"Menikah?!" seru Irma dengan nada terkejut melalui ponsel.
"Ya," jawab Naya singkat.
"Dengan siapa?!"
"Namanya mas Hanan."
"Siapa itu?"
"Dia, kakak kelasku waktu aku SMA."
"Sejak kapan kalian pacaran? Kenapa kamu tidak pernah cerita?"
"Kami tidak pernah pacaran. Kami hanya dijodohkan oleh orang tua."
"Apa dia menyukaimu?"
"Tidak. Dia, baru putus dengan pacarnya. Aku dengar, dia masih menyukai mantannya."
"Dan kamu menikah dengan orang yang tidak menyukaimu? Lalu, apa kamu menyukainya?" tanya Irma. Naya menghela nafas panjangnya.
"Kamu sudah tahu jawabannya," jawab Naya.
"Bagaimana bisa, pasangan menikah dan saling tidak suka satu sama lain?" Irma tidak habis pikir.
"Aku rasa, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa melupakan Rian," jawab Naya lemas. Irma tak habis pikir dengan itu.
"Cara yang konyol!" gumam Irma seolah sedang berbicara sendiri. "Dia tidak menyukaimu. Memangnya dia setuju dengan perjodohan ini?"
"Aku tidak tahu? Tapi yang jelas, aku akan tetap menikahinya."
"Bagaimana caranya?"
"Aku akan bilang kalau, aku menyukainya."
"Nay. Pikirkan baik-baik. Pernikahan adalah soal hidupmu ke depannya."
"Entahlah? Kepalaku sakit setiap kali aku memikirkan Rian. Aku lelah. Aku ingin keluar dari semua ini," ujar Naya yang mulai bersuara gemetar. Irma terdiam begitu mendengar suara Naya yang gemetar. Ia sadar, jika Naya mulai menangis.
"Aku tidak tahu, apa lagi yang harus aku lakukan? Yang penting aku bisa melupakan perasaanku pada Rian," lanjut Naya yang semakin keras menangis.
Naya tak kuasa menahan perasaannya. Apa lagi yang bisa dilakukan Irma? Ia pun akhirnya ikut mendukung keputusan temannya.
***
Naya mengunci pintu rumah dari luar. Ia akan pergi ke swalayan dekat rumahnya. Saat ia masih mengunci, ia mendengar suara mobil sedang berhenti di depan rumahnya.
Naya pikir, mungkin Hanan sudah pulang. Lagi pula, ini juga sudah sore. Waktunya Hanan pulang. Naya segera berbalik arah.
Namun, begitu terkejutnya Naya ketika melihat mobil siapa yang sedang terparkir di sana? Ada Rian. Masalahnya, Rian tidak sendiri. Ia bersama seorang perempuan.
Rian? Rian datang. Kenapa dia bisa datang? Dari mana dia tahu? Tunggu! Kenapa dia bisa tahu alamat rumah ini? Sementara Naya membeku dan sibuk dengan pikirannya. Rian dan istrinya keluar dari mobil sembari tersenyum ke arahnya.
"Nay!" sapa Rian pada Naya dengan melambaikan tangannya.
Naya yang masih terguncang itu, tidak bisa merespon dengan cepat. Meski hanya dengan tersenyum. Ia hanya terdiam membeku. Bahkan saat ini, sepertinya ia sangat kesulitan bernafas.
"Kenapa kamu jadi patung begitu?! Woi! Sadarlah!" teriak Rian yang sudah berada di luar mobilnya.
Naya mencoba mendorong otaknya untuk berfungsi. Akhirnya, ia perlahan berjalan menuruni teras tangga. Berjalan mendekat ke arah Rian dan istrinya.
"Rian?" sapa Naya pelan. Ia kemudian menoleh ke arah perempuan yang ada di sampingnya. "Ninggar?" Naya gantian menyapa istri Rian.
"Hai Naya." Istri Rian balik menyapa. Naya berusaha keras memaksakan senyumnya.
"Kita, baru pertama kali bertemu," kata Naya.
"Iya," jawab Ninggar tersenyum ramah.
"Rian, banyak sekali bercerita tentangmu," kata Naya yang masih mencoba untuk tersenyum.
"Aku juga banyak mendengarmu dari Rian," balas Ninggar.
"Ada apa ini? Kenapa kamu menikah diam-diam begini? Kenapa tidak mengabariku?" tukas Rian.
"Kenapa, kamu bisa datang ke sini?" Naya balik bertanya dan tidak menjawab pertanyaan Rian.
Belum sempat Rian menjawab, mereka bertiga mendengar suara mobil yang mendekat. Mereka lalu refleks menoleh ke arah mobil yang mendekat itu. Naya tidak tahu mobil siapa itu?
Dari dalam mobil, Hanan dan Gilang keluar. Rupanya, mobil Gilang yang sedang mengantar Hanan. Hanan dan Gilang berjalan mendekat ke arah mereka. Naya yang sebenarnya masih bingung, kembali mencoba bereaksi.
"Mas, ini ada temanku datang," kata Naya pada Hanan. Naya rasa, ia harus memperkenalkan tamunya pada tuan rumah.
"Kenalkan, Mas. Saya Rian. Teman kuliah Naya," kata Rian sembari menyodorkan tangan pada Hanan.
"Ya," jawab Hanan singkat sambil tersenyum. "Silahkan masuk." Hanan mempersilahkan mereka masuk.
Rian dan istrinya, berjalan ke arah rumah. Naya yang masih berpikir, berharap ia akan bisa melewati ini. Ia pun ikut berjalan ke arah rumah.
Saat Rian dan istrinya sudah masuk rumah, Naya melihat Hanan yang masih berdiri terdiam. Hanan juga memanggilnya. Naya segera berjalan mendekat ke arah Hanan.
"Mas, kenapa tidak ikut masuk?" tanya Naya.
"Nay! Sudah kubilang, meskipun kita menikah tidak akan ada yang terjadi di antara kita. Kenapa kamu masih tidak mengerti juga?!" ujar Hanan dengan sedikit nada tinggi. Naya tersentak kaget. Ia kembali diam.
"Aku..."
"Maafkan aku," potong Hanan langsung. "Mungkin aku sedikit berlebihan," ujar Hanan sembari menghela nafas membenarkan sikapnya. "Aku tidak bisa menemani temanmu. Aku ada urusan lain. Mungkin aku akan pulang malam hari ini."
Setelah mengatakan itu, Hanan berbalik meninggalkan Naya. Gilang yang ada di sana, pun mengikuti Hanan berjalan kembali ke arah mobilnya. Naya masih berdiri sendirian.
Sejujurnya, Naya merasa kepalanya sangat penuh dengan sesuatu. Ia bahkan tidak begitu paham dengan situasi apa yang terjadi kali ini. Begitu mobil yang ditumpangi Hanan mulai menyala, Naya menundukkan kepalanya.
Mendadak, Naya merasa dadanya sesak. Ia menjadi sangat sedih. Tepatnya, bukan karena Hanan yang membentaknya. Tapi, ia harus menghadapi Rian dan istrinya sendirian. Dalam keadaan hati yang campur aduk itu, ia masih harus tetap tersenyum.
***
"Selamat, sudah menikah. Kabar yang membahagiakan. Tapi, kenapa kamu tidak mengabari kalau kamu mau menikah?"
Naya menutup kedua matanya rapat-rapat. Ia memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Ia teringat pertanyaan Rian tadi sore padanya.
"Benarkah kamu tidak tahu alasannya?" gumam Naya berbicara sendirian. Menjawab pertanyaan Rian yang terlewat tadi sore.
Naya memang berhasil lolos saat ia menemani Rian dan Ninggar, istrinya. Tapi, ia tidak menyangka jika dampaknya akan terus berlanjut sampai malam begini. Tadi, ia hanya melihat kemesraan Rian dan istrinya.
Saat Rian membelai kepala Ninggar. Saat Rian memegang tangan Ninggar. Saat mereka terlihat bercanda berdua. Hal-hal itulah yang dari tadi terekam di kepalanya.
Selama ini, Naya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Rian. Tujuannya sudah sangat jelas. Jika ia tidak ingin merasa seperti ini saat melihat Rian dan istrinya. Ia tidak bisa cemburu pada orang yang salah.
Naya bisa memahami Rian yang datang mengucapkan selamat atas pernikahannya. Hanya saja, Rian tidak pernah tahu apa alasan Naya yang sebenarnya tidak mengundang Rian. Dan inilah yang terjadi padanya.
Mendadak, Naya merasa di sekitarnya menjadi sesak kembali. Ia merasa marah, kesal, tidak terima, sedih dan juga bingung. Bagaimana cara untuk mengatasi ini? Naya menggigit bibirnya, merasakan sesuatu yang amat sakit di dalam hatinya.
Tepat saat itu, Hanan membuka pintu rumah. Naya yang hampir menangis, menjadi tertahan. Ia melihat Hanan baru pulang. Karena kondisi hatinya yang buruk, Naya merasa suaranya hilang. Sehingga ia tidak menyapa Hanan.
Begitu pula yang dilakukan Hanan padanya. Hanan hanya berjalan ke arah kamarnya. Naya bisa mengerti, mungkin Hanan masih marah waktu sore tadi. Tapi, ia tidak begitu mempedulikannya. Saat ini yang ada di kepalanya, masih soal Rian dan Ninggar.
Begitu Hanan masuk ke dalam kamar, Naya kembali sendirian. Karena di dalam rumah ini pemiliknya sudah datang, Naya tidak mungkin membiarkan dirinya menangis di sofa ruang tamu. Dengan lemas, ia berjalan ke arah kamarnya.
Di dalam kamar, Naya akan menangis sekencang-kencangnya. Meluapkan semua perasannya. Ia tidak tahan lagi. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi selain ini.