Hanan mematikan mesin mobil setelah memarkirnya. Ia lalu melepas sabuk pengaman. Begitu juga dengan Naya yang ada di kursi penumpang sebelahnya. Sedang Irma, ada di belakang.
"Sesuai map, tempatnya ini," ujar Hanan. "Ternyata, tidak begitu jauh," lanjutnya.
"Benar. Aku tidak menyangka kalau tempatnya lumayan jauh," kata Irma. "Aku akan turun!" Irma membuka pintu mobil. Hanan dan Naya mengikuti.
"Eh, Ir! Kamu semalaman ada di sini? Pulang jam berapa kalau sore menjelang malam begini, baru mau mulai?" tanya Naya.
"Tenang saja. Mereka sudah menyediakan hotel untukku. Katanya ada di dekat lab ini juga," jawab Irma sembari menunjuk gedung yang akan ia masuki. "Pasti, nanti ada yang akan menjemputku. Aku tidak sendirian kok. Di dalam juga ada beberapa teman," tambahnya lagi.
"Ya sudah. Aku bisa tenang kalau begitu," kata Naya.
"Ya, meskipun nanti aku pulangnya tengah malam," kata Irma sambil terkekeh. "Eh! Mas Hanan, terima kasih banyak sudah mengantarku ke sini." Irma menoleh ke arah Hanan.
"Sama-sama," ucap Hanan tersenyum. "Kalau butuh apa-apa, hubungi kami lagi," tambahnya.
"Pastinya," ucap Irma dengan tersenyum lebar.
"Hati-hati ya Ir. Semoga lancar." Naya mengusap pundak Irma.
"Iya, Nay. Aku masuk dulu ya," pamit Irma untuk terkahir.
Irma lalu berjalan masuk ke gedung yang ada di depannya. Meninggalkan Hanan dan Naya berdua. Sekarang, mereka berduaan kembali. Naya, menoleh ke arah Hanan.
"Terima kasih ya, Mas. Sudah mau mengantar Irma," kata Naya lagi.
"Sama-sama," jawab Hanan lembut.
"Jarak dari rumah, lumayan jauh. Tidak terasa kalau sudah mulai malam ya, Mas," kata Naya.
"Benar juga." Hanan ikut setuju. Ia melihat sekitar tempat gedung itu. Sambil menyapu pandangan.
"Untung Mas Hanan besok libur. Jadi, setelah pulang ke rumah, Mas Hanan langsung istirahat saja," kata Naya.
"Nay!" panggil Hanan. Ia seolah tidak mendengar ungkapan Naya baru saja.
"Iya, Mas?" jawab Naya.
"Ternyata, tempatnya lumayan ramai juga, ya?" ujar Hanan. Naya ikut memperhatikan sekitar.
"Iya. Lihat, di sepanjang jalan, banyak sekali stand makanan," tambah Naya. "Mungkin karena ini weekend, Mas."
Hanan semakin mengamati suasana sekitar. Di seberang jalan, ada jembatan yang menghubungkan sungai, bersama dengan lampu-lampu terang gemerlipan. Suasananya sangat romantis.
"Pasti sangat menyenangkan," kata Hanan dalam hati. Ia lalu tersenyum tipis.
"Nay."
Hanan memanggil lagi. Membuat Naya, menoleh ke arahnya. Hanan berdehem, memberanikan diri untuk berbicara. Naya masih menunggu.
"Ee... karena ini weekend... bagaimana... kalau kita jalan-jalan sebentar?" ajak Hanan yang sedikit salah tingkah.
Naya terdiam sebentar. Ia kemudian kembali melihat sekitar. Bersamaan dengan di dalam kepalanya yang masih mencerna sesuatu.
"Lagi pula, apa kamu tidak bosan di rumah terus?" tanya Hanan lagi.
"Iya juga ya, Mas. Kalau dipikir-pikir, aku lama juga tidak keluar," ujar Naya. Hanan sangat senang mendengarnya. Tapi, ia tidak menunjukkannya.
"Kalau begitu, kita coba ke jembatan itu," ajak Hanan. Naya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Hanan dan Naya, berjalan berdua ke arah jembatan yang romantis tadi. Sambil melihat pemandangan yang indah di malam hari. Membuat hati terasa sangat nyaman.
Mereka lalu berhenti saat sudah di tepi jembatan. Keduanya, melihat air mancur dari kolam yang berwarna-warni dengan cahaya lampu. Seakan-akan sudah seperti pasangan suami istri yang sebenarnya.
"Aku baru tahu tempat ini," kata Naya dengan melihat pemandangan. Hanan menoleh ke arah Naya. "Kalau di pikir, mungkin aku memang kurang pergaulan. Aku baru tahu tempat sebagus ini, sekarang," lanjutnya.
"Kalau kamu berkata begitu, berarti aku juga kurang pergaulan," kata Hanan. Naya ikut menoleh melihat Hanan. "Aku juga baru tahu tempat ini."
"Benarkah? Tapi, Mas Hanan kan sering berpetualang? Aku masih ingat, dulu Mas Hanan menjadi ketua pecinta alam saat SMA."
"Kamu masih ingat juga?!"
"Tentu saja. Berbanding terbalik denganku. Aku sama sekali tidak suka berpetualang." Naya tertawa mengingat masa-masa SMA.
"Ya. Kesukaan kita memang jauh berbeda saat itu," kata Hanan lagi. "Siapa yang tahu sekarang kita malah menikah," lanjut Hanan dengan tersenyum.
Naya perlahan menoleh ke arah Hanan. Ia memperhatikan Hanan yang masih melihat ke depan dengan menerawang. Ia pun ikut tersenyum.
"Benar juga." Naya ikut setuju. "Tidak akan ada yang menyangka kalau kita menikah," tambahnya.
"Jujur saja... saat ini, aku tidak menyesal dengan pernikahan kita," kata Hanan lagi.
Naya tercekat mendengar ungkapan Hanan. Ia lalu kembali menoleh ke arah Hanan. Hanya bisa mengerjapkan matanya melihat Hanan. Hanan pun ikut menoleh ke arah Naya.
"Sebenarnya, sebelum menikah denganmu, aku pernah merasa frustasi karena putus cinta. Aku merasa kesepian dan selalu saja sendiri. Aku malu bercerita pada teman-temanku, jika itu hanya persoalan hati," ungkap Hanan. Naya diam mendengar Hanan.
"Jadi, aku lebih memilih untuk diam, dan tidak menceritakannya pada siapapun. Karena aku pikir, masalah seperti itu, memang tidak penting. Tapi, sebenarnya kadang aku juga tetap ingin bercerita pada seseorang. Ketika kamu bilang kamu mau mendengar masalahku, saat itu aku baru merasa memiliki teman yang tepat," kata Hanan lagi.
"Terima kasih, kamu sudah mau mendengar dan bisa mengerti," ungkap Hanan kembali dengan tersenyum.
Naya masih membisu mendengar ungkapan tulus Hanan. Sejujurnya, ia masih belum bisa membalas pernyataan Hanan. Tapi jika mau diungkapkan, Naya merasakan sebuah perasaan aneh yang muncul dalam hatinya. Hanya saja, ia masih belum tahu apa itu?
Mereka masih saling tatap. Mata mereka seperti saling berbicara. Mendadak, atmosfer di antara mereka berubah menjadi hangat. Pergerakan sekitar, seolah berjalan melambat. Di tempat yang cukup ramai itu, serasa hanya ada mereka berdua saja.
Tiba-tiba, ponsel Hanan berdering. Membuat Hanan dan Naya saling sadar jika mereka sekarang ada di tempat umum. Hanan segera mengambil ponselnya. Sedang Naya, segera mengalihkan pandangan dari Hanan.
"Halo, Lang?" Hanan setelah menempelkan ponsel ke telinganya. "Ya. Besok, aku akan mengirimkan laporannya. Sekarang sedang weekend, apa kau tidak bisa mengirim pesan saja?!" ujar Hanan nampak kesal.
"Ya...ya. Aku tahu. Aku tutup!" kata Hanan lagi. Ia kemudian menjauhkan ponsel dari telinga. Memutus panggilan dari Gilang.
"b******k! Mengganggu saja!" umpat Hanan dalam hati. Ia lalu kembali menoleh ke arah Naya.
"Gilang, dia selalu saja merepotkan," kata Hanan pada Naya sembari tertawa kaku. Naya tersenyum.
"Mas Gilang, dari dulu memang dekat dengan Mas Hanan, ya?" tanya Naya.
"Iya. Dari dulu juga, dia selalu saja mengganggu." tambah Hanan lagi.
Naya tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu kembali melihat pemandangan. Hanan pun ikut mengalihkan pandangannya, melihat ke sekitar jalan.
"Nay, lihat. Ada bioskop di sana!" seru Hanan menunjuk ke sebuah arah. Naya menoleh ke arah yang ditunjuk Hanan.
"Wah, ternyata di sini ada tempat bioskop juga?" ujar Naya. Melihat gedung bioskop yang menarik, membuat Hanan terpikir sesuatu.
"Nay. Bagaimana, kalau kita ke sana melihat film? Aku, sudah lama sekali tidak melihat film," ajak Hanan untuk kedua kali.
"Ide yang bagus," kata Naya setuju.
Hanan sangat senang sekali. Rasanya, ia ingin melompat saja. Tapi, berhubung ada Naya di depannya, ia harus mengontrol sikapnya.
"Kamu, suka film apa?" tanya Hanan.
"Semuanya aku suka. Tapi, sepertinya malam ini aku ingin melihat action. Kalau mas Hanan?" tanya Naya.
"Pilihan yang tepat. Aku juga suka!" kata Hanan. Mereka saling tersenyum.
"Eh, aku mau beli minum untuk kita dulu, ya. Tunggu di sini sebentar. Setelah itu, kita baru masuk," ujar Hanan. Naya mengangguk menuruti pinta suaminya.
Hanan kemudian berjalan menjauh. Ia menghampiri kedai Thai tea yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya. Naya menunggunya.
Sembari menunggu, Naya terus memperhatikan Hanan saat membeli minum. Naya tersenyum melihat suaminya itu.
Saat ini, ada perasaan bahagia yang muncul begitu saja. Naya tidak bisa menjelaskan karena apa? Hanya saja, saat bersama Hanan...
"Nay!"
Tiba-tiba, ada yang memanggil Naya dari arah berseberangan. Menghentikan Naya memikirkan Hanan begitu saja.
Naya refleks, menoleh ke arah suara yang memanggilnya dengan cepat. Saat Naya tahu siapa yang memanggilnya, perlahan senyumnya menghilang.
"Rian? Ninggar?" Naya balik menyapa. Seluruh atmosfer hangat yang baru muncul, mendadak berubah menjadi dingin.