Naya masih terdiam. Ia merasa semua otot-ototnya kaku dan susah digerakkan. Termasuk semua otot wajahnya. Hanya mengerjapkan kedua matanya beberapa kali dengan cepat.
"Bagaimana, Mas Hanan bisa tahu?!" Naya balik bertanya. Hanan mengalihkan wajahnya dari Naya sebentar.
"Kemarin, aku salah membawa flashdisk milikmu. Aku tidak sengaja membawanya karena sama persis denganku. Saat itu, aku tidak sengaja membaca sebuah file, hasil tulisanmu yang menyatakan soal Rian di sana. Dari sanalah aku tahu," jelas Hanan.
Naya baru mengerti juga. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya sangat pelan dan berpikir. Lalu, terlintas satu hal yang harus ia katakan pada Hanan.
"Mas Hanan membaca semuanya?!" tanya Naya terkejut.
"Maaf. Aku hanya tidak sengaja," ujar Hanan kikuk pula. Naya kemudian tertunduk dengan tatapan murung.
"Maafkan aku, Mas," ungkap Naya. "Aku yakin, Mas Hanan marah karena Mas Hanan merasa aku sudah membohongi Mas Hanan, kan?" ungkap Naya.
"Sebenarnya, aku tidak marah. Hanya merasa terkejut saja," ujar Hanan. "Aku memang berpikir kalau kamu sudah membohongiku. Tapi, hal yang lebih dalam bagiku adalah, aku merasa kamu sudah mempermainkan pernikahan ini. Kamu memanfaatkan aku untuk bisa melupakan perasaanmu pada Rian itu," tutur Hanan.
"Maafkan aku," ucap Naya yang semakin menundukkan kepalanya. Hanan menoleh ke arahnya.
"Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku juga begitu," kata Hanan. Naya kembali menoleh ke arah Hanan.
"Apa maksud Mas Hanan?" tanya Naya.
"Aku pun juga memiliki alasan yang sama dalam pernikahan ini. Aku juga, menikah dengan harapan bisa melupakan Linda," tutur Hanan. Membuat Naya terdiam mendengarkan.
"Aku jadi bingung kenapa aku harus marah, kalau aku juga melakukan hal yang sama," ungkap Hanan lagi. "Jadi, aku pikir kita memang pantas menikah," tambah Hanan.
Kalimat Hanan baru saja, membuat Naya berpikir ambigu. Ia tidak begitu paham dengan maksudnya. Namun Naya hanya diam dan setuju.
"Tapi, aku ingin bertanya sesuatu," ujar Hanan lagi. "Kalau seandainya, saat itu yang dijodohkan denganmu bukan aku, apa kamu juga akan menerimanya?" tanya Hanan. Naya menoleh ke arah Hanan sebentar, kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya dari Hanan lagi.
"Entahlah? Aku tidak yakin," jawab Naya. Hanan mengkerutkan keningnya mendengar jawaban Naya.
"Kenapa?"
"Setelah aku dan Rian lulus kuliah, kami sudah tidak pernah bertemu lagi. Waktu itu, aku merasa sangat kehilangan dan kesepian. Dan saat itu, aku mendengar cerita Mas Hanan, soal Mas Hanan dengan mantan kekasih Mas Hanan," jelas Naya.
"Apa hubungannya?" tanya Hanan yang tidak mengerti.
"Saat melihat Mas Hanan, aku jadi melihat diriku sendiri. Aku bisa mengerti perasaan Mas Hanan karena aku juga mengalaminya. Aku pikir, kita memiliki persamaan meski berbeda kasus. Dan yang jelas aku yakin, Mas Hanan tidak akan menyukaiku," jelas Naya. Hanan mendengarnya dan tampak mengerti, juga sudah bisa menerima alasan Naya.
"Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya dari awal? Kenapa kamu malah bilang kalau kamu menyukaiku?"
"Aku takut kalau Mas Hanan menolak pernikahan ini," jawab Naya. "Sekali lagi, maafkan aku karena sudah membohongi Mas Hanan. Tapi, saat itu aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, Mas. Maaf," kata Naya lagi setengah menundukkan kepalanya.
Hanan memperhatikan istrinya. Saat ini, Hanan baru tahu kalau memang Naya sangat menyukai temannya yang bernama Rian itu. Ada satu hal aneh, yang saat ini bekerja di dalam tubuh Hanan. Seperti sebuah gejolak di hati Hanan. Hanya saja ia tidak bisa menjelaskan apa itu?
"Baiklah!" ucap Hanan tiba-tiba. Naya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Hanan. "Aku pikir, ini sudah sangat malam. Ayo kita pulang," ajak Hanan. Mencoba mengalihkan pembicaraan. Juga mengakhiri percakapan yang mulai memuakkan bagi Hanan.
"Apa, Mas Hanan sudah tidak marah lagi padaku?" tanya Naya ragu untuk memastikan.
"Sudah aku bilang, aku hanya terkejut," kata Hanan. "Aku... juga minta maaf dengan sikapku tadi," tambahnya. Naya terdiam sebentar, lalu ia mengangguk dan tersenyum mendengarnya. Kemudian, ia melihat sekitar.
"Hujan juga sudah berhenti," kata Naya akhirnya. "Kita tidak perlu memakai payung," tambahnya.
Naya kemudian berdiri dari duduknya. Ia melipat payung yang tadi Hanan bawa untuknya. Hanan memperhatikan pakaian Naya yang setengah basah. Mungkin, Naya sempat kehujanan tadi.
