Perasaan Bersalah

1171 Kata
Hanan memarkir mobilnya tepat di depan rumahnya. Setelah kejadian tadi sore di depan rumahnya, ia meminta tolong Gilang mengantarnya ke bengkel tempat mobilnya di servis. Mobilnya yang seharusnya diambil lusa, bisa Hanan ambil sekarang karena Hanan meminta pegawai servis untuk segera memperbaiki mobilnya. Sehingga, sampai malam begini, ia baru selesai. Saat ini, ia sudah bisa pulang bersama mobilnya. Hanan yang memarkir mobilnya di depan rumah, segera turun dari mobilnya. Setelah keluar, ia terdiam sesaat sembari memandangi rumahnya. Rumahnya nampak sepi meskipun semua lampu menyala. Sejujurnya, saat ia menunggu mobilnya di bengkel, pikirannya terganggu akan sikapnya sendiri pada Naya tadi sore. Memang tidak seharusnya ia bersikap seperti itu pada Naya. Tadi, ia hanya refleks saja karena tekanan dari dalam pikirannya sendiri. Kalau dipikir-pikir, mungkin dia memang sedikit berlebihan. Hanan menghela nafasnya. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah pintu rumahnya. Sekian detik, ia sudah membuka pintunya dan masuk ke dalam. Begitu Hanan masuk, ia melihat Naya duduk termenung di sofa ruang tamu. Bertepatan dengan itu, Naya juga menengok ke arahnya. Mereka saling tatap dan terdiam. Saat itu, entah kenapa atmosfer sekitar mereka mendadak menjadi sangat kaku. Hanan merasa, lidahnya membeku dan tidak bisa berbicara. Ia menjadi salah tingkah. Karena Hanan merasa tidak bisa berkata-kata, ia hanya meneruskan jalannya. Masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya kembali. Naya pun tidak menyapa Hanan sama sekali. Setelah berada di dalam rumah, Hanan berjalan ke arah kamarnya. Naya masih diam dan melihat Hanan berjalan masuk kamar. Saat Hanan sudah masuk ke dalam kamar dan menutupnya dari dalam, Naya kembali menundukkan kepalanya dengan sedih. Sedangkan Hanan yang sudah berada di dalam kamar, melepas jaketnya. Ia duduk di ranjang kamar dengan lemas. Saat ini, di dalam kepalanya jelas tergambar wajah Naya yang baru saja dilihatnya. Naya benar-benar kelihatan sangat sedih. Hanan bisa langsung tahu, saat ia baru masuk tadi, Naya sedang melamun sendirian. Naya tidak sedang bermain ponsel atau menonton televisi. Hanan bingung dan jadi kepikiran. Tapi... Ah! Sudahlah. Hanan hanya akan membiarkannya saja. Hanan kemudian melinting baju bagian lengannya. Ia berdiri dari ranjangnya, berniat untuk membersihkan dirinya. Setelah menaruh tasnya, Hanan kembali berjalan menuju pintu kamar. Ia akan mandi ke kamar mandi. Hanan kembali membuka pintu kamarnya, untuk ke kamar mandi. Saat sudah berada di luar kamar, Hanan melihat sofa ruang tamu sudah kosong. Naya tidak ada di sana. Kemudian Hanan menyapu pandangan dan melihat pintu kamar Naya tertutup dari dalam. Hanan jadi kepikiran lagi. Wajah Naya yang terlihat sedih saat ia baru pulang tadi, tidak bisa hilang dari dalam kepalanya. Hanan menutup matanya rapat-rapat. Menggelengkan kepalanya sedikit. Ia berusaha mengganti isi kepalanya. Hanan lalu meneruskan langkahnya menuju ke kamar mandi. Jalan ke arah kamar mandi, melewati pintu kamar Naya. Hanan terus berjalan dan berusaha melupakan raut wajah Naya tadi. Tapi, saat berada di dekat kamar Naya, Hanan terhenti. Ia mendengar sesuatu yang membuatnya amat penasaran. Suara perempuan yang sedang menangis. Tentu saja, itu suara Naya. Untuk lebih jelasnya, Hanan berjalan mendekat ke arah kamar Naya. Ia kemudian menempelkan telinganya ke pintu Naya, untuk memastikannya. Suara Isak tangis Naya, sangat jelas. Tidak salah lagi. Hanan benar-benar mendengar suara Naya yang sedang menangis. Saat itu, Hanan benar-benar sadar. Ternyata, Naya sampai merasa sesedih itu dengan sikapnya. Membuat Hanan benar-benar merasa menyesal dibuatnya. "Apa, aku memang benar-benar sudah berlebihan?" gumam Hanan pelan berbicara sendiri. *** Suara alarm ponsel Hanan berdering lumayan keras. Hanan yang merasa terganggu, meraba ranjangnya untuk mencari ponselnya. Ia meraba dengan masih menutup matanya. Saat sudah bertemu di tangannya, ia melihat jam yang tertera di ponselnya. Sudah jam tujuh pagi. Ini sudah alarm yang ke-lima. Hanan lalu mematikan alarm dan kembali melemparkan ponselnya di atas ranjang. Ia menguap dan menggaruk kepalanya. Matanya berat sekali untuk terbuka. Hanan baru tidur jam tiga pagi tadi. Jujur saja, ia tidak bisa tidur semalaman karena di kepalanya kepikiran Naya yang menangis. Hanan merasa tidak tega. Bukankah ini salahnya? Hanan berpikir, jika ia keluar kamar, mungkin Naya sedang sibuk di dapur. Seperti kemarin. Hanan kemudian bangun perlahan dan berjalan keluar kamarnya. Ia lalu membuka pintu kamarnya. Sayangnya, tebakan Hanan salah. Di dapur masih sangat bersih. Begitu juga di meja makan. Sama sekali tidak ada makanan. Hanan keluar kamarnya dan melihat ke arah kamar Naya yang masih tertutup dari dalam. Tidak biasanya Naya masih di kamar, di jam segini. Biasanya, pukul lima pagi Naya sudah bangun dan melakukan kegiatannya. Apa yang terjadi pada Naya saat ini? Apa Naya benar-benar sedih? Bagaimana kalau sekarang, dia masih menangis? Hanan benar-benar sangat terganggu. Ia tidak pernah menyakiti perasaan seseorang sebelumnya. Hanan lalu kembali lagi ke kamarnya. Ia mengambil ponselnya dengan cepat. Saat ini, ia harus segera mengambil inisiatif. Hanan mengusap layar ponselnya. Lalu ia menempelkan ponselnya pada telinganya. Ia mencoba menghubungi seseorang. "Halo, Lang?" "Ya? Ada apa Han?" "Sepertinya, aku masuk agak siang hari ini," kata Hanan. "Kenapa?" ulang Gilang. "Aku telat bangun." Jelas saja, Hanan hampir tidak tidur tadi malam. "Nanti aku akan ijin pada pak direktur. Tolong, kau gantikan aku sebentar mengambil semua dataku pagi ini," tambah Hanan. "Baiklah. Ini aku juga sudah siap-siap." "Terima kasih," ujar Hanan mengakhiri panggilannya. Panggilan diputus. Hanan lalu menaruh ponselnya di atas meja yang ada di dalam kamarnya. Ia kemudian berjalan lagi ke arah pintu kamarnya. Hanan berjalan keluar, mendekat ke arah kamar Naya. Ia menempelkan telinganya pada pintu kamar Naya. Mencoba mencuri dengar kenapa sampai sekarang, Naya masih belum keluar juga. Hanan melihat jam dindingnya. Sekitar pukul tujuh pagi, pasti masih ada bubur yang dijual di pinggir jalan. Hanan akan keluar untuk membeli sarapan untuk dirinya, dan juga untuk Naya. Ide itu, terpikir begitu saja. Semoga, bisa membantu rasa bersalahnya. Hanan kemudian segera mengambil kontak mobilnya untuk pergi membeli bubur. *** Hanan pulang dari membeli bubur. Ia membeli dua buah bubur. Diletakkannya di meja makan. Karena sedikit antri, ia jadi harus memakan waktu setengah jam hanya untuk membeli bubur. Setelah ini, ia masih harus cepat-cepat bersiap untuk berangkat kerja. Hanan segera pergi untuk membersihkan dirinya. Ia baru ingat kalau kemarin atasannya memintanya untuk mengerjakan laporan dan memintanya cepat. Kenapa ia baru ingat sekarang? Sekian detik, Hanan yang dari kamar mandi, segera bersiap untuk berangkat. Ia sekali lagi melihat jam dinding dan sudah pukul setengah sembilan. Hanan harus segera berangkat sekarang. Setelah ganti baju, ia segera keluar dari kamarnya. Hanan kembali berjalan keluar rumah yang melewati meja makan. Saat itu, ia melihat bungkusan bubur yang ia beli, masih berada di tempat yang sama. Hanan kemudian menolehkan kepala melihat ke arah kamar Naya. Masih tertutup seperti awal. Hanan bingung harus bagaimana? Apa ia harusnya mengetuk pintu Naya untuk menyuruhnya sarapan? Bubur yang ia belikan, pasti segera dingin kalau tidak segera dimakan. Hanan perlahan berjalan mendekat ke kamar Naya. Ia mengangkat tangannya untuk mulai mengetuk pintu Naya. Namun, tangannya terhenti ketika sudah berjarak beberapa sentimeter dari pintu Naya. Hanan menjadi ragu. Bagaimana kalau Naya masih tidur di dalam? Bukankah justru semakin mengganggunya? Hanan akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu Naya. Hanan meletakkan bubur itu kembali ke atas meja makan. Semoga, saat Naya sudah terbangun, ia akan memakan buburnya. Hanan lalu melanjutkan langkahnya kembali untuk keluar rumah dan segera pergi bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN