“Darman pulang kampung? Sepertinya ada yang janggal,” ucap Sanjaya usai membuang asap rokoknya ke udara.
Ia masih memikirkan ucapan sang istri tadi mengenai sang sopir. Darman telah bekerja di sini sejak rumah ini dimiliki oleh sang kakak. Lantas, beralih mengabdi kepadanya setelah kakaknya meninggal. Selama itu pula, pria itu tidak pernah izin untuk pulang kampung. Bahkan Sanjaya yakin Darman tidak punya keluarga. Lantas, apa yang dilakukan pria itu?
“Aku harus cari tau. Mungkin dia memang punya keluarga di kampung yang aku enggak tau,” ucap Sanjaya kemudian.
Pria itu mematikan rokok dan bergerak mendekati ranjang. Ponselnya meraung-raung sejak tadi. Jadi, ia ingin melihat siapa yang menghubunginya saat ini. Senyum pria itu terkembang ketika melihat sebuah foto dikirim sekretarisnya.
“Aah … sialan. Kenapa dia selalu memancingku seperti ini,” bisik Sanjaya ketika melihat foto Naomi dengan pakaian malam.
Ya, gadis itu adalah simpanan Sanjaya. Gadis yang dimaksud Melisa selama ini. Hubungan diam-diam mereka sudah terendus sejak lama oleh sang istri. Hanya saja, Sanjaya belum mengakuinya secara gamblang. Sementara itu di kamar Melisa.
“Sayang, kamu … ngapain ke sini?” tanya Melisa seraya turun dari ranjang.
Wajahnya tampak pucat karena sang putri mendadak muncul. Untunglah, Rahes dengan cepat turun dan bersembunyi di bawah ranjang. Sementara Anna yang masih merasa heran karena sikap sang mama hanya bisa terdiam. Ya, Melisa paling benci jika lampu dimatikan. Namun, malam ini ia memilih tidur dalam gelap. Belum lagi wajah pucat Melisa yang seakan-akan baru saja tertangkap basah, makin membuat Anna bertanya-tanya.
“Mama baik-baik aja, kan?” tanya Anna.
“Ya, Mama enggak apa-apa, Sayang,” sahut Melisa seraya memperbaiki pakaiannya.
Ia mendekati sang putri yang saat ini sedang berdiri tak jauh darinya.
“Kamu kenapa ke sini? Belum ngantuk?” tanya Melisa kemudian.
“Iya, Ma. Anna enggak bisa tidur. Eh, Mama tau enggak, Rehas itu orangnya baik banget, loh, Ma. Dia juga sopan banget lagi sama Anna. Kayaknya Anna bakal cocok di sopirin sama dia,” ucap gadis itu kemudian.
Entah kenapa, hati Melisa mendadak kecut mendengar ucapan sang putri. Apa yang dikatakan oleh Anna seolah-olah menjelaskan bahwa ia menyukai pria itu. Ya, pasti begitu, pikir Melisa.
“Sebaik apa pun dia, kamu tetap harus ingat. Dia itu sopir, kamu majikannya,” ucap Melisa kemudian.
“Mama, kan, ngajarin untuk tidak membeda-bedakan status. Kenapa sekarang jadi ngomong begini?” tanya Anna.
Melisa membuang napasnya dengan kasar. Entah bagaimana ia mendeskripsikan perasaannya saat ini. Rehas itu menyukainya. Jadi, ia tak mau sang putri patah hati nantinya. Tentu saja ia tahu itu akan terjadi, sebab dari cara bicara Anna ia bisa melihat bahwa gadis itu menyukai berondong tampannya.
“Maksud Mama, kamu baru kenal dia sehari. Masih butuh banyak waktu untuk menyimpulkan bahwa dia sebaik yang kamu pikir, Anna. Sudah, ya. Mama ngantuk. Besok katanya kamu juga harus bangun pagi,” ucap Melisa mencoba membuat Anna tidak berpikir terlalu jauh.
“Oh, gitu maksudnya. Iya, Ma. Besok mau mampir ke percetakan juga ambil tugas,” kata Anna.
“Ya, udah sana balik ke kamar. Selamat malam, Sayang,” ucap Melisa seraya mengecup kening sang putri lembut.
Gadis itu tersenyum, lalu berbalik badan dan berlalu dari kamar sang mama. Saat itu, Melisa buru-buru mengunci pintunya dan segera membalik badan. Rahes telah keluar dari kolong ranjang dan berdiri tak jauh dari sana dengan gagah.
“Aah … hampir saja Anna tau kamu ada di sini,” ucap Melisa seraya mengusap keningnya.
“Baru hampir, Tante. Anna belum lihat aku tadi,” kata Rahes seraya mendekati wanita itu.
