Hanan yang baru pulang kerja masuk ke dalam rumahnya. Ketika ia baru saja membuka pintu, ia menemui Naya yang tengah duduk di sofa sendirian. Naya juga mendengar pintu dibuka, menoleh ke arah pintu.
Mereka berdua saling tatap. Kemudian, saling tersenyum satu sama lain. Hanan yang sudah masuk, berjalan ke arah Naya dan duduk di sampingnya.
"Hari ini, Mas Hanan pulang cepat sekali?" tanya Naya.
"Bukankah tadi kamu menyuruhku pulang cepat?" ujar Hanan. Naya tersenyum mendengarnya.
"Aku kan tidak bersungguh-sungguh," kata Naya.
"Tidak mungkin!" ujar Hanan. "Bukankah ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Hanan. "Ini soal Rian kan?"
Naya terdiam, tidak menjawabnya. Ia kembali memberikan ekspresi wajah murung. Hanan bisa langsung mengerti.
"Ceritalah. Aku akan mendengarkannya," kata Hanan. "Jadi, Rian itu adalah teman dekatmu?" tanya Hanan lagi. Naya menganggukkan kepalanya dua kali.
"Saat kuliah dulu, bisa dibilang aku tidak memiliki banyak teman. Karena dulu, aku hanya gadis culun. Tidak mudah bergaul. Tapi, Rian mau menjadi temanku," ujar Naya.
"Kamu bercanda?!" tanya Hanan tidak percaya. "Culun dari mana?!"
"Aku serius, Mas," jawab Naya sambil tersenyum. "Dulu, aku sering menghabiskan waktu untuk menonton film di kamar dari pada hangout dengan teman-teman. Aku, juga senang mengikuti lomba karya tulis."
"Oh! Kamu pernah bercerita juga. Rian adalah satu tim lomba denganmu, kan?" tanya Hanan lagi. Naya tersenyum dengan menganggukkan kepalanya.
"Dari sanalah, kita menjadi dekat. Dan... aku mulai menyukai Rian."
"Apa yang membuatmu menyukainya?" tanya Hanan lagi. Naya kembali mengalihkan wajahnya dari Hanan.
"Rian," ucap Naya sambil menatap ke arah depan dengan pandangan menerawang. "Dia itu, segalanya," ujar Naya, masih dengan pandangan menerawang. Membayangkan sosok Rian di matanya.
"Dia pintar, cerdas, berprestasi, suka bercanda, dan tentu saja tampan," kata Naya.
"Yang seperti itu kan banyak. Bukan hanya Rian? Bukankah, selebritis juga banyak yang seperti itu? Apa Rian sesempurna itu?" ujar Hanan.
Naya tersenyum mendengar Hanan. Ia kemudian melihat ke arah Hanan lagi. Lalu kembali mengalihkan pandangannya.
"Sejujurnya, dia tidak begitu sempurna," kata Naya. "Banyak yang lebih baik, lebih tampan dan lebih pintar darinya. Hanya saja, dia berbeda. Setiap kali aku dekat dengannya, hatiku selalu merasa senang. Kadang aku gelisah. Kadang juga berdebar-debar. Kadang aku merasa aneh, karena aku tidak bisa mengenali diriku sendiri. Aku, tidak bisa menjelaskannya secara rinci. Tapi, seiring waktu berjalan, aku baru tahu kalau memang seperti itulah cara kerja hati. Saat hati sudah memilih, kita akan sulit berpaling," jelas Naya. Hanan hanya diam mendengarkan.
"Dan lagi, Rian sangat peduli. Dia laki-laki yang baik. Selalu membantuku saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu menolongku saat aku memintanya. Dia bisa menjadi pendengar yang baik, juga selalu memberikan solusi yang tepat saat aku menceritakan masalahku. Dia menjagaku, juga melindungiku. Aku tahu, sikapnya memang hanya sebagai teman, tapi aku terbawa perasaan. Aku, selalu merasa bahagia saat bersamanya."
"Jadi, dia memang tidak memiliki kekurangan ya?" tanya Hanan.
"Tidak juga," jawab Naya. "Dia biasanya juga marah-marah. Kami juga pernah bertengkar. Tapi, kami juga cepat berbaikan. Kami juga sering tidak sependapat. Tapi, itu sudah menjadi bagian dari pertemanan kami. Tanpa dia sadari kalau aku mulai menyukainya."
Hanan segera menoleh ke arah Naya lagi. Naya mengatakannya dengan penuh penghayatan. Hanan hanya diam mendengarkannya dengan baik.
"Tapi, saat aku kembali pada kenyataan, aku ingat jika dia memiliki kekasih. Kekasihnya, bernama Ninggar."
"Jadi, istri Rian yang dibawa kemarin, itu adalah pacar Rian sejak kuliah?" tanya Hanan lagi. Naya menganggukkan kepalanya menjawab hanan.
"Aku tahu, menyukai seorang yang sudah memiliki pasangan itu salah. Tapi, itu muncul begitu saja. Aku tidak bisa mengontrol perasaanku," kata Naya.
"Aku bisa mengerti, bagaimana rasanya saat kita tidak bisa menentukan siapa yang kita suka," tanggap Hanan. "Dan, aku juga bisa mengerti kenapa kamu memilih untuk tidak mengatakan soal perasaanmu. Karena kamu pasti takut kehilangan dia sebagai teman kan?" tebak Hanan.
Naya menoleh ke arah Hanan sebentar, merasa tertegun sesaat. Ia mengerjapkan kedua matanya. Tebakan Hanan seratus persen benar. Hanan juga melihat ke arahnya.
"Mas Hanan, benar sekali," ungkap Naya masih tertegun. Hanan hanya tersenyum sedikit melihat Naya.
"Jadi, Ninggar itu adalah teman kuliah kalian juga?" tanya Hanan.
"Tidak," jawab Naya sambil menggelengkan kepalanya dua kali. "Ninggar kuliah di universitas lain di luar kota," jawab Naya. "Rian sering menceritakan Ninggar padaku. Dia juga selalu menunjukkan foto Ninggar padaku. Saat itu, aku mulai merasakan hal yang aneh. Aku merasa marah, kesal, sedih dan bingung dalam waktu bersamaan. Kadang juga aku merasa serakah. Lama kelamaan, aku pun mulai menyadari jika aku hanya cemburu," lanjutnya.
"Jadi, kamu terjebak dalam cinta segitiga?" tanya Hanan lagi. Naya tersenyum getir mendengar ungkapan Hanan.
"Cinta segitiga apanya?" gumam Naya pelan. "Tidak bisa dikatakan begitu, karena aku tidak pernah menjadi bagian dari itu. Aku, sama sekali tidak terlihat. Aku seperti butiran abu yang mengharap dekat dengan guci mewah."
"Naya, kamu terlalu merendah," kata Hanan.
"Memang kenyataannya begitu. Aku memang tidak pantas untuk cemburu. Aku, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Ninggar. Dia cantik, baik dan juga pengertian. Dan yang jelas, Rian sangat mencintainya," Naya tertunduk sejenak.
Tiba-tiba, Naya merasa sesak di hatinya. Hanan memperhatikannya. Naya mulai berkaca-kaca. Hanan mencoba memahami perasaan Naya. Karena ia pernah mengalami rasa yang sama, meski berbeda kasus.
"Tidak juga," kata Hanan tiba-tiba. Naya menyeka air matanya dan melihat ke arah Hanan.
"Apa?" tanya Naya.
"Bagiku, kamu juga cantik, baik dan pengertian. Tidak jauh berbeda," kata Hanan dengan mudahnya.
Mendengar Hanan berbicara seperti itu, membuat Naya terdiam tercekat. Ia mengerjap menatap Hanan. Tidak sadar, jika wajah Naya pun memerah karena tersipu. Lagi-lagi, Naya merasakan terpukau akan kalimat Hanan.
"Ini hanya masalah sudut pandang pendapat dari setiap orang saja," tutur Hanan yang mencoba menghibur Naya. "Kamu akan baik-baik saja," tambah Hanan lagi.
Naya berpikir di dalam kepalanya. Meresapi kalimat Hanan untuknya. Ada sesuatu yang baru saja melintas ke dalam hatinya. Tapi, masih berusaha mengelak.
"Apa, sekarang kamu masih sering menghubungi Rian?" Hanan bertanya lagi, mengembalikan fokus pembicaraan ini.
"Saat aku dan Rian sudah lulus, kami sudah terpisah dan tidak pernah bertemu lagi. Dulu, aku terus menghubunginya lewat ponsel. Bertanya soal interview kerja yang baik, atau semacamnya. Tapi, sebenarnya itu hanyalah sebuah alasan, agar aku tetap bisa menghubunginya," jelas Naya.
"Tapi, lama kelamaan aku mulai merasa seperti orang gila. Aku sangat merindukannya, tapi bukan sebagai teman. Jadi aku pikir, aku tidak akan bisa berteman dengannya lagi," kata Naya. Hanan serius mendengarkan Naya.
"Mulai saat itu, aku memutuskan untuk menghilang dari kehidupannya. Tapi, bukankah aneh? Meskipun aku tidak pernah lagi menghubunginya, dia sendiri juga tidak pernah menghubungiku. Jadi aku pikir, kehadiran seorang teman sepertiku, memang sama sekali tidak berarti baginya. Aku tahu itu sangat wajar, tapi tetap saja... aku masih merasa sedih kalau memikirkannya."
Naya kembali mulai berkaca-kaca. Ia menundukkan pandangannya. Hanan yang melihat Naya seperti itu, juga bisa ikut merasakan kesedihannya.
"Tenanglah! Mulai sekarang, jangan pernah lagi menghubunginya!" ujar Hanan tiba-tiba. Membuat Naya menoleh ke arah Hanan. "Kalau kamu merasa sedih dan sendiri. Hubungilah aku secepatnya!" pinta Hanan.
"Aku tahu kamu memang berteman baik dengannya. Tapi, kita sudah saling kenal lebih dulu. Aku akan siap menjadi teman dekatmu melebihi Rian. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadi teman dekat? Tiga tahun? Lima tahun? Mari kita menghabiskan waktu selama itu," tambah Hanan.
Naya hanya diam mendengarnya. Sudah yang ketiga kali. Naya dibuat terpukau oleh Hanan. Kali ini, Naya belum bisa memberikan respon apapun.
"Sama seperti sekarang. Semua kisahmu ini, pasti sudah kamu pendam sendiri sejak lama, kan? Mulai sekarang, jangan lakukan itu lagi. Kamu bisa berbagi denganku. Aku pastikan, akan selalu ada untukmu," tambah Hanan. Naya merasa, ada yang menggelitik hatinya saat Hanan mengatakan hal itu.
Awalnya, Naya masih diam. Kembali mencerna yang ada di dalam kepalanya. Hanan masih menatapnya. Sekian detik, barulah Naya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.