Hanan mengetik di layar keyboard komputernya. Ia membaca data yang ada di depan matanya. Sekitar lima belas detik, Hanan mulai merasa jenuh.
Hanan menutup kedua matanya rapat-rapat. Menghela nafas dengan kasar. Akhirnya ia menyerah juga. Menjauhkan badannya dari komputernya.
Hanan lalu berdiri dan menggulung baju lengannya sambil berjalan ke arah jendela. Melihat ke arah luar jendela. Sebenarnya, dari tadi Hanan sangat sulit untuk berkonsentrasi. Ia tidak bisa bekerja dengan baik. Ada hal yang membuat Hanan merasa berat hari ini.
"Han?!"
Suara Gilang muncul seperti biasanya. Gilang membuka pintu Hanan dari luar, bersamaan dengan melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Hanan. Hanan tetap tidak merubah posisinya.
"Ada apa? Kau mengajak istirahat? Padahal istirahat baru saja dimulai," kata Hanan langsung menebak keinginan Gilang seperti biasa. Ia bahkan tidak melihat ke arah Gilang.
"Aku datang membawa istrimu," ujar Gilang membuka pintu Hanan dengan lebar.
Hanan tersentak mendengar ungkapan Gilang. Sontak, ia langsung saja membalikkan badan, melihat ke arah pintu. Saat pintu dibuka lebar, memang benar Naya sudah berdiri di samping Gilang. Melihat Naya ada di kantornya, aliran di kepala Hanan, mendadak berhenti sejenak.
Hanan hanya terdiam melihat Naya di sana. Naya berdiri dengan tersenyum ke arahnya. Ia membawa sebuah kotak lumayan besar yang dibopongnya.
"Terkejut kan?!" Gilang menaikkan salah satu alisnya dengan senyum menggoda.
"Naya?" sapa Hanan masih keheranan.
"Maaf, aku datang mendadak, Mas," kata Naya.
Sementara Hanan dan Naya hanya terdiam, Gilang menyuruh Naya untuk masuk ke ruangan Hanan. Naya mengikutinya. Mengucapkan terima kasih pada Gilang.
"Tadi, Naya ada di depan kantor. Kebetulan, aku sedang lewat dan melihatnya. Jadi, aku bawa dia ke sini," timpal Gilang.
"Terima kasih," kata Naya pada Gilang.
"Bukan masalah," jawab Gilang pada Naya. "Kalau begitu, aku akan tinggalkan kalian berdua, ya," kata Gilang masih dengan ekspresi sama di awal.
Gilang segera berbalik keluar dari ruangan Hanan. Begitu Gilang tidak ada, Hanan dan Naya hanya berdua. Suasana sedikit canggung di sana.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Hanan pada Naya.
"Aku, membawakan ini untuk Mas Hanan," ujar Naya sembari menunjukkan kotak yang ia bawa. Hanan hanya diam, melihatnya.
"Tadi malam, Mas Hanan pulang sangat malam. Tadi pagi juga, Mas Hanan berangkat pagi sekali. Aku menelpon mas Hanan berulang kali. Mengirim pesan pada Mas Hanan juga. Tapi, Mas Hanan tidak menjawabnya sama sekali. Jadi, aku pikir pasti Mas Hanan sangat sibuk. Aku bawakan makanan untuk Mas Hanan," ungkap Naya.
Hanan tidak segera menanggapi kalimat Naya. Ia hanya melihat bekal yang dibawa Naya. Butuh waktu beberapa menit sampai Hanan menjawabnya.
"Sebenarnya, aku sudah makan, siang ini," ujar Hanan datar. Jawaban itu, tentu saja membuat Naya tercekat.
"Oh... sudah makan, ya Mas?" ujar Naya dengan nada kecewa. "Padahal, aku pikir ini baru jam istirahat," gumam Naya pelan.
"Aku tadi sengaja makan cepat karena kerjaanku sangat banyak. Jadi, sekarang aku akan bekerja lagi," jelas Hanan dengan nada dingin. Ia kemudian berjalan kembali ke arah mejanya. Melihat layar komputer.
Hanan berbicara dengan tidak menatap ke arah Naya. Naya masih memproses di dalam kepalanya begitu mendengar tanggapan Hanan. Ia terus memperhatikan sikap suaminya.
"Sekarang, aku akan bekerja lagi," kata Hanan masih dengan dinginnya. Hanan lalu kembali mengetik di komputernya. Seolah tidak peduli dengan Naya.
"Apa, Mas Hanan nanti akan lembur lagi?"
"Belum tahu. Sekarang pulanglah. Aku masih banyak kerjaan." Hanan masih melakukan ekspresi yang sama. Ia menjawab dan sama sekali tidak melihat Naya.
Naya diam memperhatikan suaminya. Rasanya, ada yang salah dengan Hanan hari ini. Hanan terlihat seperti tidak biasanya.
"Kalau begitu, maaf sudah mengganggu. Aku pergi dulu, Mas," kata Naya pelan.
Naya lalu berbalik dari Hanan. Ia melangkah menjauh dan berjalan ke arah luar. Begitu Naya pergi, Hanan baru mengangkat kepalanya. Memperhatikan istrinya dari arah belakang, sampai Naya menghilang di balik pintu.
Setelah sekian detik Naya keluar, Hanan merasa kembali bergejolak. Ia menjauhkan tangannya dari keyboard komputernya. Kenapa ia bertingkah kekanak-kanakan seperti ini? Pikirnya.
Beberapa saat, terdengar suara pintu Hanan terbuka lagi dari luar. Hanan menoleh ke arah pintunya. Gilang kembali masuk.
"Cepat sekali Naya pulang?" tanya Gilang menunjuk ke arah luar dengan ibu jarinya. "Aku lihat, tadi dia membawa balik bekalnya. Ada apa?" tanya Gilang lagi.
"Aku menyuruhnya pulang!" jawab Hanan.
"Kau, tidak menerima bekal darinya?!" tanya Gilang sedikit terkejut. Hanan diam tidak menjawab pertanyaan Gilang. "Aku pikir hubunganmu dengan istrimu sudah jauh lebih baik? Tapi, sepertinya sama saja?" Hanan hanya diam mendengarnya.
"Kalau aku jadi kau, meskipun aku tidak suka caranya, aku tetap akan menerima bekal dari Naya meski tidak memakannya," tambah Gilang lagi.
"Kau memilih menjadi seorang pembohong?" ungkap Hanan.
"Bukan begitu maksudku. Tapi karena lebih menghargai istrimu saja. Tidakkah kau berpikir seperti itu?" tanya Gilang lagi. Hanan masih diam. "Dia sudah susah payah membuat bekal untukmu. Sudah berusaha sangat baik padamu. Dia juga bilang, dia menyukaimu. Apa, kau tidak sedikit keterlaluan?"
"Dia yang keterlaluan!" seru Hanan yang tidak sengaja meninggikan nada bicaranya.
"Apa?" Gilang menjadi bingung.
"Berusaha baik apanya? Dia hanya berpura-pura!" gumam Hanan pelan.
"Apa maksudmu pura-pura?"
"Selama ini, dia sudah membohongiku!" kata Hanan lagi.
"Aku, sama sekali tidak mengerti? Membohongi apa?" Gilang menaikkan kedua tangannya. Hanan menghela nafasnya.
"Dia bilang, kalau dia menyukaiku. Tapi ternyata tidak. Selama ini dia menyukai temannya. Dia telah berbohong!" seru Hanan kembali.
"Naya menyukai temannya?" tanya Gilang.
"Kau masih ingat laki-laki yang datang ke rumahku saat kau mengantarku pulang waktu itu?" tanya Hanan pada Gilang. "Dialah orangnya."
"Oh... Jadi laki-laki itu yang disukai Naya?" Gilang dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Hanan melihat ekspresi Gilang. Hanan semakin tidak habis pikir. Kenapa Gilang bisa bersikap biasa seperti itu?
"Menurutku wajar kalau Naya menyukainya. Dia tampan, ramah, mobilnya juga bagus dan..."
Hanan menggebrak meja dengan satu tangannya. Membuat Gilang terkejut dan berhenti berbicara. Ia menoleh ke arah Hanan yang sudah memasang wajah marah. Setelah Gilang mengatakannya, Hanan merasa semakin kesal saja.
"Ada apa denganmu?" tanya Gilang heran.
"Secara tidak langsung, Naya sudah membuatku menjadi seorang terdakwa, seolah-olah aku ini seorang penjahat."
"Apa lagi maksudmu?" tanya Gilang.
"Aku rasa Naya sudah mempermainkanku. Aku selalu merasa bersalah."
"Kau merasa bersalah? Kenapa?" tanya Gilang.
"Selama ini, aku benar-benar berpikir kalau Naya menyukaiku. Tapi ternyata dia menyukai orang lain. Pantas saja, Naya selalu menyebut soal Rian...Rian... terus saja!" ujar Hanan masih nampak kesal.
Gilang memperhatikan Hanan. Ia berpikir sejenak. Dalam waktu beberapa detik, Gilang justru tertawa terbahak-bahak. Hanan tentu saja menoleh ke arah Gilang dengan bingung.
"Kenapa kau malah tertawa?!" tanya Hanan.
"Han! Aku lihat kau marah bukan karena Naya membohongimu. Tapi karena kau merasa cemburu!" ujar Gilang. Hanan tersentak mendengarnya.
"Mana mungkin?!" sangkal Hanan cepat. Ia sedikit salah tingkah.
"Lihatlah. Sekarang, wajahmu semakin merah karena malu. Bukan karena marah." Gilang masih melanjutkan tertawanya. Hanan masih salah tingkah saat Gilang menertawainya.
"Hentikan! Aku benar-benar marah karena dia berbohong!"
"Han...Han. Selama ini, kau selalu mengeluh merasa terbebani dengan pernikahanmu. Merasa kasihan pada Naya karena kau tidak bisa membalas perasaanya. Seharusnya, saat mendengar Naya menyukai orang lain, kau merasa lega. Jadi, kau tidak lagi merasa bersalah, karena kau tidak menyakiti istrimu. Tapi kenapa kau malah marah?" ujar Gilang.
Hanan masih hanya terdiam. Ia berbalik melihat ke arah jendela. Kalimat Gilang baru saja, membuatnya berpikir keras.
"Ah, sudahlah! Ini waktunya istirahat. Aku duluan!" kata Gilang yang akhirnya keluar dari ruangan Hanan.
Hanan masih di tempat yang sama. Ia mengkerutkan keningnya. Mendengar kalimat Gilang baru saja, mendadak rasa amarah Hanan berubah menjadi rasa bingung yang tak berujung.