Hanan merasa suasana sekitar semakin dingin saat malam. Ia lalu ikut berdiri, dan segera melepas jaketnya. Kemudian, ia memakaikannya pada Naya.
Naya tentu saja terkejut, saat merasa hangat di badannya. Ia menengok ke arah Hanan, ketika Hanan masih memakaikan jaket miliknya pada Naya. Hanan lalu mengambil payung yang masih belum dilipat dari tangan Naya.
"Biar aku saja yang melipatnya," kata Hanan. Naya masih terdiam dengan kikuk dan canggung, sambil mengedipkan kedua matanya.
"Kamu pasti kehujanan dan kedinginan dari tadi. Kita segera pulang, agar kamu bisa segera istirahat!" tambah Hanan lagi. "Ayo!" Hanan mengajak Naya untuk berjalan. Naya mengikutinya begitu saja.
Mereka berjalan berdua beriringan. Menuju ke mobil Hanan. Saat mereka berjalan, ada sebuah perasaan aneh pada Naya. Jaket Hanan, selain menghangatkan tubuhnya, juga bisa menghangatkan hatinya. Sayangnya, Naya masih belum menyadarinya.
***
Naya mengaduk kopi di cangkir kecil. Pagi ini, ia mengawali harinya dengan meminum kopi untuk mulai mengetik novelnya. Tadi malam, ia dan Hanan pulang malam, jadi Naya merasa menghabiskan waktunya untuk lembur menulis n****+.
Tiba-tiba, ponsel Naya yang diletakkan di meja berdering. Naya segera meletakkan cangkir kopinya dan berjalan ke arah meja kerjanya. Saat sudah sampai di meja, Naya mengambil ponselnya.
Ketika Naya melihat layar ponselnya, ia tercekat. Ada panggilan masuk dari Rian. Naya terdiam sejenak. Kenapa Rian pagi-pagi menelfonnya? Meski Naya agak ragu sebentar, tapi akhirnya ia mengangkat panggilan dari Rian.
"Halo?" sapa Naya ragu.
"Halo, Nay. Apa tadi malam kamu menelfonku? Maaf, aku sangat sibuk tadi malam. Jadi sampai tidak tahu kamu menelfonku," kata Rian.
Betul juga. Tadi malam, Naya memang sempat memanggil Rian. Tapi, karena isi kepalanya yang kacau, ia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Rian.
"Halo, Nay!" panggil Rian lagi. Karena dirasa, Naya hanya terdiam. "Apa kamu mendengarku?"
"Maaf. Aku dengar, kok," kata Naya.
"Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanya Rian lagi masih melalui ponselnya.
Tadi malam, memang ada yang ingin Naya katakan. Tapi, sekarang sudah tidak lagi. Belum sempat Naya menjawab, Hanan keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi, bersiap untuk pergi bekerja.
Hanan yang baru saja keluar, melihat ke arah Naya. Begitu juga, dengan Naya yang menatapnya. Mereka melakukan kontak mata sebentar. Hanan tahu, Naya sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
"Nay! Kamu masih di sana kan?!" tanya Rian lagi.
"Ah! Iya...iya," jawab Naya kikuk. Ia kembali fokus pada panggilannya. "Maaf Ian, tadi malam aku hanya salah pencet," kata Naya.
Dengan menyebut nama lawan bicara Naya, Hanan sudah bisa langsung tahu jika Naya sedang berbicara dengan Rian. Membuat Hanan penasaran dan ingin mendengar lebih.
"Oh... Aku pikir, ada hal yang penting," ujar Rian.
"Maaf, Ian. Aku sedang sibuk. Aku tutup dulu, ya," ujar Naya.
"Oke...oke!" Rian juga ikut mematikan panggilannya.
Saat panggilan sudah terputus, Naya memandangi layar ponselnya dengan wajah murung. Ia tidak menyangka kejadian tidak sengaja tadi malam, bisa membuat Rian balik menelfonnya. Padahal Naya sendiri yang memutuskan tidak akan menghubungi Rian, tapi pada akhirnya ia juga yang kembali.
Hanan bisa mendengar jika Naya baru saja berbicara dengan Rian. Wajah Naya yang murung itu, Hanan pun juga bisa langsung tahu artinya. Hanan kemudian berjalan ke arah Naya.
"Ada apa? Kenapa kamu berwajah murung?" tanya Hanan.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya lelah," jawab Naya.
"Sudahlah. Kamu tidak perlu berbohong. Aku bisa langsung tahu dari ekspresimu. Apa, mungkin ada yang ingin kamu bicarakan padaku?" tanya Hanan.
Naya menatap Hanan saat Hanan mengatakan hal itu padanya. Ia tercekat mendengarnya. Hal yang sama persis yang dikatakan Rian padanya, sekitar lima belas detik yang lalu.
"Kalau tidak ada, aku pergi kerja dulu," kata Hanan lagi, karena Naya tidak menjawabnya.
Hanan lalu berbalik. Ia berjalan menjauh dari Naya. Akan berangkat kerja.
"Mas!" panggil Naya tiba-tiba. Membuat Hanan terhenti dan kembali berbalik ke arah Naya lagi. "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mas Hanan. Kalau bisa, pulanglah cepat hari ini," ujar Naya dengan wajah cemas. Hanan memperhatikan istrinya sebentar.
"Tentu saja. Aku pastikan, akan segera pulang cepat," jawab Hanan yang tersenyum ke arah Naya.