Naya sedang mengambil segelas air di dapur. Saat akan meminumnya, ia terhenti. Mendadak, terlintas di kepalanya saat Hanan melindunginya di lift tadi malam.
Mendadak ia merasa linglung. Naya kembali meletakkan gelasnya. Tidak jadi menimunnya. Astaga... rasanya ia masih malu sekali jika mengingat hal itu.
Naya lalu memegangi pipi dengan kedua tangannya. Ia memang sudah tidak sakit. Tapi, kenapa rasanya kali ini pipinya terasa panas lagi?
"Pasti kemarin wajahku terlihat bodoh sekali," gumam Naya berbicara sendiri. Ia mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya. "Ya ampun... memalukan sekali," lanjutnya kelihatan sedikit frustasi.
Naya lalu mengambil lagi gelasnya. Segera meminumnya sampai habis. Berusaha menghilangkan rasa tidak wajar yang ada dalam dirinya.
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Naya mengkerutkan keningnya. Siapa tamu siang-siang begini? Ia kemudian meletakkan gelasnya. Berjalan ke arah pintu.
Dalam sekian detik, Naya berhasil membuka pintu rumah. Saat melihat siapa tamunya, Naya amat terkejut. Irma sudah berdiri di depan pintu.
"Hai, Nay!" sapa Irma dengan tersenyum lebar.
"Astaga, Irma!" seru Naya dengan menutup mulut dengan tangannya.
"Kyaaa!" Keduanya segera berpelukan untuk melepas rindu masing-masing, setelah tidak bertemu dalam beberapa kurun waktu yang cukup lama.
"Bagaimana kamu bisa ke sini?!" tanya Naya dengan melepaskan pelukannya.
"Aku kan pernah datang ke sini waktu pernikahan kalian. Aku menyimpan alamat rumah suamimu. Aku ke sini, untuk memberikan kejutan untukmu," jawab Irma.
"Ya ampun... mari masuk!" ajak Naya dengan girangnya.
Irma masuk ke dalam rumah. Mereka berdua, berjalan ke arah sofa. Naya mempersilahkan Irma untuk duduk.
"Apa kamu libur bekerja? Kenapa tiba-tiba muncul mendadak seperti ini?!" tanya Naya yang baru duduk di samping Irma.
"Sebenarnya, aku sedang dinas luar kota. Karena kebetulan, tempatnya di kota yang sama dengan rumahmu, tentu saja aku mampir ke sini dulu!" terang Irma.
"Benarkah?! Kenapa kamu tidak mengabariku sebelumnya?!"
"Aku sudah bilang ingin memberimu kejutan!"
"Tapi tetap saja..."
"Ah, sudahlah!" potong Irma. "Itu tidak penting. Hal yang lebih penting sekarang adalah, kapan suamimu pulang?" tanya Irma.
"Mas Hanan, pulang jam empat sore kalau tidak lembur," jawab Naya.
"Wah, waktunya hampir sama denganku. Nanti jam empat, akan ada yang menjemputku."
"Mau ke mana sore menjelang malam?" tanya Naya lagi.
"Bukankah aku sudah bilang tadi? Aku sedang ada dinas di sini. Nanti, aku akan mengamati penelitian di salah satu laboratorium," jelas Irma.
"Begitu, ya," Naya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nay! Kenapa kamu tidak peka? Apa kamu akan membiarkan tamumu kehausan?" ujar Irma. Naya tertawa mendengar Irma.
"Iya...iya... Maaf. Akan aku ambilkan minum, ya. Kamu mau yang dingin atau biasa?" tanya Naya.
"Terserah saja," ujar Irma. "Cepat ambilkan minum, dan kita akan membicarakan banyak hal!" pinta Irma lagi.
"Baiklah," kata Naya dengan tersenyum, lalu berjalan ke arah dapur.
***
"Terima kasih ya, Nay," Irma meletakkan gelas berisi minumannya di meja depan sofa. "Padahal aku hanya minta minum tapi kamu menyediakan makanan juga," lanjutnya.
"Aku senang kamu ke sini. Makanlah yang banyak," kata Naya yang baru datang dari dapur, dengan membawa irisan apel di atas piring. Kemudian, ia duduk di samping Irma.
"Kamu repot-repot sekali, sih Nay."
"Sudahlah. Kamu juga tidak bisa lama-lama di sini, kan? Satu jam lagi sudah jam empat." Naya menunjuk ke arah jam dinding.
"Iya juga. Kenapa waktu cepat sekali berlalu saat kita bertemu seperti ini, ya?" ujar Irma. Naya hanya tersenyum mendengarnya.
"Tapi untung saja, aku bisa dijemput jam empat setelah ini," ujar Irma dengan memasukkan satu potongan apel ke dalam mulutnya.
"Kenapa memangnya?" tanya Naya heran.
"Jadi, aku tidak akan bertemu dengan suamimu."
"Kenapa kamu tidak ingin bertemu Mas Hanan?" Naya semakin mengkerutkan keningnya dalam.
"Bukankah, suamimu tidak suka ada orang lain di rumahnya?" tanya Irma.
"Oh, tenang saja. Mas Hanan bukan orang yang seperti itu, kok. Dia sangat ramah menyambut tamu," kata Naya.
"Benarkah? Bukankah waktu itu, kamu pernah cerita kalau Mas Hanan marah padamu waktu Rian datang ke sini? Lagi pula, aku pikir Mas Hanan orang yang dingin."
"Tidak...tidak. Mas Hanan, dulu memang pernah marah. Tapi, sekarang tidak akan lagi. Aku jamin itu. Dan, dia bukan orang yang dingin. Dia sangat perhatian kok," jelas Naya.
Irma terdiam sejenak menerima kalimat Naya. Ia berpikir sejenak. Mengamati Naya yang masih memakan apel juga.
"Eh! Kamu sepertinya sedang membela suamimu? Apa jangan-jangan, kamu sudah menyukai Mas Hanan?" tanya Irma dengan pandangan curiga.
"Bukan begitu..." Naya kelihatan sedikit salah tingkah. "Maksudku, saat aku sudah mulai mengenal mas Hanan lebih dekat, dia memang orang yang baik," jelasnya lagi.
Namun, Irma masih melihat Naya dengan menyipitkan kedua matanya. Membuat Naya merasa tidak nyaman.
"Kenapa kamu memandangku seperti itu?!" tanya Naya. Irma lalu menyedekapkan kedua tangannya.
"Apa, kalian sudah ada kemajuan?" tanya Irma.
"Kemajuan apa maksudmu?"
"Apa, jangan-jangan kalian sudah tidur bersama?" tanya Irma menaikkan kedua alisnya. Naya yang tengah meminum air itu, tersedak dan terbatuk-batuk karena terkejut.
"Apa yang kamu katakan?!" Naya menepuk bahu Irma. "Kamu tahu aku dan Mas Hanan tidak ada hubungan spesial, bukan?!" kata Naya.
"Jadi, hubunganmu dengan suamimu memang hanya sebatas teman, ya?" tanya Irma lagi.
"Tentu saja!" jawab Naya dengan penekanan. Irma menurunkan kedua tangannya dan menghilangkan pandangan curiganya.
"Bahkan kamar kalian terpisah." Irma melihat kamar Naya dan Hanan bergantian. "Apa, orang tua kalian tahu kalian tidur berbeda kamar seperti ini?"
"Sampai saat ini, belum. Mereka masih belum ke sini sama sekali setelah pernikahan kita," jawab Naya.
"Haaaah..." Irma menghela nafas panjangnya. "Melelahkan sekali hidupmu. Belum bisa lepas dari Rian, tapi tidak bisa menjalin hubungan apapun dengan suamimu." Irma mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali. Naya hanya tersenyum mendengarnya.
"Tidak juga!" sanggah Naya. "Aku dan Mas Hanan, sudah menjadi teman baik sekarang," kata Naya.
"Kamu menikah hanya untuk berteman? Oh my gosh!" Irma menepuk keningnya dengan salah satu tangannya.
"Memangnya apa salahnya berteman?" balas Naya.
"Kalau teman pasti akan biasa-biasa saja, kan?" kata Irma lagi. "Lagi pula, apa bagusnya berteman itu?" tanya Irma lagi.
Naya hanya tersenyum menanggapi Irma. Naya kemudian mengalihkan pandangannya dari Irma. Melihat ke arah depan dengan tatapan menerawang.
"Tidak juga. Aku merasa senang bisa berteman dengannya. Dari jauh, dia memang orang yang dingin. Tapi setelah dekat dan mengenalnya, dia orang yang sangat hangat. Dia kadang marah, tapi selalu meminta maaf lebih dulu. Setelah semakin dekat, dia benar-benar orang yang peduli. Bahkan, saat aku sakit dia merawatku dengan baik," kata Naya yang tersenyum sendiri.
Irma yang saat itu akan memasukkan satu potongan apel ke dalam mulutnya, menjadi terhenti. Ia melihat ke arah Naya dengan tatapan heran.
"Merawat saat kamu sakit?" ulang Irma. "Memangnya Rian pernah merawatmu?" tanya Irma lagi. Naya segera menoleh ke arah Irma.
"Bukan Rian. Tapi, Mas Hanan," jawab Naya. Irma nampak terkejut mendengar kalimat Naya baru saja.
"Waaah... sejak kapan kamu membicarakan laki-laki lain selain Rian?" tanya Irma yang menaikkan kedua alisnya. Membuat Naya langsung salah tingkah.
"Bukankah... tadi kamu bertanya soal Mas Hanan?" Naya balik bertanya.
"Yang kumaksud teman dari dulu kan, memang Rian."
"Aku sudah bilang. Mas Hanan sudah menjadi temanku!" Pembelaan dari Naya yang masih bertingkah kikuk.
"Tapi, caramu menyampaikan saat menceritakan soal suamimu tadi, seperti ada sesuatu yang menyiratkan, lebih dari teman. Mencurigakan." Kali ini, Irma menyipitkan kedua matanya. Naya hanya membisu, tidak dapat membalas kalimat Irma.
"Meskipun kelihatannya aneh, tapi jujur saja aku sangat mendukung hubunganmu dengan suamimu. Lagi pula, kalian sudah menikah. Lalu, kenapa kalian harus menjaga jarak?"
Naya masih terdiam berpikir. Ia mencoba menyelami pikirannya sendiri. Betul juga kata Irma. Tapi saat ini, bukan itu pertanyaan yang lebih penting. Yang ada di kepala Naya sekarang adalah... kenapa, saat ini ia sering memikirkan Hanan?