletakkan ponselnya, lalu memejam sesaat. Ia harus merencanakan semuanya dengan matang agar tidak ada yang terlewatkan. Yang pertama adalah Melisa. Jadi, ia harus sedikit nekat agar wanita itu yakin bahwa ia memang memiliki perasaan itu padanya.
Rahes kemudian membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dan berjalan-jalan melewati lorong yang menghubungkan paviliun ART dan rumah utama. Saat itu, ia bertemu ART keluarga Sanjaya. Marni tersenyum demi menyapa sopir baru yang menggantikan Darman mulai hari ini. Lalu berbincang sebentar.
“Kalau kamu lapar, masih ada makanan di dapur karyawan. Di balik pintu itu. Buka lemarinya,” kata Marni.
“Terima kasih, Bu. Nanti kalau lapar saya akan ambil sendiri,” sahut Rahes.
“Baiklah. Saya masuk dulu.”
“Emm … sebentar, Bu. Saya mau tanya. Itu yang paling ujung kamar siapa? Soalnya ini sudah malam dan lampunya belum dimatikan,” kata Rahes pura-pura bertanya.
“Oh, itu kamarnya Nyonya. Kalau Tuan … tidur di kamar paling ujung. Jangan tanya kenapa, ya. Itu bukan ranah kita untuk tau. Nyonya Melisa memang tidak pernah mematikan lampu kamarnya ketika tidur,” jelas Marni.
Rahes mengangguk. Ia lantas berterima kasih pada wanita itu. Pria itu kemudian mengambil ponsel dan mencoba mengirim pesan pada Melisa yang saat ini masih terjaga.
[Aku ada di luar]
Buru-buru Melisa bangkit dan melihat dari balkon kamarnya. Rahes tampak berdiri di samping kolam renang dan menatap ke kamarnya dengan tenang. Melisa lantas melakukan panggilan pada pria itu dengan cepat.
“Apa yang kamu lakukan, Rahes?” tanya Melisa.
“Aku kangen sama Tante Melisa,” ucapnya seraya mendongak ke arah balkon di mana Melisa berada.
Wanita itu memejamkan mata. Bagaimana mungkin berondong seperti Rahes sampai nekat melakukan ini? Apakah benar ia jatuh cinta padanya. Malam ini, Sanjaya tidak pulang terlambat. Sang putri juga ada di rumah. Jadi, bagaimana ia menghadapi Rahes.
“Tante, aku naik ke kamar Tante, ya,” kata Rahes.
“Kamu gila. Mana mungkin, Rahes. Ada Anna dan suamiku. Mereka pasti melihatmu kalau kamu nekat masuk,” kata Melisa.
“Tante tenang aja. Aku jamin mereka enggak akan tau.”
Rahes menutup sambungan telepon tanpa menunggu persetujuan dari Melisa. Wanita itu jelas ketar-ketir karena Rahes termasuk pria yang sangat nekat. Lantas, apa yang harus ia lakukan?
Sementara itu, Rahes melihat situasi. Ia harus memastikan tidak ada yang melihatnya ketika ia naik ke balkon kamar Melisa melalui tiang di bawahnya. Itu adalah hal yang mudah bagi Rahes karena ia telah terlatih untuk hal yang demikian. Jadi, ketika situasinya aman, Rahes melancarkan aksinya. Sampai akhirnya ia berhasil menyelinap ke dalam kamar Melisa melalui balkon.
“Tante,” sapanya setelah berhasil masuk ke kamar wanita itu.
Melisa menoleh. Ia melongo melihat pria itu telah sampai di sana tanpa ketahuan siapa pun. Saat itu, Rahes langsung mendekat dan menciumi Melisa seolah-olah ia memang sangat merindukan wanita itu.
“Rahes, kamu gila. Bagaimana kalau ada yang melihatmu?” tanya Melisa.
“Aku bisa makin gila kalau enggak ketemu sama Tante Melisa. Aku kangen banget, Tante.”
Pria itu kembali memeluk Melisa dengan erat. Bahkan membawa wanita itu dalam gendongan. Rahes merebahkan Melisa di ranjang dan mengulurkan tangannya untuk mematikan lampu.
“Jangan, Rahes! Aku enggak bisa–”
“Tante takut gelap? Tenang saja, Tante. Ada aku di sini,” bisik Rahes mencoba menenangkan Melisa.
Ketika kemudian pria itu mematikan lampu dan hanya temaram lampu tidur yang masih menyala. Keduanya saling tatap sampai akhirnya Rahes memulai aksinya dengan mencium bibir Melisa lembut. Sialnya, tak lama setelah itu ketukan di pintu menarik perhatian keduanya. Rahes dan Melisa terkesiap. Keduanya hendak bangkit ketika pintu itu terbuka dari luar. Dan sosok Anna muncul di ambang pintu.
“Ma, kok, gelap? Bohlamnya mati?” tanya gadis itu seraya meraih saklar lampu dan menyalakannya.