Berlebihan?

1105 Kata
Hanan melamun melihat ke arah kaca dalam mobil Gilang. Saat masuk kerja di hari pertama, setelah cuti pernikahannya, ia nampak menjadi lebih pendiam. Gilang yang sedang menyetir, meliriknya. "Kau cepat sekali menyelesaikan pekerjaanmu di hari pertama masuk kantor? Apa kau ingin cepat-cepat bertemu istrimu?" goda Gilang pada Hanan yang duduk di sebelah kursi pengemudi di dalam mobilnya. "Sudahlah! Dari tadi kau terus saja mengolokku!" Hanan dengan kesal. "Aku hanya merasa, kau sedikit berbeda setelah menikah. Menjadi pendiam dan terlalu fokus pada pekerjaanmu. Bahkan, saat datang tadi kau langsung bekerja tanpa sarapan." "Aku tidak selera makan pagi." "Pengantin baru biasanya memang begitu," kekeh Gilang lagi. "Kau mulai lagi! Kau tahu itu sangat menggangguku!" tukas Hanan kesal. "Aku pikir, hidup berdua dengan Naya adalah keputusan yang salah," ujar Hanan lagi. "Kenapa?" "Apa kau tahu yang dilakukannya pagi ini?" "Apa?" "Naya menyiapkan sarapan untukku!" kata Hanan dengan penekanan. "Dia juga sudah menyeterika semua bajuku!" lanjutnya dengan nada yang sama. "Apa salahnya?" tanya Gilang menaikkan kedua bahunya tetap dengan menyetir. "Bukankah terasa aneh? Aku tidak suka barangku disentuh orang lain. Aku juga tidak suka mengganti kebiasaan ku setiap hari!" "Kalau begitu, suruh saja Naya tinggal di tempat lain. Bukan di rumahmu yang baru kau beli itu!" "Aku dan dia kan sudah menikah. Dia juga sudah menjadi istriku. Bagaimana kata orang nanti?" "Itulah yang aku maksudkan. Karena dia istrimu, wajar saja kalau dia melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan seorang istri," kata Gilang. "Hentikanlah!" seru Hanan sembari mengalihkan pandangannya dari Gilang. "Padahal kita sama-sama sudah tahu apa alasan untuk menikah. Hanya untuk menuruti permintaan orang tua," gerutu Hanan dengan nada malas. "Han ... Han! Kalau aku jadi kau, aku pasti akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Kau tahu? Istriku di rumah jarang memasak untukku. Tidak pernah menyiapkan bajuku. Terus saja mengomel kalau anakku sedang rewel. Kau malah kesal saat istrimu melayanimu dengan baik?" "Karena kau tidak berada di posisiku!" "Ya! Aku pastikan kalau aku ada di posisimu, aku pasti akan lebih baik pada Naya! Sayang sekali, yang diberi kesempatan itu adalah kau. Bukan aku!" balas Gilang. Hanan menatap ke arah Gilang dengan berdecak kesal. Lalu, ia membuang muka seraya menghela nafas. Mengalihkan pandangannya ke arah jendela kaca mobil. Melihat pemandangan dari dalam. "Menjengkelkan sekali," gumam Hanan sangat pelan, tapi masih bisa didengar oleh Gilang. "Sayangnya, mobilku masih di bengkel. Aku masih harus menumpang denganmu," keluh Hanan lagi. Gilang hanya menaikkan kedua pundaknya mendengar Hanan. Ia tidak lagi menggoda temannya. Kembali fokus menyetir karena sebentar lagi sudah sampai di depan rumah Hanan. Tinggal satu belokan lagi, dan mereka sudah bisa melihat rumah Hanan dari jauh. Saat itu, Hanan melihat ada mobil di depan rumahnya. Membuat Hanan heran. "Bukankah katamu mobilmu masih di bengkel?" tanya Gilang yang juga melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah Hanan. "Sudah jelas itu bukan mobilku," jawab Hanan pada Gilang. Kemudian, ia kembali melihat ke arah rumahnya yang semakin dekat. "Tapi, mobil siapa itu?" gumam Hanan kembali berbicara sendiri. Sekian detik kemudian, mobil Gilang sudah sampai tepat di depan rumah Hanan. Saat itu, selain Hanan melihat sebuah mobil asing terparkir di depannya, ia juga melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang berbicara dengan Naya. "Siapa itu?" tanya Gilang setelah menghentikan mobilnya. "Mana aku tahu! Mungkin teman Naya," jawab Hanan ragu. Gilang mematikan mesin mobilnya. Kemudian Hanan dan Gilang turun dari mobil. Naya beserta kedua temannya, juga melihat ke arah Hanan yang baru turun dari mobil. Hanan dan Gilang jalan mendekat. "Mas? Ada temanku dan istrinya datang," kata Naya pada Hanan. Hanan tersenyum sembari menganggukkan kepala ke arah kedua teman Naya. "Kenalkan Mas. Saya, teman kuliah Naya. Rian," ujar laki-laki teman Naya yang mengulurkan salah satu tangannya pada Hanan. "Ya. Hanan," jawab Hanan membalas jabatan tangan dari teman Naya. Mereka yang berada di sana lalu saling bersalaman masing-masing. Hanan juga ikut menyambut dengan tersenyum. Gilang juga ikut bersalaman. "Silahkan masuk ke dalam," kata Hanan mempersilahkan kedua teman Naya itu. "Ayo masuk," tambah Naya juga. "Terima kasih," jawab Rian, teman Naya. Kemudian, mereka berdua jalan masuk ke dalam rumah dan diikuti Naya di belakang. Saat itu, Hanan memanggil sebentar Naya sehingga Naya terhenti. Naya yang heran melihat ke arah suaminya. Ia lalu berjalan kembali mendekat ke arah Hanan. Sementara, teman Naya sudah masuk ke dalam rumah terlebih dulu. "Ada apa, Mas? Mas Hanan tidak ikut masuk?" tanya Naya. Hanan awalnya tidak segera menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangannya dan menghela nafas berat. "Nay! Aku ada urusan dengan Gilang. Aku harus pergi lagi," kata Hanan. Gilang yang mendengarnya segera mengkerutkan keningnya dalam. "Urusan apa? Bukankah aku sudah mengantarmu pulang?" tanya Gilang yang tidak paham maksud temannya. Naya yang melihat mereka menjadi semakin bingung. Tapi, ia hanya diam saja. Hanan melihat ke arah Gilang cepat. Ia lalu kembali menghela nafasnya. "Nay! Bukankah tadi pagi aku sudah mengingatkanmu! Meskipun kita sudah menikah, tidak ada perubahan di antara kita. Kenapa kamu malah mengundang temanmu ke sini?!" Hanan tidak sadar sudah meninggikan nada bicaranya. "Kenapa kamu sama sekali tidak mengerti juga!" Hanan terlihat semakin marah. "Mas, aku ...," "Sudahlah," potong Hanan, membuat Naya terhenti. Hanan kemudian menghembuskan nafas panjangnya. Mencoba mengontrol kembali emosinya. Naya masih melihatnya dengan sedikit tercekat. "Maaf, mungkin aku berlebihan," kata Hanan mengganti kalimatnya menjadi bernada rendah. Ia berusaha sabar. Naya yang ada di depannya, masih terdiam karena takut. Gilang yang ada di sana juga hanya diam karena merasa tidak berhak mengatakan apapun. Suasana di sekitar mendadak menjadi canggung. Naya terus menundukkan kepala. Hanan lalu kembali menghela nafas sembari memijat pelipisnya. "Aku akan pergi dengan Gilang. Jadi, aku tidak bisa menyambut temanmu. Kamu temani saja mereka. Aku mungkin akan pulang malam," kata Hanan lagi. Hanan lalu berbalik dari Naya. Ia segera berjalan kembali ke mobil Gilang. Gilang yang ada di situ, juga tidak bisa berbuat apapun, selain mengikuti Hanan dan kembali ke mobilnya. Meskipun sebenarnya ia merasa tidak enak. Sedangkan Naya masih menundukkan setengah kepalanya. Gilang tidak punya pilihan lain. Ia akhirnya mengikuti Hanan untuk kembali ke mobilnya. Meninggalkan Naya yang sendirian berdiri di sana. "Urusan apa denganku?" tanya Gilang pada Hanan yang sudah masuk ke dalam mobilnya. "Kau seperti tidak tahu saja? Aku hanya berusaha menghindar," jawab Hanan. Gilang hanya menggelengkan kepalanya melihat ke arah Hanan. Kemudian, ia menyalakan mesin mobilnya. "Apa kau tidak sedikit berlebihan? Bukankah wajar kalau teman Naya datang memberi selamat atas pernikahan kalian? Kenapa reaksimu berlebihan seperti itu?" ujar Gilang. Hanan diam tidak membalas Gilang itu. Ia hanya menatap ke arah spion yang terhubung dengan pantulan bagian belakang mobil Gilang. Hanan bisa melihat jelas bayangan Naya yang terpantul di kaca spion. Naya masih terus berdiri dan menundukkan kepalanya. Tidak lama, Naya kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah dengan lemas. Hanan terus memperhatikan Naya yang berjalan hingga tak kelihatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN