Pembuktian

1012 Kata
Hanan membuka pintu kamarnya. Di sana, ia mendapati ruang tamu yang kosong. Hanan melirik ke arah meja Naya. Juga kosong. Ia mengalihkan pandangannya ke arah kamar Naya. Pintunya terbuka, tapi Naya tidak ada di sana. Hanan berjalan keluar kamarnya. Ia melangkahkan kaki ke dapur. Masih tidak ada Naya. Sampai Hanan harus menengok ke kamar mandi, dan di dalam kamar mandi pun, juga kosong. Hanan kemudian berjalan ke arah jendela, melihat ke arah luar. Di luar, sedang hujan, meskipun tidak deras. Hanan menghela nafasnya. Mendadak, hatinya menjadi tidak tenang. "Kemana dia malam-malam begini?" gumam Hanan pelan berbicara sendiri. Hanan lalu berjalan cepat ke dalam kamar. Ia mengambil kontak mobilnya. Berjalan lagi ke luar. Ia juga tidak lupa membawa payung, keluar rumah. Setelah berada di luar, Hanan segera berjalan ke arah mobilnya. Ia masuk dengan satu payung yang ia bawa. Hanan lalu segera menyalakan mesin mobil untuk pergi. Tentu saja, ia ingin mencari Naya. Saat berada di jalan, Hanan terus melihat ke sekeliling tepi jalan raya. Ini sudah malam. Tidak seharusnya seorang perempuan keluar malam-malam begini. Tiba-tiba, Hanan terhenti di pinggir jalan raya. Di seberang jalan, ada sebuah halte. Di sanalah Naya berada. Ia melihat Naya sedang duduk melamun sendirian. Hanan memperhatikan Naya. Melihat Naya termenung sendirian di malam hari seperti ini, membuatnya tidak tega. Sebenarnya, dari tadi Hanan merasa khawatir. Merasa bersalah juga dengan sikapnya. Hanan lalu segera mengambil payung yang ada di dalam mobilnya. Ia keluar dari mobil dengan payungnya. Perlahan, Hanan berjalan ke arah Naya. Saat sudah dekat, Hanan terhenti dan memperhatikan Naya dari jarak yang lebih dekat. Naya tidak menyadari kehadiran Hanan karena ia sedang menundukkan kepalanya saat itu. Hanan yang sudah berjarak kurang dari satu meter, menghentikan langkahnya. "Kenapa juga aku harus melakukan ini?" gumam Hanan kembali. Lagi-lagi sedang berbicara dengan diri sendiri. Hanan lalu kembali menguatkan niatnya yang awalnya tidak terpikirkan olehnya. Ia berjalan mendekat. Tepat pada waktu itu, Naya mengangkat kepalanya. Sehingga, Naya terkejut melihat Hanan yang sudah berdiri di hadapannya. Naya pun ikut berdiri. "Kenapa kamu di sini malam-malam seperti ini? Sekarang sedang hujan," kata Hanan. "Mas Hanan?! Kenapa Mas Hanan bisa ada di sini?" Naya yang masih terkejut. Ia tidak membalas kalimat Hanan. Tapi, justru balik bertanya. "Kenapa lagi? Aku ingin menjemputmu pulang," ujar Hanan dengan kikuk. Naya masih melihatnya dengan heran. "Bukankah bahaya seorang perempuan keluar malam-malam begini sendirian?!" Hanan meninggikan nada bicaranya. Naya masih diam dan tidak beraksi apapun. Ia terus memperhatikan suaminya. "Apa lagi, sekarang sedang hujan," tambah Hanan. "Apa, Mas Hanan sekarang sedang mengkhawatirkanku?" tanya Naya ragu. "Tentu saja! Lihatlah! Kamu bisa sakit berada di sini!" Hanan kembali meninggikan nada bicaranya dengan tidak sadar. Naya masih bingung dengan sikap Hanan. "Bukankah, tadi Mas Hanan bilang tidak ingin berbicara denganku?" tanya Naya lagi. Hanan menghela nafasnya. "Kita, bicarakan di rumah saja. Ini sudah malam," ujar Hanan bersamaan dengan helaan nafasnya. "Aku, masih ingin di sini," ujar Naya pelan. Ia kemudian kembali duduk. "Naya. Apa kamu ingin sakit?" tanya Hanan. "Tenang saja. Aku tidak akan sakit," kata Naya tersenyum manis. "Mas Hanan juga datang ke sini untuk menjagaku. Jadi, aku takut apa lagi?" tambahnya menaikkan kedua pundaknya