Mobil Hanan sudah melaju sekitar sepuluh kilometer dari gedung tempat Naya interview. Sejak berangkat untuk kembali tadi, Hanan hanya terus diam. Sebenarnya, di kepalanya penuh dengan pertanyaan.
Naya yang tidak bisa memahami ekspresi Hanan, ikut diam. Sejujurnya, Naya takut untuk bertanya. Apa mungkin, Hanan merasa terbebani lagi soal pernikahan mereka?
"Mas?!" panggil Naya tiba-tiba.
"Hm?" Hanan seolah tersadar akan sesuatu. Ia sambil menyetir, menoleh ke arah Naya sebentar. "Ada apa?"
"Bukankah kita seharusnya belok ke arah sini?" tanya Naya menunjuk satu belokan yang baru mereka lewati.
"Astaga! Maaf...maaf!"
Hanan segera memelankan mobilnya, ke pinggir jalan raya, sampai menghentikannya. Kemudian, ia melihat jalan dari spionnya. Mencari waktu untuk memutar balik.
Setelah selesai memutar balik, Hanan kembali mengendarai mobilnya. Kali ini, ia mencoba kembali untuk fokus pada jalanan yang ia lewati. Naya, masih heran dan bingung akan sikap suaminya.
"Mas Hanan, lapar?" tanya Naya mencoba membuka percakapan.
"Belum," jawab Hanan singkat.
Naya melihat Hanan yang menjawabnya dengan ekspresi datar. Naya bisa menebaknya kali ini. Sudah pasti, Hanan tidak suka dengan acara tadi. Naya lalu mengalihkan pandangannya dari Hanan dan menunduk.
"Maaf, Mas" kata Naya pelan. Hanan kembali menoleh ke arah Naya cepat. Saat ini, gantian ia yang bingung.
"Maaf? Maaf kenapa?" Hanan justru bertanya.
"Mas Hanan, pasti merasa tidak nyaman dengan acara tadi kan? Aku sendiri tidak menyangka kalau akan ditanya soal pernikahan. Mangkanya, kemarin aku menyarankan agar Mas Hanan tidak ikut," ujar Naya ragu.
"Tidak!" seru Hanan dengan cepat. "Aku sama sekali tidak merasa begitu!" kata Hanan lagi sambil melambaikan tangannya, menandakan tidak. Naya segera mengangkat kepala dan menoleh ke arah Hanan.
"Benarkah?"
"Tentu saja! Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Karena dari tadi sikap mas Hanan sangat aneh. Mas Hanan hanya diam dan terlihat berpikir sesuatu. Jadi, aku pikir mas Hanan merasa tidak nyaman."
"Oh... mungkin karena aku merasa lelah saja hari ini," jawab Hanan dengan tersenyum.
"Lelah?" ulang Naya.
"Ah! Jangan salah paham!" seru Hanan cepat. "Maksudku, aku bukannya lelah karena mengantarmu. Tapi, aku lelah karena memikirkan pekerjaan kantor. Mungkin, setelah ini aku akan sering lembur," jelas Hanan. Padahal sebenarnya, di dalam kepalanya terlalu penuh dengan Naya.
Naya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar alasan palsu Hanan. Ia kembali fokus pada jalan. Membuat Hanan menoleh padanya sejenak.
"Maafkan aku kalau membuatmu takut. Aku sudah bilang kalau kita mulai dari awal, kan? Kita kan sudah menjadi teman," ujar Hanan.
Naya menengok ke arah Hanan dan ikut tersenyum lega. Sekali lagi, ia menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Mas Hanan sudah mengantar dan menemaniku," kata Naya.
"Tidak masalah. Itulah yang seharusnya dilakukan orang terdekat padamu bukan?" jawab Hanan. Naya kembali tersenyum mendengarnya.
"Oh iya. Dari tadi, aku ingin bertanya satu hal, karena membuatku penasaran," ujar Hanan.
"Apa, Mas?"
"Bukankah dulu, kamu kuliah jurusan teknologi?"
"Ya." Naya menganggukkan kepalanya.
"Sekarang, kamu jadi penulis. Maaf, bukannya aku men-judge jurusanmu. Tapi, aku hanya penasaran, kenapa kamu benar-benar tidak tertarik bekerja di perusahaan? Dan justru memilih untuk menjadi penulis full time?"
"Ceritanya sedikit panjang," ungkap Naya.
"Ceritalah! Aku ingin mendengarnya."
"Menulis memang hobiku sejak kecil," jawab Naya. Tapi, ayahku memiliki pemikiran, masuk di bidang ilmu eksak adalah sebuah kebanggan. Sebenarnya, ayahku sedikit terobsesi dengan jurusan eksak, begitu juga yang beliau inginkan padaku. Tapi, aku kurang pintar dalam hal itu."
"Maksudmu, apa ayahmu tidak mendukungmu sebagai penulis?" tanya Hanan.
"Untuk dulu, tentu saja Iya. Karena menulis, jauh berbeda dengan jurusan yang aku ambil. Membuat ayah berpikir, sayang dengan ilmu yang aku ambil saat kuliah. Sebenarnya, aku tidak begitu dekat dengan ayahku." Naya sedikit menundukkan kepala saat mengatakannya. Hanan memperhatikannya sebentar.
"Tapi, lihatlah! Bukankah sekarang kamu sudah bisa menunjukkannya pada ayahmu?" ujar Hanan berusaha menghibur Naya. Naya hanya tersenyum tipis.
"Aku harap, begitu," gumamnya pelan. "Selama kuliah dulu, aku baru sadar jika ternyata belajar ilmu pasti, membuatku sangat jenuh. Aku hanya berusaha mengejar nilai. Tapi, setelah ujian berakhir, aku merasa semua ilmu berlalu begitu saja dari kepalaku," terang Naya.
"Tapi, bukankah nilai kuliahmu cukup bagus?" tanya Hanan lagi.
"Tidak juga," jawab Naya. "Saat kuliah, nilaiku sering pas-pasan. Jadi, aku mulai mengikuti kegiatan di luar perkuliahan. Aku suka sekali mengikuti lomba-lomba. Seperti lomba kewirausahaan, lomba menulis artikel maupun cerpen atau n****+," jelas Naya.
"Lomba ya? Jadi kamu suka lomba?" tanya Hanan antusias.
"Hm...hm!" Naya mengangguk kencang. "Bisa dibilang, aku sering lolos saat mengikuti lomba. Temanku Rian, yang datang ke rumah waktu itu, dia menjadi tim-ku waktu lomba kewirausahaan. Padahal, kami berbeda jurusan," jelas Naya lagi. Hanan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Jadi, sejak itu kamu menulis?" tanya Hanan lagi.
"Bisa dibilang begitu. Aku baru tahu saat menulis, aku sangat menikmati prosesnya," kata Naya dengan ekspresi senang. Namun, sekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah agak murung.
"Ditambah lagi, aku ingin menulis karena aku memiliki kesulitan untuk mengungkapkan perasaan. Kadang, aku ingin bermaksud mengatakan sesuatu, tapi yang keluar dari mulut justru berbeda dari apa yang aku pikirkan. Dengan menulis, aku bisa mengungkapkan dengan detail apa yang aku rasakan," jelas Naya lagi. Hanan mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tidak bisa dipungkiri, jika Hanan merasa takjub akan hal itu.
"Lagi pula, dengan menulis aku juga bisa menceritakan kisahku. Saat aku merasa sedih, aku bisa menuangkannya di tulisanku. Saat kisahku tidak sesuai dengan harapanku, aku bisa mengubah takdirku sendiri lewat tulisanku," tambah Naya lagi.
Hanan menoleh ke arah Naya sebentar dan ia bisa melihat jika Naya sedang tersenyum getir. Ia paham betul, apa maksud istrinya itu. Naya hanya ingin mengungkapkan kesedihannya. Lagi-lagi, di kepala Hanan terasa penuh akan sesuatu. Tapi, saat ini bukan itu hal yang penting.
"Bukankah itu sangat mengagumkan?" ujar Hanan tiba-tiba. Naya menoleh melihat Hanan, tidak mengerti maksud Hanan. "Kamu, bisa mengubah takdir lewat tulisanmu. Aku, benar-benar baru mendengar hal itu. Itulah kekuatan penulis, bukan?" ungkap Hanan lagi.
Naya kembali tersenyum. Kali ini, ia tersenyum lega. Hanan mencoba menghiburnya.
"Ya. Aku rasa begitu," tambah Naya setuju akan pernyataan Hanan.
"Oh iya! Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran dan ingin membaca novelmu," kata Hanan mendadak.
Sebenarnya, Hanan hanya ingin mengalihkan percakapan saja. Karena Hanan merasa, jika Naya sudah mulai merasa sedih. Sangat terlihat dari pandangan matanya.
"Apa Mas Hanan yakin?" tanya Naya ragu.
"Tentu saja!" jawab Hanan mantap. "Aku lihat saat interview tadi, kamu memang penulis berbakat. Buktinya, dari ratusan penulis, kamu termasuk yang diundang di perusahaan sebesar itu."
"Ah, tidak juga, Mas," kata Naya tersenyum tersipu oleh pujian Hanan.
"Tapi aku benar-benar serius, ingin membaca novelmu."
"Benarkah? Kalau begitu, nanti sampai rumah, aku akan menunjukkannya pada Mas Hanan cara membacanya," kata Naya.
"Setuju!" jawab Hanan tersenyum mantap.
Keduanya kemudian sekali lagi melihat ke arah jalan raya. Hanan kembali fokus menyetir. Begitu juga Naya yang melihat arah depan.
Sekian detik berlalu setelah percakapan, diam-diam Naya melirik ke arah Hanan dan memperhatikannya menyetir. Saat itu, Naya tersenyum melihat suaminya. Tidak ada alasan yang jelas, hanya merasa nyaman saat bersama Hanan.