Hanan menuliskan sesuatu di sebuah lembar kertas. Salah satu laporan yang harus ia berikan pada atasannya. Namun, di tengah-tengah tulisannya, ia terhenti.
Tiba-tiba, muncul wajah Naya di dalam lift tadi malam. Saat mereka berhadapan, dengan jarak sangat dekat. Saat mengingatnya, Hanan merasa debaran jantungnya, tidak terkontrol sama sekali.
Hanan segera menutup kedua matanya rapat sejenak. Ia menarik nafas panjang, untuk meredakannya. Jujur saja, waktu itu ia juga merasa malu. Ia lalu menggelengkan kepalanya pelan beberapa kali.
Hanan kembali fokus. Ia membaca dokumennya lagi. Saat mulai di baris ke tiga, mendadak terlintas lagi raut wajah Naya yang tersipu saat mereka saling tatap tadi malam.
Sial! Apa yang dilakukannya sekarang?! Bukankah, ia harus segera mengirimkan dokumen ini pada atasannya? Hanan menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menyadarkan dirinya kembali.
Tapi, jika dipikir kembali, Hanan jadi penasaran. Jangan-jangan, Naya salah paham dengan sikapnya tadi malam. Hanan jadi mengkerutkan keningnya dalam.
"Kira-kira, apa yang dipikirkannya?" gumam Hanan pelan berbicara sendiri.
"Apa?" tanya Gilang yang duduk di sampingnya.
Hanan terkejut dengan suara Gilang. Ia baru sadar, jika dari tadi Gilang juga ada di ruangannya. Mereka sedang mengerjakan data bersama. Tapi, kepala Hanan justru terisi dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan sama sekali.
"Apa yang kau katakan?" tanya Gilang lagi.
"Ti... tidak..." Hanan menaikkan kedua bahunya. "Apa aku mengatakan sesuatu?"
"Kau sedang bergumam sendirian. Apa kau merasa tidak puas dengan hasil rapatnya?" Gilang masih membahasnya. Hanan menjadi kikuk setelah itu.
"Y...ya... aku kira, rapatnya tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan," jawab Hanan terbata.
"Benar juga. Aku tidak menyangka kalau pemasarannya harus diubah," balas Gilang.
Hanan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya merespon Gilang. Untung, Gilang tidak sadar. Hanan bisa menghela nafas leganya.
"Oh iya! Bukankah katamu Naya sakit?" tanya Gilang lagi.
"Ya. Tapi, ini sudah jauh lebih baik," jawab Hanan.
"Syukurlah. Aku sampai bingung melihat sikapmu yang sangat mengkhawatirkannya kemarin," kata Gilang. Hanan tercekat. Ia kemudian hanya berdehem untuk mengalihkan sikap salah tingkahnya.
"Ngomong-ngomong, soal Naya..." ungkap Gilang tiba-tiba. Membuat Hanan kembali menoleh ke arah Gilang. "Dia, penulis n****+ online ya?" tanya Gilang lagi.
"Iya," Hanan mengangguk dua kali menjawab Gilang. "Kenapa?"
"Istriku kemarin, membaca salah satu novelnya. Katanya bagus. Lagi pula, istriku juga senang membaca n****+," kata Gilang lagi.
"Benarkah?" tanya Hanan menaikkan kedua alisnya. "Baguslah kalau begitu. Memang, n****+ Naya selalu membuat penasaran," ungkap Hanan senang.
"Tapi, menurutku bukankah sayang sekali?" ujar Gilang.
"Kenapa?" tanya Hanan yang mengernyitkan keningnya.
"Naya kan lulusan universitas negeri. Kenapa dia hanya di rumah sebagai penulis? Bukankah, ilmunya tidak bermanfaat? Dan juga, memangnya dia dibayar?" tanya Gilang lagi.
"Kau salah besar berpikir begitu" sanggah Hanan.
"Apa? Kenapa?" Gilang tidak mengerti.
"Menurutku, itu jauh lebih baik. Naya, beruntung bisa menjadi apa yang diinginkannya. Sejak kecil, Naya suka sekali menulis. Dengan menjadi penulis, dia menunjukkan bahwa dia bisa menyalurkan hobinya. Justru, aku iri dengan Naya," ujar Hanan.
"Tapi, di perusahaan seperti ini kan, kita bisa menemui banyak orang dari berbagai tempat," kata Gilang.
"Kau pikir, bekerja di perusahaan selalu enak? Waktu yang kita gunakan untuk bekerja selalu diatur. Kita juga harus datang ke kantor setiap hari. Tapi Naya, ia memiliki waktu yang fleksibel. Dia bisa mengatur jadwal kerjanya kapan saja, dan bisa di bawa ke mana saja. Tidak harus ke kantor. Dan, Naya juga bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai macam profesi yang sama-sama memiliki hobi menulis. Secara online," jelas Hanan.
"Oh... begitu." Gilang mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Dan satu lagi. Naya, tentu saja digaji seperti kita. Gajinya lumayan besar, karena dia salah satu penulis terbaik di perusahaan n****+ digital. Aku melihat sendiri, dia yang terpilih!" tambah Hanan.
"Benarkah? Kalau begitu aku yang salah mengartikan kegiatan Naya selama ini ya?" ujar Gilang.
"Mangkanya, jangan selalu berkomentar tanpa tahu dulu!" cetus Hanan.
"Ya.... Ya... Kau memang benar. Aku baru tahu soal itu," Gilang mengakuinya.
Hanan tersenyum tipis. Ia puas, bisa membuat paham temannya. Hanan lalu melihat ke arah jendela. Di depan kaca yang tembus pandang dengan pemandangan luar itu, terhalang oleh wajah Naya yang muncul dari imajinasinya.
"Naya... Dia bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Pernah waktu itu, saat dia akan pergi ke tempat yang agak jauh, untuk urusannya sebagai penulis. Aku ingin mengantar, tapi dia menolaknya. Dengan alasan tidak ingin merepotkanku," jelas Hanan.
"Perempuan yang mandiri," ujar Gilang membenarkan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Hanan tersenyum tipis, mendengarnya.
"Ya! Bahkan, dia seringkali memendam kesedihannya sendiri. Dia jarang menceritakan soal hidupnya pada orang lain. Lebih memilih menyembunyikannya dari pada berbicara pada orang lain," tambah Hanan.
Hanan berbicara dengan terus menatap ke arah jendela. Pandangannya menerawang. Seolah-olah, memang di dalam kepalanya, terus saja memikirkan Naya.
Gilang memperhatikan Hanan saat berbicara. Sepertinya, Hanan benar-benar tenggelam dalam imajinasinya soal Naya. Membuat Gilang merasa aneh karenanya.
"Wah, ternyata kau lebih mengenal Naya dari pada Linda, ya?" ujar Gilang sambil menyedekapkan kedua tangan.
Hanan tentu saja tercekat akan kalimat Gilang baru saja. Ia segera menoleh ke arah temannya. Mengkerutkan kening dalam.
"Apa ini?! Kenapa kau tiba-tiba membahas Linda?" tanya Hanan.
"Jadi, kau tidak ingin membahas hal lain, selain Naya?" tanya Gilang lagi bermaksud menggoda. Ia bahkan menaikkan salah satu alisnya dan tersenyum tipis.
"Bukan begitu!" tukas Hanan. "Linda sudah menjadi masa laluku. Tidak perlu membicarakan dia lagi," kata Hanan.
"Benarkah?!" Gilang meninggikan nada bicaranya. "Jadi, kau sudah bisa melupakannya?!"
"Y...ya... aku rasa begitu..." jawab Hanan yang terbata. Ia juga ikut berpikir saat menjawabnya.
"Jadi, saat ini kau menganggap Naya adalah masa depanmu?!" seru Gilang semakin penasaran.
"Ah! Sudahlah. Apa kau tidak bisa lebih serius sedikit?" tanya Hanan.
"Apa kau tidak mengerti juga? Dari tadi aku juga sangat serius. Memang, ekspresi wajahku terlihat bercanda. Tapi, aku sungguh-sungguh jika membicarakan soal Naya. Sampai kapan kau akan seperti ini?"
"Seperti ini bagaimana maksudnya?" Hanan masih belum paham.
"Sampai kapan, kau dan istrimu itu hanya berteman?!" Gilang melakukan penekanan pada kalimatnya. Hanan hanya bisa terdiam tidak merespon. Tentu saja, ini juga harus menjadi pertanyaan serius baginya.
"Kenapa kau tidak menjalin hubungan suami istri yang sesungguhnya dengan Naya? Kau pikir, sampai kapan kau dan Naya harus menutupi ini semua dari orang tua kalian?" tanya Gilang lagi.
Hanan masih terdiam. Jika memang ia dan Naya terus seperti ini, artinya justru tidak ada masa depan bagi mereka. Tapi, saat ini bukan itu hal utama yang ada di otak Hanan. Hanan berpikir, bagaimana bisa ia menjalin hubungan pernikahan dengan Naya secara benar, jika Naya tidak mencintainya?