Namun, tangannya buru-buru ia tepis karena … entahlah. Rasanya Melisa jadi cemburu mengingat ucapan sang putri. Ya, Rahes memang pria yang sangat hangat. Jadi, bisa saja hati Anna tercuri dengan perlakuannya.
“Mendingan kamu balik ke kamar. Aku enggak mau ada yang melihatmu di sini, Rahes,” kata Melisa seraya bersedekap.
Wanita itu membuang pandangan ke arah lain demi bisa menghindari tatapan mata mematikan milik Rahes. Ya, Melisa bisa saja luluh begitu saja jika melihatnya.
“Satu lagi. Jangan terlalu baik sama Anna. Aku enggak mau di berpikir terlalu jauh tentang kamu,” imbuh wanita itu.
Sudut bibir Rahes terangkat. Jadi, ini sebabnya. Baiklah, sepertinya Melisa mulai benar-benar jatuh hati padanya. Kalau sudah begini, berarti rencana pertamanya berhasil. Rahes lantas memeluk Melisa erat dan mencium pipinya dengan lembut.
“Tante cemburu sama anak sendiri?” ucap Rahes.
“Apa? Cemburu. Kamu ngomong apa, Rahes?”
Melisa balik bertanya. Ia mencoba menutupi kebenaran bahwa hatinya memang cenat-cenut ketika tadi Anna menceritakan betapa Rahes sangat baik dan perhatian. Namun, mengatakan bahwa ia cemburu bukan juga keputusan tepat. Apakah hatinya sudah seserius itu kepada berondong satu ini?
“Aku cuma cinta sama Tante Melisa. Jadi, jangan pernah cemaskan apa pun,” bisik Rahes kemudian.
Melisa menoleh dan menatap iris abu-abu Rahes yang hangat. Pria di depannya begitu serius berkata demikian. Apakah itu benar?
Tanpa aba-aba, Rahes membuang pakaian malam yang dikenakan Melisa dengan cepat. Hingga yang tersisa hanya penutup d**a dan tubuh bagian bawahnya. Pria itu lantas mengangkat tubuh wanita itu dalam gendongan dan membawanya ke ranjang dengan cepat. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat, sampai akhirnya Rahes memulainya.
Ia menciumi wajah Melisa hingga napas wanita itu memburu. Selanjutnya, menyusuri tubuh Melisa tanpa melewatkan seincipun. Saat itu, Melisa yang berdebar-debar hanya bisa memejam. Aah … apakah kenikmatan yang waktu itu akan terulang? Batinnya.
Dan Rahes benar-benar mewujudkan angan Melisa malam itu. Keduanya berbagi peluh tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Pada ranjang yang dulunya adalah tempat ternyaman Melisa dengan Sanjaya, pria itu mengobrak-abrik pertahanan Melisa hingga wanita itu tak lagi bisa menahan dirinya. Sampai akhirnya, Rahes menyelesaikan semuanya.
Pria itu melempar tubuhnya ke samping Melisa yang telah kehabisan tenaga. Mereka masih sibuk berebut oksigen demi memenuhi paru-paru mereka yang terasa panas. Sampai akhirnya semuanya berangsur normal.
Rahes bangkit dan memunguti celananya di lantai, lalu memakainya. Ia menatap Melisa yang hampir menjemput mimpi dengan saksama dan tersenyum kecil. Baru kemudian mendekati wanita itu. Rahes mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangannya demi mengusap kening Melisa yang basah dengan keringat.
“Tante,” panggilnya.
Tangan Melisa mengusap punggung tangan Rahes dengan lembut, lalu membuka mata.
“Kamu gila, Rahes,” bisik Melisa.
“Tapi Tante suka, kan? Aku akan terus melakukannya kalau begitu,” katanya.
Melisa membuka matanya lebar-lebar menanggapi ucapan pria itu. Terus melakukannya? Aah … mana mungkin. Walaupun itu membuat Melisa kepayang, nyatanya ia masih istri orang,
“Kembalilah ke kamarmu. Kamu harus bangun pagi besok,” kata Melisa kemudian.
“Iya, Tante. Terima kasih untuk malam ini.”
Rahes menyematkan kecupan di pipi wanita itu. Lantas, menyahut kemejanya dan keluar melalui balkon. Dengan hati-hati ia turun agar tidak terlihat. Lalu, berjalan biasa menyusuri lorong menuju ke kamarnya di paviliun belakang.
Pria itu tampak waspada ketika menyadari kehadiran seseorang. Ketika kemudian, suara bariton terdengar menyambangi rungunya.
“Hai, kamu. Berhenti!”
Rahes mengerem kakinya. Ia mulai berdebar-debar ketika tahu siapa pemilik suara itu. Sanjaya. Lantas, apakah pria itu melihat Rahes turun dari balkon kamar Melisa tadi? Batin Rahes. Pria itu kemudian memutar badan dan menatap Sanjaya lekat.
“Iya, Pak,” sahutnya.