Hanan memarkir mobilnya di tempat yang disediakan, lalu mematikan mesinnya. Dari tadi, ketika ia sudah hampir sampai tujuan, ia melihat sekitarnya dengan tatapan heran dan setengah terperangah. Naya yang ada di kursi penumpang samping, melepas sabuk pengamannya.
"Ayo masuk, Mas!" ajak Naya dengan bersemangat.
"Nay? Apa kamu yakin ini tempatnya?" tanya Hanan yang masih mengamati gedung yang ada di depannya. Tempat Naya akan melakukan interview di D-n****+.
"Ya." Naya menganggukkan kepalanya. "Aku sudah beberapa kali ke sini." Konfirmasi dari Naya. "Ada apa memangnya, Mas?" tanya Naya lagi.
"Aku tidak menyangka kalau gedungnya akan sebesar ini," kata Hanan tercengang. "Bahkan jauh lebih besar dari kantorku," lanjut Hanan dengan ekspresi yang sama. Naya tersenyum mendengar tingkah Hanan.
"Perusahaan ini sudah berdiri cukup lama, Mas. Aku sendiri bersyukur bisa menjadi salah satu bagian di sini," kata Naya.
"Aku jadi penasaran. Berapa gajimu?" tanya Hanan lagi. Naya kembali tertawa kecil.
"Gajinya tergantung oleh kualitas penulis, Mas. Tidak besar, tapi cukup untuk kebutuhan sederhana," jelas Naya.
"Sepertinya kamu terlalu merendah?" Hanan seperti tidak percaya. Naya kembali tertawa.
"Nanti aku jelaskan. Sekarang, kita masuk dulu, Mas. Jadwalnya sudah akan mulai," kata Naya lagi.
Naya kemudian membuka pintu mobil. Hanan juga akhirnya mengikutinya. Tapi, dengan perlahan dan masih setengah terheran-heran. Setelah berada di luar mobil, Naya berjalan mendekat ke arah Hanan dengan melihat ponselnya.
"Wah, satu menit lagi giliranku. Kita tidak boleh terlambat, Mas. Ayo, Mas," ajak Naya terburu-buru.
Naya langsung berjalan masuk ke dalam gedung. Hanan pun segera mengikutinya dengan berjalan cepat. Sembari ia juga melihat-lihat suasana di dalamnya. Sampai mereka berada di sebuah lift.
"Lantai berapa?" tanya Hanan.
"Tiga, Mas," jawab Naya.
"Sudah berapa kali kamu ke sini?" tanya Hanan lagi.
"Mungkin tiga kali?" ujar Naya sambil mengingat-ingat. Hanan lalu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Oh iya. Nanti saat sudah di ruangan, Mas Hanan langsung cari tempat duduk di belakang kru ya, Mas," pinta Naya. Hanan mengangguk satu kali menuruti permintaan Naya. Naya tersenyum melihatnya.
***
"Apa kabar, Kak Naya Hania." Seorang perempuan dengan mikrofon bertanya pada Naya yang saat ini sedang duduk di depannya.
"Baik," jawab Naya dengan senyumnya.
Naya juga saat itu sedang memegang mikrofon miliknya. Sesuai kata Naya tadi, begitu tiba, Hanan mencari tempat duduk untuk melihat istrinya. Sedangkan Naya, sudah disediakan tempat untuk melakukan interview.
Di ruangan itu, ada sekitar dua kamera. Beberapa orang staff untuk merekam mereka. Hanan dipersilahkan masuk karena Naya mengatakan Hanan adalah suaminya.
"Apa kak Naya masih ingat denganku?" tanya perempuan yang berbicara pada Naya.
"Tentu saja. Anda, kak Arsya. Ambasador D-n****+. Siapa yang tidak tahu soal anda?" balas Naya sembari sedikit nada canda.
"Nyatanya banyak penulis yang tidak mengenalku. Karena mereka tidak diundang ke sini," balas candaan dari Arsya. Naya tersenyum mendengarnya.
"Jadi, kita bisa ke topik pembicaraan?" tanya Arsya.
"Kapan saja," jawab Naya dengan menaikkan kedua tangannya ringan.
"Baiklah kalau begitu." Arsya melihat ponselnya untuk mulai mengajukan pertanyaan.
"n****+ kak Naya yang berjudul Mrs. N, sangat populer, untuk bulan ini. Kami bangga akan hal itu."
"Terima kasih." Naya menganggukkan kepala dengan sopan.
"Bisakah kak Naya ceritakan sedikit, tentang apa isinya?" tanya Arsya.
"n****+ itu bercerita tentang..."
Naya melanjutkan kalimatnya untuk menjelaskan spoiler dari novelnya. Hanan mendengarkan dan memperhatikan istrinya. Saat Naya sudah hampir setengah menjelaskan n****+ miliknya, Hanan menjadi penasaran untuk membaca n****+ Naya.
Naya menceritakannya dengan jelas. Saat itu, Hanan baru tahu jika cara Naya menjelaskan sangat baik. Hanan terus mengamati istrinya yang berada agak jauh dengannya.
Naya bilang, mungkin Hanan akan bosan jika hanya menunggunya. Tapi, ternyata Hanan tidak merasa begitu. Hanan benar-benar sangat menikmati berada di sana. Memperhatikan Naya yang terus berbicara.
Semakin lama, Hanan merasa semakin larut dalam suasana di ruangan itu. Tidak sadar, Hanan mulai meletakkan siku tangannya di atas meja. Ia memiringkan kepalanya, dan menyandarkan bagian samping dahinya ke genggaman tangannya, dengan tersenyum.
Rupanya, jika diperhatikan Naya sangat cantik. Apa lagi, jika ia sedang mengungkapkan pemikirannya seperti itu. Bukankah sangat menawan?
Tunggu! Lagi-lagi, Hanan mengalami hal ini. Hanan sadar dengan cepat. Apa yang baru saja ia pikirkan?! Ia segera mengganti posisi tangannya. Kepalanya kembali tegak. Kenapa Hanan justru fokus pada Naya? Bukan pada interview yang sedang dilakukan?
Apa yang terjadi padanya? Hanan menutup kedua matanya rapat. Menarik nafasnya panjang-panjang. Mulai mencoba kembali fokus pada acara ini.
"Kak Naya sudah tiga kali ke sini. Apa yang membuat kak Naya berbeda hari ini?"
Suara perempuan yang bernama Arsya, kembali mengembalikan konsentrasi Hanan. Hanan lalu membuka kedua matanya. Ia melihat ke arah Naya lagi.
"Saya selalu merasa berbeda karena saya selalu menerbitkan buku yang berbeda pula," jawab Naya.
"Benarkah? Apa bukannya berbeda karena diantar suami?" goda Arsya dengan menaikkan salah satu alisnya.
Naya tercekat mendengarnya. Ia terlihat melebarkan kedua matanya. Begitu juga yang dilakukan oleh Hanan.
Naya kemudian menoleh ke arah Hanan. Lagi-lagi, hal yang sama yang pernah Naya lakukan. Seolah ia sedang meminta konfirmasi pada Hanan.
"Kak Naya, baru menikah belum ada satu bulan kan?" tanya Arsya. Naya kembali menoleh ke arah Arsya.
"Bagaimana, bisa tahu?" tanya Naya.
"Media lebih cepat," ujar Arsya lagi. Naya lalu kembali ber-eskpresi bingung.
"Jadi, sudah berapa lama kalian pacaran?" tanya Arsya untuk kedua kali. Naya mengerjap dan bingung untuk harus menjawab apa?
"Kami..." Naya terbata dan berpikir sejenak. "Sebenarnya, kami sudah kenal lama. Kami dulu satu sekolah saat SMA. Saya adik kelas suami saya," jawab Naya yang akhirnya bisa membelokkan jawabannya.
"Wah! Pasti kalian berhubungan sangat lama. Iya, kan? Apa kak Naya bisa menceritakan masa pacaran kalian?"
Lagi-lagi, Naya melihat ke arah Hanan dengan tatapan bingung. Sangat terlihat dari matanya. Sedangkan Hanan, merasa aneh kenapa Naya melihatnya. Bukankah Naya hanya tinggal berbohong? Kenapa dia sangat kikuk? Pikir Hanan.
"Maaf. Bukannya, ini interview soal n****+ saya?" tanya Naya pelan pada Arsya.
"Tentu saja. Saya hanya ingin melakukan selingan agar tidak bosan," ungkap Arsya. "n****+ kak Naya sangat bagus. Saya yakin, pembaca sudah tidak memerlukan penjelasan lagi. Dan banyak juga yang bertanya soal pernikahan kak Naya," tambahnya.
"Saya pikir, tidak ada yang spesial soal itu," jawab Naya masih bisa berhasil membelokkan jawaban.
"Oke... Oke. Karena kami juga menghargai privasi kak Naya, kami akan terima jawaban itu," ujar Arsya. Naya kemudian bisa menghela nafas lega sebentar.
"Baiklah. Karena singkatnya waktu, satu lagi pertanyaan terakhir. Karena kak Naya baru menikah, menurut kak Naya, apa arti pernikahan itu?"
Naya masih terdiam sejenak, tidak segera menjawab. Ia masih berpikir, dengan setengah menundukkan kepalanya. Hanan terus memperhatikannya dengan sedikit cemas.
Sekian detik yang telah berjalan, Naya rasa cukup. Ia akan menjawabnya. Naya menarik nafas dalam. Kemudian ia mulai menegakkan kepalanya.
"Saya akui, saya masih belum bisa menjadi istri yang baik. Tapi menurut saya, arti pasangan hidup adalah sebuah cermin bagi kita. Bayangan yang terpantul, akan menjadi koreksi kita. Dia tahu semua kekurangan kita. Dan bisa jadi pelengkap saat kita kehilangan."
Semuanya menjadi hening begitu Naya mengungkapkan opininya. Arsya memberikan kesempatan. Sedangkan Hanan, amat fokus mendengar Naya.
"Dan inilah yang ingin saya lakukan sebagai seorang pasangan. Bisa menjadi frekuensi-nya. Bisa mengikuti candaannya. Bisa mengerti di saat semua tidak bisa mengerti. Dan, bisa menjadi sandaran saat dia lelah. Saya ingin mendengar semua keluhannya. Meski saya tidak bisa memberikan solusi, tapi dia bisa nyaman berada di dekat saya."
Naya menjawabnya dengan sangat baik. Terbukti semua yang ada di sana, menjadi sangat hening mendengarkannya. Termasuk Hanan yang bisa merasakannya. Terpukau seolah tersihir dengan kalimat Naya.
Ditambah lagi, saat Naya mengatakannya, itu bukanlah sebuah kepura-puraan. Hanan bisa merasakan jika Naya mengatakannya dengan jujur dari dalam dirinya. Setelah ini, pandangan Hanan pada Naya, berubah total.