Hanan keluar dari kamar mandi. Saat itu, ia melihat Naya yang duduk di sofa, sedang membelakanginya. Naya duduk dengan melihat dan mengusap-usap layar ponselnya.
Hanan memperhatikan istrinya dari belakang. Hanan kembali teringat kejadian tadi pagi. Saat ia mengantarkan Naya pergi interview. Sejujurnya, hari ini terasa sangat cepat berlalu. Hanan merasa, hari ini mengesankan.
Hanan berjalan mendekat ke arah Naya. Hanan berjalan pelan, sehingga Naya tidak mendengar langkahnya yang mendekat. Hanan sudah berada di belakang Naya.
Naya masih terlalu fokus pada ponselnya. Sampai ia tidak tahu jika Hanan sudah ada di belakangnya. Karena Hanan tepat berada di belakang Naya, dengan tidak sengaja ia dapat melihat layar ponsel Naya.
Saat itu, Naya sedang melihat sosial media seseorang. Setelah diperhatikan, ternyata Naya sedang melihat sosial media milik seorang laki-laki. Hanan pun secara refleks ikut mengamatinya dari belakang.
"Bukankah itu temanmu yang bernama Rian?" ujar Hanan di dekat telinga Naya.
Naya tentu saja terjingkat kaget. Ia sampai hampir setengah meloncat karena suara Hanan tiba-tiba muncul di sampingnya begitu saja. Hanan pun ikut terkejut melihat ekspresi Naya begitu.
"Astaga, Mas Hanan!" ujar Naya dengan mengatur nafasnya.
"Maaf. Aku tidak menyangka kalau kamu sampai terkejut begitu," kata Hanan sedikit bingung. Hanan lalu memutari sofa, dan duduk di samping Naya.
"Kenapa kamu sampai terkejut begitu?" tanya Hanan.
"Mungkin, aku hanya terlalu fokus saja," jawab Naya.
"Fokus?" ulang Hanan. "Melihat sosial media Rian itu?" tanya Hanan untuk memastikan. Mendengar pertanyaan Hanan, Naya mengambil beberapa waktu untuk menjawabnya.
"Istri Rian hamil. Aku, ingin memberi selamat pada mereka," jelas Naya.
"Oh..." Hanan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah berapa lama mereka menikah?" tanya Hanan.
"Lima bulan dari pernikahan kita," jawab Naya.
"Aku pikir, kamu sering sekali membicarakan soal Rian."
"Kami, teman dekat saat kuliah," jelas Naya.
"Pantas saja. Mangkanya kamu sampai mengundangnya ke rumah," ungkap Hanan. Naya tersenyum agak menundukkan kepalanya sebentar.
"Sebenarnya, aku tidak mengundang Rian waktu itu," kata Naya.
"Apa?! Kenapa? Bukankah kalian dekat?"
"Aku, tidak datang ke pernikahannya."
"Kenapa?" tanya Hanan lagi. Naya mengambil nafas sebentar. Kemudian ia mulai akan berbicara lagi.
"Aku ada urusan lain. Sayang sekali. Padahal, seharusnya aku bisa datang," ujar Naya dengan ekspresi kecewa.
"Mangkanya, aku berniat tidak mengundangnya. Tapi, dia malah datang bersama istrinya. Aku sendiri tidak paham bagaimana dia bisa tahu alamat rumah ini," kata Naya dengan nada lemas.
Pandangannya menerawang ke depan, seolah memikirkan sesuatu. Membuat Hanan menjadi teringat akan satu hal.
"Tunggu!" ujar Hanan tiba-tiba. "Astaga! Waktu itu, aku membentakmu karena aku pikir kamu sudah mengundangnya dan memberikan alamat rumah ini. Maafkan aku," tambahnya. "Kenapa kamu diam saja dan tidak menjelaskannya padaku waktu itu?" tanya Hanan. Naya tersenyum getir melihat sikap Hanan.
"Sejujurnya, aku sama sekali tidak masalah, Mas. Lagi pula, itu semua sudah berlalu bukan?"
"Aku minta maaf, Nay. Aku merasa bersalah, karena marah-marah tidak jelas waktu itu," ujar Hanan. Naya kembali tersenyum kecil.
"Tidak ada yang salah di sini, Mas. Bukankah mas Hanan bilang kalau kita akan mulai dari awal lagi?" kata Naya sambil tersenyum. Hanan juga akhirnya bisa menerimanya. Ia kagum pada sikap Naya.
"Tapi, bukankah temanmu Rian itu sangat baik sekali? Karena dia sampai datang ke rumah, meskipun pernikahan kita sudah berakhir?" ujar Hanan. Naya masih melihat menerawang ke depan.
"Hm...hm." Naya menganggukkan kepalanya dua kali. "Dia, memang sangat baik," ujar Naya.
"Kalau bertemu dengannya lagi, tolong sampaikan permintaan maafku ya. Karena aku tidak bisa menemuinya waktu itu," kata Hanan. Naya kembali menganggukkan kepalanya.
"Oh iya, Mas! Bukankah tadi katanya mas Hanan ingin membaca novelku?" tanya Naya, mengingatkan Hanan.
"Ya!" Hanan menepuk kedua tangannya. "Tadi, aku memang ingin mengatakan itu padamu," ujar Hanan lagi. Naya tersenyum senang.
"Apa ponsel mas Hanan ada?"
"Ya...ya!" Hanan mengeluarkan ponselnya dengan antusias.
"Jadi, mas Hanan harus mendownload aplikasinya dulu," kata Naya mengambil ponsel Hanan. "Aku akan merekomendasikan salah satu novelku yang sudah tamat ya," tambahnya.
Naya mengajari suaminya. Hanan memperhatikan dengan saksama. Malam itu, mereka berdua terlihat jauh lebih dekat dari sebelumnya. Mereka juga terlihat seperti pasangan suami istri yang sesungguhnya.
***
"Han!" Suara Gilang yang muncul bersamaan dengan kepalanya di ruangan Hanan.
"Ya? Ada apa?" jawab Hanan dengan melihat ponselnya. Hanan bahkan tidak melihat ke arah Gilang.
"Ada apa denganmu? Ini sudah lewat jam istirahat. Apa kau tidak keluar?" tanya Gilang yang berjalan masuk mendekati Hanan.
"Kau duluan saja," pinta Hanan.
Gilang merasa heran melihat Hanan. Hanan sedang mengamati layar ponselnya dengan wajah serius. Memangnya pekerjaan apa yang sedang Hanan kerjakan sampai ia lupa istirahat? Membuat Gilang penasaran.
Gilang yang sudah ada di depan Hanan tepat, segera merebut ponsel Hanan darinya. Ingin tahu apa yang sedang Hanan kerjakan. Hanan tentu saja tersentak.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" teriak Hanan kesal. Ia lalu berdiri mendekat ke arah Gilang.
"Astaga!" seru Gilang. "Kau sedang membaca n****+?!" tanya Gilang tidak habis pikir.
"Berikan padaku!" Hanan mengambil balik ponselnya secara paksa.
"Aku pikir kau sedang mengerjakan sesuatu. Tidak tahunya sedang membaca n****+?" ujar Gilang.
"Sudah, pergilah sana dulu! Aku nanti menyusul!" kata Hanan yang sebenarnya menahan malu.
"n****+ apa yang membuatmu sampai lupa jam istirahat?" tanya Gilang lagi. Hanan hanya diam tidak menjawab. "Ah! Jangan-jangan, itu n****+ milik Naya ya?!" tebak Gilang yang seratus persen benar.
Hanan tercekat mendengarnya, tapi hanya bisa diam sambil berdehem dan salah tingkah. Sedangkan Gilang, tertawa terbahak dengan sikap Hanan.
"Aku baru melihatmu seperti ini!" ungkap Gilang masih tertawa memegangi perutnya. Hanan masih tetap diam.
"Oh iya. Nanti sore, anak-anak akan karaoke. Kau pasti ikut kan?"
"Tidak bisa. Aku akan makan di rumah bersama istriku."
"Apa?! Apa aku tidak salah dengar?"
"Apanya? Kenapa?"
"Istri?!" ulang Gilang yang hampir tidak percaya. "Maksudmu Naya?!"
"Ada apa denganmu? Siapa lagi?!" tukas Hanan.
"Itulah yang selama ini aku maksud. Naya itu memang istrimu. Akhirnya kau bisa sadar juga?"
"Memangnya aku kenapa?"
"Aku tidak perlu menjelaskannya. Yang harus memberi penjelasan di sini adalah kau. Sepertinya, kalian semakin dekat saja. Apa terjadi sesuatu?" Gilang menaikkan salah satu alisnya.
"Apa maksudmu terjadi sesuatu? Kita teman. Bukankah wajar kalau kita hanya sekedar makan bersama? Apa itu terlihat aneh?" balas Hanan.
"Tentu saja! Kau hanya berteman dengan orang yang menikah denganmu. Bagiku, sudah sangat aneh!"
"Sudahlah." Hanan mengibaskan salah satu tangannya. "Keluarlah! Aku masih harus mengirim email dulu!" pinta Hanan mengusir temannya.
Gilang tidak membalasnya. Ia kemudian berjalan keluar dengan terus tertawa melihat tingkah Hanan. Tidak sadar, jika Hanan masih menahan rasa malunya.
Hanan kemudian berjalan kembali ke arah mejanya. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia bisa sampai tidak mempedulikan waktu istirahat. Hanya untuk sebuah n****+?
Tapi, Hanan memang mengakui, jika n****+ Naya bagus. Karya Naya, sudah banyak sekali. Hanan membaca salah satu n****+ Naya yang sudah tamat.
Hanan kemudian teringat jika ia harus mengirimkan email. Ia mengambil flashdisk yang dari tadi ada di sakunya. Kemudian, menancapkan flashdisk miliknya ke komputer. Ia harus mengirimkan email, sebelum istirahat. Setelah data dari flashdisk muncul, Hanan merasa aneh.
Ini bukan data yang ada di dalam flashdisk miliknya. Setelah ia memperhatikan nama-nama file-nya, ia baru sadar jika itu flashdisk milik Naya. Rupanya karena flashdisk mereka sama, Hanan jadi salah ambil.
Apa boleh buat? Hanan tidak jadi mengirim email. Tidak masalah. Bisa ditunda nanti saat ia pulang. Ia akan berbicara pada Naya saat pulang. Sebenarnya, hari ini ia tidak sabar untuk pulang.
Hanan memperhatikan semua data yang ada di dalam flashdisk Naya. Ia membaca beberapa judul foldernya. Ada folder berjudul n****+, cerpen dan catatan hati.
Tunggu! Folder terakhir, memancing Hanan untuk membukanya. Tentu saja Hanan akan membukanya. Saat dibuka, ada sebuah file dari ms. word dengan judul 'untukmu'. Tentu saja memicu keinginan Hanan untuk membukanya pula.
'Dariku yang tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan. Entah kenapa akhir-akhir ini, aku tidak bisa mengontrol perasaanku. Ingin lari dari semua ini, tapi kakiku justru tertahan di sana. Semakin lama, perasaanku kian membesar. Apa yang seharunya aku lakukan?'
Hanan membaca paragraf pertama dari tulisan Naya. Jelas ini bukan n****+, karena hanya satu lembar. Nampak seperti diary. Ia kemudian melanjutkannya.
'Aku ingin mengatakan, aku menyukaimu. Tapi, aku sama sekali tidak pernah memiliki kesempatan untuk itu. Hanya bisa memendamnya. Bersedih, atas apa yang aku alami sendirian.'
Hanan terhenti kembali. Apa yang sebenarnya ingin Naya tulis? Bukankah, yang dimaksud tulisan Naya ini adalah dirinya? Semakin ke sini, Hanan menjadi semakin penasaran.
'Saat kita bersama, perasaan hangat selalu muncul. Tapi saat kita berpisah, dingin mulai menemani. Aku harus menerima kenyataan jika kamu bukan milikku.'
'Hanya bisa mendukungmu dari jauh. Mendoakanmu dalam diam. Meski sakit, tapi aku masih bisa sadar jika kamu tidak akan pernah bersamaku. Semakin sadar, itu justru membuatku semakin bersedih.'
'Entah sampai kapan perasaan ini bersamaku? Aku ingin melupakan semua ini, tapi justru melekat erat bersamaku. Aku ingin mengatakannya, tapi justru takut kehilanganmu. Dariku, untukmu. Rian.'
Tunggu! Hanan tersentak membaca satu kata di penghujung kalimat. Ia memproses agak lama di dalam kepalanya. Hanan tidak salah kan? Rian?!