Kesendirian Naya

1059 Kata
Naya mengetik kalimat terakhir untuk novelnya. Setelah selesai, ia menyimpan hasil tulisannya. Setelah itu, ia melihat waktu yang tertera di laptopnya. Sudah jam tujuh malam. Naya melihat ke arah pintu. Hanan masih belum datang juga. Mungkin suaminya, lembur lagi malam ini. Tidak dapat dipungkiri, Naya masih kepikiran sikap Hanan tadi siang. Membuatnya tidak bisa berkonsentrasi pada novelnya. Tadi siang, Hanan seperti sedang kesal padanya. Padahal, sebelumnya Naya rasa hubungan mereka masih baik-baik saja. Bahkan, Hanan sudah mulai sangat baik padanya. Apa mungkin Hanan memang sangat sibuk atau lelah? Atau mungkin suaminya itu sedang ada masalah? Saat Naya masih berpikir mencoba menebak, tiba-tiba suara pintu rumah dibuka dari luar. Naya setengah terjingkat kaget. Karena terlalu serius berpikir, ia sampai tidak mendengar suara langkah dari luar. Naya menoleh ke arah pintu. Benar saja, Hanan yang ada di dalam kepalanya, mendadak muncul di hadapannya. Hanan yang baru membuka pintu, tentu segera menyadari Naya yang masih duduk di mejanya. Mereka saling melakukan kontak mata sebentar. "Mas, sudah pulang?" sapa Naya yang menyapa lebih dulu. "Ya," jawab Hanan datar. Hanan lalu masuk ke dalam. Menutup kembali pintunya. Kemudian, ia berjalan ke arah kamarnya. Naya masih memperhatikannya. "Apa mas Hanan sudah makan?" tanya Naya saat Hanan sudah setengah jalan. Membuat Hanan terhenti. "Sudah," jawab Hanan lagi dengan singkat. Kemudian, Hanan kembali melanjutkan langkahnya hampir sampai ke dalam kamarnya. "Mas!" panggil Naya kembali. Naya sampai berdiri dari duduknya. Naya Ingin mencegah Hanan masuk ke kamarnya lebih dulu. Hanan kembali terhenti dan melihat ke arah Naya. Masih dengan pandangan datarnya. "Sikap Mas Hanan seperti tidak biasanya. Apa mungkin Mas Hanan ada masalah?" tanya Naya dengan ragu. Hanan tidak menjawabnya. Hanan hanya diam melihat Naya dengan tatapan dinginnya. Membuat Naya semakin heran dan kebingungan. "Aku sudah pernah bilang, kalau Mas Hanan ada masalah, Mas Hanan bisa cerita padaku," tambah Naya lagi. "Tidak," jawab Hanan singkat. Naya mengamati sikap suaminya dengan masih bingung. "Apa mungkin, Mas Hanan marah padaku?" tanya Naya dengan ragu. Tapi, pada akhirnya, ia memberanikan diri untuk bertanya. "Aku, tidak ingin berbicara denganmu." Satu kalimat Hanan yang membuat Naya sedikit terkejut. Setelah berbicara begitu, Hanan segera membuka pintu kamarnya. Masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan sedikit keras. Naya yang masih berdiri di sana, merasa sangat bingung. Naya hanya mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Entah kenapa, tiba-tiba saja Naya merasa tidak tahu apa yang harus ia lakukan? Kalimat Hanan baru saja, membuatnya merasa terguncang. Bukankah, artinya Hanan sedang marah padanya? Tapi, kenapa? Naya lalu mengambil ponselnya dengan gegabah. Ia berjalan ke arah pintu rumah. Tanpa pikir panjang, Naya keluar dari rumah begitu saja. *** Naya duduk di halte dekat swalayan yang sering ia datangi. Ia sudah berada di sana sejak satu jam yang lalu. Sejujurnya, ia tidak tahu apa yang mendasarinya melakukan ini? Naya melakukannya tanpa pikir panjang. Di halte pada malam hari itu, sangat sepi. Tidak akan ada angkutan umum di malam hari. Ditambah lagi, hujan turun tiba-tiba. Sehingga Naya rasa, ia memang bisa menyendiri di sana. Menatap ke arah jalan raya. Naya pikir, saat ini perasaanya sedang tidak enak. Ia dari tadi hanya termenung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab di dalam kepalanya. Hanya terus berdiam bersama angin dingin yang menemaninya. "Kalau kamu ada masalah, atau sekedar membutuhkan teman, kamu langsung bisa menghubungiku. Senang bisa membantumu." Mendadak, ada suara Rian di dalam kepala Naya. Suara itu, masih sangat jelas baginya. Meskipun, itu sekitar dua tahun yang lalu. Dan setelah Rian mengatakan itu, justru mereka sama sekali tidak pernah bertemu satu sama lain. Kepala Naya menjadi berisi sesuatu yang acak. Kenangan-kenangannya saat bersama Rian, teringat kembali. Saat mereka sedang duduk berdua bercerita hal yang random. Soal film, mata kuliah, atau sekedar pendapat masa depan masing-masing. Tiba-tiba, Naya merasa sesak sekali. Lagi-lagi, ia merasakan hal yang sama berulang kali. Jika ia ingin berkata jujur dari dalam dirinya, ia sangat merindukan Rian. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat ini? Naya kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam sakunya. Di sana, ia mengusap-usap layar ponselnya. Melihat kontak yang tertera di dalamnya. Naya terhenti saat melihat ada nama Rian di dalam kontaknya. Ibu jarinya, terus berada di area yang sama. Ingin menekan kursor berwarna hijau, untuk menghubungi Rian. Jujur saja, saat Naya ada masalah ia tidak bisa lepas dari Rian. Selalu saja mengandalkan Rian untuk menceritakan masalahnya. Ia tidak tahu lagi harus menghubungi siapa selain Rian. "Maaf, aku selalu merepotkanmu dengan masalahku, Ian." "Tidak sama sekali. Aku senang bisa membantumu, Nay." Rian selalu bisa membuatnya jauh lebih baik. Padahal, Rian tidak tahu saat Naya menghubunginya, Naya hanya merindukan Rian. Ingin mengulang masa-masa kuliah saat dulu lagi. Tapi tentu saja itu hal yang mustahil. Naya rasa, hanya Rian yang bisa membantunya. Hanya Rian yang selalu bisa memberikan solusi untuk masalahnya. Ia tidak tahu harus bagaimana saat ini? Naya lagi-lagi tidak berpikir panjang. Ia menggeser kursor warna hijau pada kontak Rian begitu saja. Membuat panggilan untuk Rian. Namun, saat nada dering sudah mulai terdengar, Naya sadar dan segera memutuskan ponselnya. Naya mematikan ponsel dan kembali memasukkannya ke dalam saku. Bodoh! Apa yang ia lakukan?! Pikirnya. Saat sedih seperti ini, Naya mengakui, jika memang ia membutuhkan seseorang untuk ada di sampingnya. Dan orang itu, sering sekali diperankan oleh Rian. Rian sering menemani, saat Naya merasa kesepian. Naya perlahan mulai mencoba untuk berpikir jernih. Perlahan-lahan, ia memikirkan dirinya sendiri. Sebenarnya, apa yang membuatnya sedih? Apakah sikap Hanan? Hubungan mereka sudah lebih baik sebelumnya. Tapi, melihat Hanan yang tiba-tiba bersikap dingin tanpa alasan seperti tadi, membuat Naya merasa bingung. Seolah ia sedang kehilangan sesuatu. Mendadak, Naya merasa ingin sekali menangis. Dari tadi, ia mencoba menahannya. Tapi, kali ini Naya membiarkannya begitu saja. Naya mengusap pinggiran matanya saat air matanya mulai meluber keluar. Semakin lama, air mata Naya menjadi semakin banyak. Ia tidak tahu, apa penyebabnya? Baru kali ini, Naya tidak mengenali dirinya sendiri. Naya kemudian menundukkan wajahnya, dan menutupnya dengan kedua telapak tangan. Berusaha menyembunyikan kesedihannya. Agar tidak ada orang yang bisa melihat. Gawat! Ia tidak harus melakukan ini. Deadline novelnya semakin dekat. Bukankah, ia seharusnya menulis, dan bukannya seperti ini? Naya kemudian kembali menyeka air matanya. Ia perlahan menegakkan kepala, lalu berdiri dan ingin kembali pulang ke rumah. Saat ia berdiri, tepat di hadapannya hadir orang yang baru saja ada di kepalanya. Hanan, tiba-tiba muncul begitu saja di hadapannya. Membawa payung dan berdiri di depannya. Naya hanya mengerjap dan susah untuk merespon. "Kenapa kamu sendirian di sini?" tanya Hanan dengan raut wajah cemas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN