Menjadi Teman

1206 Kata
Hanan berjalan ke arah teras depan rumahnya. Hari masih belum malam, dan ia tidak sedang lembur. Tapi ia cukup lelah pulang kerja hari ini. Mungkin karena ia kurang tidur tadi malam. Hanan berjalan mendekat ke arah pintu dengan memijat lehernya yang kaku. Ia membuka pintu rumahnya, dan di dalam rumahnya sangat sepi. Hanan masuk dan mengkerutkan keningnya melihat sekitar rumah. Hanan bisa melihat di dalam rumahnya hampir sama ketika ia berangkat kerja tadi. Kamar Naya masih tertutup dari dalam. Yang membuat Hanan semakin heran adalah bubur yang ia beli untuk Naya, masih di tempatnya, dan masih terbungkus utuh. Hanan mengernyitkan wajah. Ia merasa heran dengan keadaan Naya. Apa mungkin Naya tidak makan dari pagi? Apa jangan-jangan Naya tidak keluar dari kamarnya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Naya di dalam? Hanan menjadi khawatir. Ia lalu segera meletakkan tasnya di meja begitu saja. Berjalan cepat mendekat ke kamar Naya. Bersiap akan mengetuk pintu Naya dengan keras. Jika dikunci, Hanan akan bersiap untuk mendobraknya saja. Saat Hanan sudah mengangkat tangannya untuk diketuk, tiba-tiba pintu Naya terbuka dari dalam. Naya membuka pintunya terlebih dulu. Saat itu, Naya bisa langsung melihat Hanan yang akan mengetuk pintunya. Suasana menjadi canggung seketika. Mereka saling tatap dengan pandangan sama-sama heran. Masalahnya adalah, Hanan masih tidak merubah posisinya. Membuat Naya melihatnya dengan aneh. Sekian detik kemudian, proses perintah dari otak ke seluruh tubuh Hanan, barulah berjalan. Begitu melihat Naya yang baik-baik saja, ia segera memindah tangannya. Dengan cepat dan kikuk. "Mas?" sapa Naya heran. "Ada apa, Mas? Apa, mas Hanan ingin berbicara denganku?" tanya Naya. "Ee ... itu ...," Hanan bingung sendiri. Ia lalu menarik nafas panjangnya mencoba mengontrol sikapnya. "Maaf. Aku mungkin sedikit mengganggumu," katanya kemudian. "Tidak, kok. Mas Hanan tidak menggangguku," jawab Naya yang kemudian menundukkan kepalanya perlahan. Hanan kembali memperhatikannya. "Naya? Apa kamu baik-baik saja? Dari tadi pagi, kamu terus saja berada di kamar dan tidak keluar," tanya Hanan. Butuh waktu sekian detik sampai Naya menjawabnya. "Tidak, kok Mas. Aku keluar kok tadi," jawabnya pada Hanan. Hanan memperhatikan mata Naya yang sembab. "Apa, kamu menangis semalaman?" tanya Hanan lagi. Naya tercekat dengan pertanyaan Hanan. Ia kembali terdiam dan menatap suaminya canggung. "Kenapa, Mas Hanan bisa tahu?" Naya balik bertanya. "Matamu sangat sembab. Siapapun pasti bisa langsung tahu begitu melihat wajahmu," jelas Hanan. Naya setengah menundukkan kepalanya pelan. "Kenapa?" tanya Hanan lagi. "Aku, baru saja melihat drama sedih. Jadi, aku menangis," jawan Naya berusaha tersenyum. Kemudian, Naya kembali tertunduk pelan. Hanan tahu Naya sedang berbohong. "Ngomong-ngomong, aku membelikanmu bubur di atas meja makan. Kenapa kamu tidak memakannya?" tanya Hanan mengalihkan pembicaraan. Naya mengangkat kepalanya melihat Hanan sebentar. Kemudian ia menengok ke arah meja makan. "Jadi, bubur itu untukku?" tanya Naya dengan menunjuk ke dirinya. "Jadi, kamu tidak tahu?!" Hanan balik bertanya. Naya diam lagi awalnya. Kemudian, ia kembali menatap suaminya. "Mana aku tahu kalau bubur itu untukku, Mas?" tanya Naya. "Tadi pagi, aku ingin mengetuk pintu kamarmu dan memberikannya untukmu. Tapi, aku takut kalau justru mengganggumu. Jadi, aku tinggalkan bubur itu di meja makan begitu saja," jelas Hanan. "Kalau begitu, terima kasih, Mas," ungkap Naya pelan. "Sebenarnya, tadi aku juga berpikir bubur itu untukku. Tapi, aku teringat kata mas Hanan kemarin. Meskipun kita menikah, kita seharusnya tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Jadi ...," Naya menghentikan sendiri kalimatnya. Memang benar apa yang dikatakan Naya itu. Hanan menjadi tercekat dan bingung dengan apa yang sudah ia perbuat saat ini. Ia bahkan tidak bisa membalas pernyataan Naya. Naya gantian melihat Hanan yang tertunduk. Ia juga merasa bingung jika keduanya menjadi saling diam seperti ini. Naya harus berbuat sesuatu. "Kalau begitu, aku akan makan buburnya sekarang," kata Naya yang mencoba mencairkan suasana. Naya lalu berjalan ke arah meja makan. Tapi, Hanan segera menarik tangannya untuk mencegahnya. Membuat Naya tersentak dan berhenti. Kemudian, ia melihat ke arah Hanan dengan heran. "Kamu, tidak perlu memakan bubur itu," kata Hanan datar. Membuat Naya menjadi kembali bingung dan heran. Hanan lalu menatap istrinya. "Buburnya sudah dingin. Bagaimana kalau kita keluar membeli makan malam untuk kita?" ajak Hanan dengan lembut. Naya awalnya masih setengah bingung. Tapi, kemudian ia bisa tersenyum juga dengan ajakan suaminya. "Tentu saja," kata Naya yang masih tersenyum. Hanan juga membalasnya dengan senyuman. "Setelah kita makan malam, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," tambah Hanan dengan serius. Naya terdiam sesaat. Sampai sekian detik berlalu, ia menganggukkan kepalanya menuruti pinta suaminya. *** "Maaf," ucap Hanan dengan merasa bersalah. Naya yang baru saja menyelesaikan makan malamnya, terkejut dengan satu kata keluar dari mulut Hanan itu. Ia lalu menolehkan kepala ke arah Hanan. Tidak mengerti apa maksud Hanan tiba-tiba mengatakan maaf. "Sebenarnya, tadi malam aku tidak bisa tidur karena merasa bersalah padamu," jelas Hanan lembut. "Merasa bersalah kenapa?" tanya Naya. "Kemarin, aku tidak bisa menemanimu menyambut temanmu yang bernama Rian itu. Mereka datang karena memberi selamat atas pernikahan kita," kata Hanan. Naya menjadi sedikit tertunduk mendengarnya. "Itu, sama sekali tidak masalah kok, Mas. Jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula, Mas Hanan juga sedang sibuk, kan?" tanya Naya lagi. "Jujur saja. Kemarin sore, aku sama sekali tidak sibuk," jawab Hanan. Naya kembali mengangkat kepalanya menatap suaminya. "Aku hanya, merasa tidak nyaman dengan semua yang terjadi belakangan ini. Aku, hanya berusaha menghindar dari kata-kata pernikahan," terang Hanan. Naya kembali terdiam dan menundukkan kepalanya. "Tapi, setelah aku pikir, mungkin aku sedikit berlebihan padamu. Jadi, aku minta maaf soal itu," ujar Hanan tulus. "Aku, sama sekali tidak masalah. Aku juga tahu, apa resikonya saat memutuskan untuk menikahi Mas Hanan. Aku, yang seharusnya minta maaf kalau mungkin aku bersikap melewati batas dalam pernikahan ini," kata Naya yang masih setengah menunduk. Mendengarnya, Hanan justru merasa semakin merasa bersalah. Naya berkata dengan setengah menundukkan kepalanya. Ia juga bisa melihat kesedihan di mata Naya. "Tetap saja, aku merasa bersalah," kata Hanan. Naya kembali mengangkat kepalanya. Melihat suaminya yang memang benar-benar tulus meminta maaf. "Tidak, Mas. Aku benar-benar tidak apa-apa," kata Naya berusaha menghiburnya. "Kalau begitu, kenapa kamu tadi malam menangis?" tanya Hanan. Naya terdiam sejenak. "Sudah aku bilang, aku baru melihat drama sedih. Jadi ...," "Apa kamu pikir aku percaya?" potong Hanan. Naya menjadi tercekat. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. "Itu ...," Naya bingung juga mau menjelaskan apa. Ia menghentikan sendiri kalimatnya. "Maafkan aku, Nay," ungkap Hanan lagi. "Seharusnya, aku sadar dari awal kalau pernikahan ini juga adalah keputusanku. Tidak ada yang memaksaku untuk menikahimu. Jadi, aku salah jika terus menyalahkanmu," terang Hanan. Naya hanya terdiam mendengar. "Setelah ini, aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik," kata Hanan lagi. Naya masih diam memperhatikan suaminya. "Bagaimana, kalau kita mulai dari awal?" ujarnya lagi. Naya yang tengah menunduk itu, perlahan mulai mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Hanan. Masih memproses kalimat dari Hanan untuknya. "Kita memang melakukan pernikahan ini atas dasar perjodohan. Aku akui, aku masih belum bisa menjadi seorang suami yang utuh untukmu. Tapi, paling tidak, kita bisa menjadi teman kan?" tanya Hanan lagi. Naya masih terdiam dan melihat Hanan dengan pandangan anehnya. "Ah! Maaf, kita memang sudah menjadi teman dari dulu di sekolah. Maksudku, kita bisa menjadi teman yang lebih dekat dari sekarang. Bagaimana?" Hanan menyodorkan tangannya pada Naya. Naya tidak segera menjawabnya. Ia hanya memandangi Hanan sekian detik. Sampai akhirnya ia membalas sodoran tangan Hanan. "Ya. Tentu saja," jawab Naya dengan tersenyum manis. Hanan pun ikut tersenyum lega. Setelah ini, hari-hari mereka bisa berjalan dengan jauh lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN