Hanan membuka pintu rumahnya. Saat itu, ia langsung menjumpai Naya dan Irma yang duduk di sofa. Hanan tersenyum ke arah Irma, ramah. Sedangkan Irma dan Naya, segera berdiri.
"Mas Hanan, sudah pulang? Cepat sekali?" tanya Naya. Hanan tersenyum menanggapinya.
"Aku pikir, ada tamu. Jadi, aku ingin pulang cepat untuk ikut menyambutnya," jawab Hanan yang berjalan ke arah Naya dan Irma.
"Loh! Kenapa, Mas Hanan bisa tahu aku di sini?" tanya Irma pada Naya.
"Tadi, aku memberitahu Mas Hanan lewat pesan," ujar Naya.
"Oh... begitu." Irma mengangguk-anggukkan kepalanya. Sembari Hanan yang terus berjalan mendekat ke arah Naya dan Irma.
"Irma kan?" tanya Hanan yang sudah berdiri di samping Naya dan Irma.
"Ya!" seru Irma. "Mas Hanan masih ingat denganku?" tanyanya senang.
"Tentu saja," jawab Hanan dengan tersenyum.
"Terima kasih, Mas. Sudah membolehkan saya mampir ke sini" ujar Irma sembari menyodorkan tangannya pada Hanan.
"Justru aku yang berterima kasih, karena sudah mau mampir dan menemani Naya," balas Hanan mengalami Irma.
Irma terkejut mendengar ungkapan Hanan. Ia melirik ke arah Naya dengan memberikan ekspresi menggoda. Apa lagi Naya saat ini? Naya juga melebarkan kedua mata, kaget dengan Hanan yang mengatakan hal seperti itu?
"Maaf sebelumnya ya, Mas. Aku datang ke rumah Mas Hanan, tanpa memberitahu Naya dulu," kata Irma lagi.
"Tidak apa-apa. Rumahku adalah rumah Naya juga," kata Hanan lagi.
Lagi-lagi, Naya tercekat mendengarnya. Meskipun semua hal yang dikatakan Hanan itu memang benar, tapi tetap saja ada rasa canggung dari itu.
"Whooo... ternyata memang tidak salah cerita Naya. Mas Hanan adalah orang yang ramah dan sangat perhatian," kata Irma.
Kali ini, gantian Hanan yang tercekat. Ia menoleh ke arah Naya dengan tatapan heran. Benarkah Naya mengatakan begitu pada temannya?
Sedangkan Naya, juga menoleh ke arah Hanan, lalu segera mengalihkan pandangan lagi dari Hanan. Merasa salah tingkah. Dasar Irma sialan! Pikirnya.
"Ngomong-ngomong, ini sudah jam empat lebih. Kenapa kamu masih belum dijemput?!" tanya Naya yang segera mengalihkan pembicaraan. Mengembalikan fokus semua.
"Oh iya!" ujar Irma baru ingat. "Sebentar. Aku akan mencoba menghubungi mereka dulu," kata Irma lagi.
Irma kemudian berjalan menjauh meninggalkan Naya dan Hanan berdua. Naya harus menahan kekesalan pada Irma, sudah membuat suasana antara dirinya dan Hanan menjadi semakin canggung saja.
"Oh iya, Nay. Tadi, ada paket lagi di samping pintu," kata Hanan yang dari tadi membawa sebuah kotak kecil. Sekarang, ia akan memberikannya pada Naya.
"Paket?" ulang Naya.
"Aku tidak memesannya. Mungkin untukmu," ujar Hanan lagi.
Hanan berjalan lebih dekat ke arah Naya. Ia berniat memberikan paketnya pada Naya. Naya menunggunya.
Namun, begitu Hanan semakin mendekat, tiba-tiba Naya teringat kejadian tadi malam. Saat mereka berdua ada di dalam lift. Naya merasa tersipu dengan sendirinya.
"Ini paket..."
"Terima kasih!"
Sebelum Hanan mendekat, Naya segera mengambil paket itu dengan tangannya cepat. Naya bahkan memotong kalimat Hanan yang akan memberikan paket itu pada Naya. Membuat Hanan bingung. Naya lalu melihat paketnya dengan membacanya cepat.
"Oh, ini dari temanku. Aku simpan dulu ya, Mas!" ujar Naya juga dengan cepat.
Kemudian, Naya langsung berjalan menjauhi Hanan. Membuat Hanan merasa aneh dengan sikap Naya. Padahal, Naya hanya salah tingkah karena ingatannya di lift tadi malam.
"Kenapa dia?" Hanan berbicara sendiri amat pelan, sehingga Naya tidak bisa mendengarnya.
"Apa?!" Tiba-tiba, Irma berteriak ke arah ponsel yang masih menempel di telinganya.
Membuat Hanan dan Naya menoleh ke arahnya. "Kenapa mendadak seperti ini?! Lalu, proyek saya bagaimana?!" lanjut Irma yang masih berbicara melalui ponsel.
Naya dan Hanan masih memperhatikan Irma. Mereka lalu saling berpandangan sejenak. Heran dengan sikap Irma yang sepertinya mendadak panik itu.
"Ya sudah. Saya usahakan dulu," kata Irma. Lalu, ia menutup panggilannya. Setelah itu, Irma berjalan ke arah Naya cepat.
"Nay...Nay. Tolong aku," kata Irma dengan ekspresi bingung.
"Kenapa kamu, Ir? Ada masalah?"
"Ternyata, orang yang menjemputku, mendadak tidak bisa. Aku sama sekali tidak diberitahu sebelumnya. Jadi, aku harus ke laboratorium itu dulu," kata Irma. "Apa, kamu mau menemaniku memanggil taksi? Aku sama sekali tidak tahu daerah sini."
"Oh, begitu," tanggap Naya. "Kalau begitu aku akan..."
"Tidak perlu taksi," potong Hanan cepat. Menghentikan Naya yang sedang berbicara. Hanan ternyata sudah ada di samping Naya. "Pakai mobilku saja," lanjut Hanan.
"Tapi Mas, aku kan belum begitu lihai menyetir. Aku juga belum punya SIM," ujar Naya.
"Aku yang akan menyetir," tambah Hanan.
"Apa?" tanya Naya untuk memastikan.
"Tentu saja aku tidak hanya meminjamkan mobil. Aku yang akan mengantar," kata Hanan lagi.
"Oh! Tidak usah Mas. Mas Hanan kan..."
"Benarkah?!" seru Irma memotong kalimat Naya yang akan menolak Hanan.
Naya tercekat akan kalimat positif dari Irma. Ia menoleh ke arah Irma dan memberi kode untuk tidak menerima tawaran Hanan. Namun, sepertinya Irma sama sekali tidak menghiraukan.
"Syukurlah kalau begitu. Aku sangat beruntung bisa ada di sini. Terima kasih banyak, Mas. Aku akan siap-siap. Tidak perlu buru-buru. Mas Hanan, silahkan mandi dulu, lalu kita berangkat!" kata Irma begitu saja. Naya hanya melebarkan kedua matanya dan merapatkan bibirnya karena kesal akan sikap temannya itu.
"Kamu betul Nay. Mas Hanan adalah suami yang sangat perhatian," ujar Irma girang.
Naya semakin melebarkan kedua matanya karena malu. Hanan pun terlihat terkejut mendengarnya. Setelah mengatakan itu, Irma berbalik dari Hanan dan Naya. Ia lalu berjalan menjauh dengan bersemangat.
Setelah Irma pergi, Naya merasa suasana semakin canggung saja. Naya hanya berdua dengan Hanan sekarang. Naya lalu perlahan melihat ke arah Hanan.
"Haha... Benar-benar, teman yang merepotkan," ujar Naya sambil tertawa salah tingkah. Hanan hanya tersenyum mendengar Naya.
"Tapi, apa Mas Hanan benar-benar bisa mengantar Irma? Mas Hanan kan baru saja pulang kerja? Apa tidak lelah?" tanya Naya yang segera mengganti ekspresi wajahnya menjadi cemas.
"Besok kan sudah akhir pekan. Aku sudah libur. Jadi, tidak masalah," jawab Hanan. Naya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Ia lalu melirik ke arah Irma yang masih kegirangan.
"Kenapa dia malah ada proyek di akhir pekan?" gerutu Naya pada Irma. Namun, Hanan masih bisa mendengarnya. Hanan kembali tertawa kecil.
"Tidak apa-apa, Nay," kata Hanan, membuat Naya kembali menoleh ke arah Hanan. "Lagi pula, sedikit bahaya kalau perempuan pergi sendirian tanpa tahu arah. Kasihan temanmu," lanjutnya.
"Terima kasih, Mas. Maaf, temanku datang hanya untuk menyusahkan," kata Naya yang masih merasa tidak enak.
"Jangan berpikir begitu. Lagi pula, temanmu kan temanku juga," kata Hanan.
Naya terhening beberapa waktu. Mendengar Hanan bersuara lembut seperti itu, membuatnya terpana sekejap. Yang pada akhirnya, membentuk sebuah memori yang mungkin ke depannya susah untuk dihilangkan dari kepalanya.