dengan masih tersenyum. Mendengar hal itu dari Naya, jantung Hanan berdetak tidak normal. Namun, ia masih belum bisa menyadari, karena apa? Hanan bertindak salah tingkah. "Aku..." "Datang untuk menjemputku, kan?" potong Naya begitu saja. Membuat Hanan tercekat. "Bukankah tadi Mas Hanan sendiri yang bilang begitu?" tambah Naya lagi. Hanan semakin salah tingkah. Ia tidak dapat mengelak lagi. Kemudian, ia hanya kembali menghela nafas beratnya. Hanan pun akhirnya duduk di samping Naya. Naya memperhatikannya. "Baiklah. Aku juga akan duduk di sini sampai kamu mau pulang," kata Hanan dengan kikuk. Naya tersenyum melihat suaminya. "Mas," panggil Naya. Hanan menoleh ke arah Naya sebentar. "Apa, aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Naya pada Hanan. Membuat Hanan menoleh ke arahnya. "Apa?" tanya Hanan. "Apa, Mas Hanan sedang marah padaku?" tanya Naya ragu. Hanan tidak segera menjawabnya. Masih mengalihkan pandangannya dari Naya dengan canggung. Sekian detik kemudian, Hanan kembali menatap Naya. "Kenapa kamu berpikir begitu?" Hanan balik bertanya. "Karena aku rasa, dari tadi sikap Mas Hanan sangat tidak biasa padaku. Tatapan Mas Hanan kelihatan kesal. Kalau aku berbuat salah atau menyinggung Mas Hanan, bukankah seharusnya Mas Hanan bilang padaku?" ujar Naya. "Aku mungkin bisa peka mengetahui Mas Hanan marah padaku. Hanya saja, aku lambat untuk tahu soal apa?" tambahnya. Mendengar hal itu dari Naya, Hanan kembali menghela nafas beratnya. Ia menundukkan kepala, sambil memijit kedua pelipisnya. Naya masih terus memperhatikannya. "Sejujurnya, aku memang sempat marah padamu." Hanan dengan kalimat ragunya. "Tapi, itu sudah berlalu. Jadi, kita tidak perlu membahas ini lagi," kata Hanan. Hanan mengatakan hal seperti itu, karena sebenarnya ia merasa malu tentang alasan kemarahannya pada Naya. Hanan justru ingin menghindari saja percakapan soal ini. Lagi pula, ia memang sudah jauh lebih baik. "Tidak bisa!" elak Naya. "Mas Hanan harus menjelaskannya padaku!" tambahnya. Membuat Hanan menengok Naya heran. "Mungkin saat ini, Mas Hanan sudah tidak marah lagi. Tapi, bagaimana kalau suatu saat aku mengulangi kesalahan yang membuat Mas Hanan marah lagi? Karena aku tidak tahu apa alasan Mas Hanan marah padaku," ungkap Naya. "Apa kamu yakin?" tanya Hanan. Naya mengangguk. "Tolong beritahu apa kesalahanku, Mas," pinta Naya lagi. "Sebelumnya, aku ingin bertanya sesuatu," kata Hanan. "Apa, kamu bersedia menjawabnya?" tanya Hanan lagi. "Tentu saja, Mas!" jawab Naya mantap. "Dulu kamu pernah bilang kalau kamu menyukaiku. Sejak kapan?" tanya Hanan dengan wajah serius. Naya tercekat mendengar pertanyaan Hanan. Ia tidak bisa segera menjawabnya. Hanya memutar-mutar kedua bola matanya dengan kikuk. Hanan masih memperhatikan istrinya dengan serius. "Aku... Aku..." Naya berusaha berbicara. Tapi, ia terbata dan susah untuk menjawabnya. "Tentu saja kamu tidak bisa menjawabnya kan?" potong Hanan. Membuat Naya menoleh ke arah Hanan kembali. "Karena kamu memang tidak pernah menyukaiku," tambah Hanan. Naya semakin tercekat. Ia melebarkan kedua matanya, seolah membenarkan ungkapan Hanan tersebut. Hanan bisa langsung tahu dari ekspresi Naya jika tebakannya benar. "Kalau begitu, aku akan mengganti pertanyaanku. Sejak kapan kamu menyukai Rian?" tanya Hanan dengan nada penekanan. Jantung Naya seolah berhenti berdetak hanya dalam waktu setengah detik. Dari semuanya, ungkapan Hanan ini yang paling mengejutkannya. Bagaimana Hanan bisa tahu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN