Ada Apa denganmu, Hanan?

1135 Kata
Hanan keluar dari kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya. Dengan keadaan yang sudah rapi, tentu saja Hanan akan siap berangkat bekerja. Hanan lalu berjalan ke arah pintu rumah. Saat Hanan melewati pintu kamar Naya, ia terhenti sejenak. Ia melihat pintu kamar Naya terbuka. Tampak Naya yang masih berbaring dengan mengenakan selimut di ranjangnya. Tidak biasanya Naya masih tidur jam segini? Hanan lalu berjalan mendekat ke kamar Naya. "Nay?" panggil Hanan. "Iya, Mas?" Naya membuka matanya dengan sedikit dan perlahan. "Aku berangkat," kata Hanan. "Iya, Mas," jawab Naya lemas. Hanan masih merasa aneh dengan Naya. Ia lalu masuk ke dalam kamar Naya. "Nay? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hanan. "Aku hanya merasa tidak enak badan, Mas," jawab Naya dengan nada yang sama. Hanan merasa aneh melihat wajah Naya yang agak memerah. Ia segera memegang kening Naya. Hanan terkejut merasakannya. Rupanya, suhu badan Naya panas sekali. "Badan kamu panas sekali! Sejak kapan?!" tanya Hanan. "Sepertinya... dari jam tiga malam tadi," jawab Naya ragu. "Kita harus ke dokter sekarang juga!" "Tidak usah!" cegah Naya cepat. "Tenang saja, Mas. Aku sudah minum obat. Mas Hanan pergi kerja saja tidak apa-apa," kata Naya. "Mana bisa begitu!" ujar Hanan panik. Hanan segera melinting baju di bagian lengannya dan pergi keluar dari kamar Naya. Naya yang memang hanya lemas, tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam dan heran melihat Hanan. Tidak lama setelah itu, Hanan masuk kembali. Ia membawa wadah berisi kompres air. Meletakkan wadah tersebut di atas meja dekat ranjang Naya. Hanan lalu mengompres kening Naya. Naya hanya terdiam melihat sikap Hanan yang merawatnya itu. Karena badannya lemas, ia tidak bisa begitu merespon dengan baik. "Pasti karena kamu kehujanan dan kedinginan waktu di halte itu," kata Hanan sembari mengganti kompres di kening Naya. "Tadi malam juga, kamu lembur menulis, kan? Pasti kamu kelelahan juga," tambahnya. "Tapi, memang aku sudah biasa kok, Mas," ujar Naya. Hanan menghela nafas. "Mulai sekarang, jangan tidur terlalu malam, dan jangan hujan-hujanan lagi!" pinta Hanan dengan nada cemasnya. Naya hanya menganggukkan kepala menuruti kalimat suaminya. "Kamu pasti belum sarapan. Aku akan pergi membelikannya dulu. Kamu ingin makan apa?" tanya Hanan. "Aku, tidak enak makan. Nanti saja aku bisa beli sendiri, Mas," kata Naya. "Jangan! Kamu harus istirahat. Tidak boleh keluar sendiri. Enak tidak enak, kamu tetap harus makan. Aku akan membelikanmu makan sekarang juga!" kata Hanan lagi. "Tapi, bukankah Mas Hanan sudah mau berangkat kerja?" tanya Naya. "Tenang saja. Aku bisa ijin telat," jawab Hanan. "Yang penting sekarang adalah kamu," tambah Hanan lagi. Naya terdiam mencerna kalimat suaminya baru saja. Hanya mengedipkan mata, dengan ungkapan suaminya. Bukankah, maksud Hanan adalah lebih mementingkan Naya, dari pada pekerjaannya? "Semoga, kompres ini bisa membantu," ujar Hanan lagi. Setelah itu, ia berdiri. "Nanti siang, kamu juga tidak perlu keluar. Aku akan memesankan makanan untukmu. Kamu istirahat di rumah saja, ya," kata Hanan. "Aku pergi dulu mencarikan sarapan," lanjut Hanan dengan berjalan ke arah pintu keluar. "Mas!" panggil Naya cepat. Membuat Hanan terhenti. Ia kembali menoleh akan panggilan istrinya. "Ya?" balas Hanan masih memasang wajah cemas. "Kalau begitu, tolong belikan bubur yang waktu itu. Mas Hanan pernah membelikannya untukku," kata Naya lagi. "Baiklah," jawab Hanan sambil mengangguk tersenyum. Hanan kemudian berjalan keluar dari kamar Naya. Saat sudah berada di luar, Hanan mengeluarkan ponsel dari saku. Ia mencoba menghubungi seseorang. "Halo?" sapa Hanan begitu ponsel sudah menempel di telinganya. "Maaf, Pak. Saya sedikit telat hari ini. Ada urusan mendadak." Naya yang ada di kamar, bisa melihat maupun mendengar Hanan yang sedang meminta ijin untuk datang telat, karena dirinya. Ia tidak menyangka jika Hanan benar-benar mengkhawatirkannya. Rupanya, suaminya sangat perhatian padanya. Jujur saja, baru pertama kali Naya merasakan hal seperti ini. *** Hanan mematikan komputernya setelah menyimpan semua data-data. Setelah itu, ia segera membereskan barang-barang miliknya dengan setengah panik. Sudah waktunya pulang. Ia harus cepat pulang. Dari tadi, Hanan memang tampak gelisah dan segera ingin pulang. "Han?!" Suara Gilang seperti biasa muncul. "Ada apa? Aku tidak ada waktu. Aku harus segera pulang cepat hari ini!" kata Hanan, bahkan sebelum Gilang menyampaikan maksudnya. "Kenapa kau hari ini? Kau datang terlambat. Gelisah saat rapat. Ingin pulang cepat. Apa ada hal mendesak?" tanya Gilang lagi. "Naya sakit," jawab Hanan masih dengan membereskan barang-barangnya. "Naya sakit?!" ulang Gilang. "Jadi, saat dari rapat tadi kau bolak balik menelfon seseorang, apa itu Naya juga?!" tanya Gilang lagi. "Ya." Hanan mengangguk satu kali. "Dia sendirian di rumah sekarang," jawab Hanan masih dengan keadaan panik. "Padahal badannya panas sekali. Tapi, dia tidak mau diajak ke dokter," ujar Hanan. "Aku kira, kau masih marah pada Naya. Soal katamu Naya yang sudah berbohong padamu itu," ujar Gilang. Hanan terhenti membereskan barangnya sebentar. Ia kemudian menghela nafasnya. "Aku pikir aku memang tidak seharusnya marah. Lagi pula, aku sendiri juga menikahinya karena alasan yang sama" kata Hanan. Ia kemudian kembali memasukkan dokumennya kembali. "Ya...ya. Memang seperti itu, suami istri seharusnya, bukan?" ujar Gilang menaikkan salah satu alisnya bermaksud menggoda. Hanan hanya memutar bola matanya ke atas sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak membalas candaan Gilang. "Sudahlah! Ada apa kau mencariku? Kalau kau ingin mengajak keluar, kau sudah tahu jawabannya," ujar Hanan. "Ya. Awalnya aku memang ingin mengajakmu bersama yang lain. Sebenarnya, hari ini pak direktur mengajak kita semua keluar," ujar Gilang. "Ada yang ingin beliau sampaikan juga soal..." Gilang terhenti saat berbicara. Gilang melihat Hanan yang nampak sama sekali tidak mendengarkannya. Hanan hanya fokus pada data yang ia pilih untuk dimasukkan ke dalam tas. Kemudian, Hanan mengusap ponsel dan menempelkan di telinganya. Membuat Gilang merasa heran. "Han? Apa kau mendengarku?" tanya Gilang seraya menyedekapkan tangan. "Maaf. Sebentar ya, Lang!" ujar Hanan dengan wajah panik. Hanan harus berkonsentrasi pada nada dering yang tersambung melalui ponsel di dekat telinganya. "Kenapa tidak diangkat?" gumam Hanan berbicara sendiri, sembari menjauhkan ponsel dari telinganya. Hanan lalu kembali mengusap layar ponselnya dan lagi-lagi menempelkan di telinga Hanan. "Kau, sedang menelpon siapa?" "Naya. Dari jam tiga tadi, dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Apa jangan-jangan, sakitnya semakin parah?" Hanan masih seolah berbicara sendiri. "Seharusnya, aku tidak masuk saja hari ini," tambah Hanan. Gilang semakin mengernyitkan wajahnya, heran melihat sikap Hanan. "Memangnya, sakit apa Naya?" tanya Gilang yang penasaran. "Tadi pagi, badannya panas sekali. Aku khawatir, kalau dia kenapa-kenapa," jawab Hanan. "Aneh?" ucap Gilang meletakkan jari telunjuk ke dagu. "Saat diajak bicara tentang Naya, kau sangat nyambung. Tapi, ketika berbicara hal lain, kau tidak mendengar," tambah Gilang. "Lang! Aku tidak ada waktu soal candaanmu itu!" tukas Hanan ketus. "Kali ini, aku tidak bercanda. Apa kau tidak bisa membedakannya?" kata Gilang tegas. "Maksudku, kau sangat panik begini, karena Naya?!" tanya Gilang yang masih heran. "Kalau aku jadi kau, aku pasti bisa lebih tenang. Aku yakin, Naya yang juga sudah dewasa itu, bisa menjaga diri sendiri. Dan, aku tidak akan sepanik dirimu. Ada apa denganmu?" tanya Gilang. Hanan terhenti sejenak. Ia terdiam membeku mendengar pertanyaan Gilang. Benar juga. Bukankah seharusnya Hanan tidak perlu sepanik ini? Ada apa dengannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN